Saturday, December 5, 2015

KEBUDAYAAN MINAHASA

A. Letak Gegorafis

Gbr ilustrasi
Sumber : minahasapalakat.blogspot.co.id
Minahasa yang berada di Propinsi Sulawesi Utara yang beribukota Manado dan mempunyai luas daerah kurang lebih 6.000km2 terletak antara 0-5 derajat Lintang Utara, dan 120-128 derajat Bujur Timur, adapun perbatasannya antara lain:
  • Sebelah barat : Propinsi Gorontalo
  • Sebelah Utara : Kepulauan Filipina
  • Sebelah Timur : Propinsi Maluku
  • Sebelah Selatan : Propinsi Maluku
Secara topografis sebagian besar Minahasa merupakan daerah pegunungan sampai berbukit dan sebagian daerah dataran dan daerah pantai.

Nenek moyang orang Minahasa ditandai dengan adanya migrasi orang-orang Mongol pada tahun 1000 BC, melalui Taiwan dan Filipina. Kemudian pada abad ke-17 ketika bangsa Spanyol terusir dari Maluku dikejar oleh orang-orang Portugis, dan lari ke Filipina, meninggalkan jejaknya pada keturunan orang Minahasa. Orang Minahasa memiliki kulit yang ‘merah jambu’, yang merupakan campuran kuning dari orang-orang Mongol dan kemerah-merahan dari orang-orang Eropa, terutama Spanyol, Portugis dan Belanda.

Penduduk Minahasa dapat dibagi ke dalam delapan kelompok subetnik, yaitu:
  • Tounsea
  • Toumbulu
  • Tountembuan
  • Toulour
  • Tounsawang
  • Pasan Ratahan
  • Ponosukan Belang, dan
  • Bantik
Minahasa berasal dari kata ‘Minaesa’ yang berarti persatuan. Orang Minahasa memiliki kejuangan identitas sehingga masyarakat ini tidak merasa terjajah. Kompeni VOC melakukan pendekatan dengan masyarakat Minahasa bukan dengan tekanan militer, bahkan terbentuk pakta keamanan bersama antara Dewan Wali Pakasaan dengan Belanda. Hal ini ditandatangani pada perjanjian 10 Januari 1679, yang secara implisit Belanda mengakui eksistensi masyarakat Manahasa, dan mempunyai kedudukan sama tinggi dengan Belanda. Sehingga pada waktu penjajahan Belanda, Tanah Minahasa dijuluki sebagai ‘De Twaalfde Provintie van Nederland’.

B. Sistem Budaya

Lambang Minahasa
Lambang Minahasa berupa perisai bergambar burung hantu. Burung ini menjadi simbol kebijaksanaan atau kearifan, dengan matanya yang tajam yang dapat berputar 360 derajat. Mereka menyebutnya ‘Burung Manguni’. Bulu sayap Manguni sebanyak tujuh belas helai, melambangkan tanggal hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bulu ekor Manguni lima helai melambangkan Pancasila. Di bagian dada Manguni terdapat gambar pohon kelapa, sebagai komoditi utama Minahasa.

Motto / Slogan: ‘I Yayat Uu santi’ yang berarti ‘Siap dan bertekad bekerja keras demi pembangunan’ . Yang dijawab: ‘Uhuuy’!!. Arti harfiahnya adalah ‘Angkatlah dan acung-acungkanlah pedangmu!’, Yang dijawab “Tentu itu!!”.

Untuk masa kini artinya: orang Minahasa melengkapi diri dengan segala kearifan, hikmat, keterampilan ilmu pengetahuan dan teknologi serta cekatan.

Falsafah Hidup
  • Moto keturunan Minahasa adalah: “Si tou timou tumou tou”, artinya ‘Manusia hidup untuk menghidupkan manusia’ Tou: manusia; timou: hidup ; tumou: mengembangkan , merawat, dan mengajar.
  • “Si Tou Timou Toua”: Pemimpin harus dapat menerapkan pola kepemimpinan sayang menyayangi, baik hati dan saling mengingat kepada sesama manusia.
  • Premis budaya egalitarian tersebut menunjukkan pula sisi lainnya, yaitu resiprositas yang berwujud gagasan persatuan (maesa-esa’an), ikatan batin (magenang-genangan, mailek-ilekan) dan kerjasama (masawang-sawangan).
Penggunaan bahasa
Malayu Manado membentuk suatu ciri atau identitas etnik.

C. Sistem Sosial

Mapalus adalah bentuk kerjasama yang tumbuh dalam masyarakat di Minahasa untuk saling membantu dan tolong menolong menghadapi hidup, baik perseorangan maupun kelompok. Setiap kelompok mapalus dipimpin oleh seorang ketua, dahulu disebut tu’a im palus. Bentuk mapalus dikenal dalam beberapa aspek kegiatan masyarakat seperti:

Kegiatan sosial, antara lain:
  • Mendu impero’ongan, suatu kegiatan kerja bakti kampung atau lingkungan
  • Berantang, adalah kegiatan membantu keluarga yang terkena kedukaan
  • Sumakey, adalah kegiatan bersama dalam acara syukuran
Kegiatan ekonomi dan keuangan antara lain:
  • Ma’endo, usaha bersama menggarap kebun dan perbaikan rumah
  • Pa’anda, yaitu aktivitas keuangan dalam bentuk arisan
  • Kerukunan yang mencakup wilayah kecamatan atau wilayah distrik disebut pakasaan atau walak.

D. Unsur Kebudayaan Yang Universal

Bahasa
Terdapat delapan bahasa daerah yang dipergunakan oleh delapan etnis seperti Tounsea, Toumbulu, Tountembuan, Toulour, Tounsawang, Pasan Ratahan, Ponosukan Belang, dan Bantik. Selain Bahasa Indonesia, ada yang menggunakan bahasa Belanda, khususnya para orangtua yang menguasai bahasa Belanda.

Bahasa Malayu Manado adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antara sub-sub etnik Minahasa maupun antara mereka dengan penduduk dari suku lainnya terutama di kota orang menggunakan bahasa Malayu Manado sebagai bahasa ibu.

Sistem Organisasi Sosial

Sistem Pemerintahan
Pemimpin Minahasa jaman dahulu terdiri dari dua golongan, yakni Walian dan Tona’as. Walian berasal dari kata ‘wali’ yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan. Golongan ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti ‘Kateluan’ (bintang tiga), ‘Tetepi’ (meteor) untuk menentukan musim menanam, silsilah, menghafal cerita leluhur Minahasa, ahli membuat kerajinan peralatan rumahtangga seperti menenun kain, menganyam tikar, keranjang, sendok kayu, dan gayung air. Golongan kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal ‘Ta’as’. Kata ini diambil dari nama pohon yang besar dan tumbuh lurus ke atas, dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata tombak, pedang dan panah, serta perahu. Golongan Tona’as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah wanua (negeri) dan mereka juga yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.

gbr ilustrasi baju perang minahasa
sumber : kaskus.co.id
Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk matriarkhat. Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian Wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan. ‘Makarouw Siouw’ (9 x 2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa’an (Kesatuan Walak-walak Purba).

Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang sebelumnya dipegang golongan Walian Wanita - beralih ke pemerintahan golongan Walian Tona’as Pria. Mulai dari sini masyarakat Matriarkhat Minahasa berubah menjadi masyarakat Patriarkhat, menjalankan pemerintahan ‘Makateliu Pitu‘ atau ‘Dewan 21’

Walak membawahi beberapa wanua, dan wanua terdiri atas beberapa lukar yang dikepalai oleh seorang wolano, sedangkan lukar dipimpin orang yang disebut pahendon tua dan dipilih langsung oleh warganya.

Sejak dahulu di Minahasa tidak terdapat kerajaan atau tidak mengangkat raja sebagai kepala pemerintahan. Yang ada adalah:
  • Walian: pemimpin agama serta dukun
  • Tona’as: orang keras, ahli bidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak
  • Teterusan: penglima perang
  • Potuasan: penasehat
Kepala pemerintahan adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Pati’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang Tua yang melindungi.

Sistem Kemasyarakatan
Awu dan Taranak
Keluarga batih (rumah tangga) disebut Awu.

Bangsal
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal. Kompleks bangsal penduduk yang berhubungan kekeluargaan dinamakan Taranak. Pimpinan Taranak dipegang oleh Aman dari keluarga cikal bakal yang disebut Tu’ur. Tugas utama Tu’ur melestarikan ketentuan adat.

Taranak, Roong / Wanua, Walak
Perkawinan antar anggota Taranak membentuk kompleks yang semakin luas. Akibatnya terciptalah kompleks bangsal dalam satu kesatuan yang disebut Ro’ong atau Wanua. Wilayah hukum Wanua meliputi kompleks bangsal itu sendiri dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya. Pemimpin Ro’ong atau Wanua disebut Ukung. Ro’ong atau Wanua dibagi dalam beberapa bagian yang disebut Lukar.

Para Ukung mempunyai pembantu yang disebut Meweteng. Tugas mereka mulanya membantu Ukung untuk mengatur pembagain kerja dan pembagian hasil sesuai kesepakatan.

Walak dan Pakasa’an
Pengertian walak menurut kamus Bahasa Totembuan yang dikutip Prof. G.A. Wilken tahun 1912 dapat berarti:
  • cabang keturunan
  • rombongan penduduk
  • bahagian penduduk
  • wilayah cabang-cabang keturunan
Gbr ilustrasi tarian perang suku minahasa
sumber : kaskus.co.id
Jadi walak mengandung dua pengertian yakni serombongan penduduk secabang keturunan dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturunan. Kepala walak artinya pemimpin masyarakat penduduk secabang keturunan, Tu’ur Imbalak artinya wilayah pusat kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat membentuk cabang-cabang keturunan. Mawalak artinya membagi tanah sesuai dengan banyaknya cabang keturunan. Ipawalak artinya membagi tanah menurut jumlah anak generasi pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.

Penggabungan beberapa walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa membentuk satu pakasa’an.

Paesa in Deken
Paesa in Deken berarti tempat mempersatukan pendapat. Di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan, bila seorang Tu’ur meninggal dunia, para anggota Taranak, baik wanita maupun pria yang sudah dewasa akan mengadakan musyawarah untuk memilih pemimpin baru. Dalam pemilihan, yang menjadi sorotan adalah kualitas. Kriteria kualitas itu ada tiga (Pa’eren Telu), yaitu:
  • Nagasan: Mempunyai otak, dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau Ro’ong
  • Niatean: Mempunyai hati, yaitu mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan yang dirasakan anggota lain.
  • Mawai: Mempunyai kekuatan dan dapat diandalkan
Kawanua
Kawanua, diartikan sebagai penduduk negeri atau wanua yang bersatu atau ‘Mina-Esa’ (Orang Minahasa). Pengertian utama dari kata Wanua lebih mengarah pada wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang mengaku turunan Toar dan Lumimu’ut. Turunan melalui perkawinan dengan orang luar, Sepanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatra, dan lain-lain. Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua di luar Minahasa. Jadi kawanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, satu Ro’ong, satu kampung.

c) Organisasi Sosial

Sistem kependudukan dalam pemukiman dan pedesaan. Pola perkampungan di Minahasa memiliki ciri sebagai berikut:
  • Wanua, yaitu sebutan bagi desa anak, desa, maupun kelompok desa
  • Pola tinggal masyarakat bersifat menetap
  • Kelompok rumahnya mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya
  • Bentuk rumah menggambarkan status seseorang dalam masyarakat
  • Jalan raya adalah urat nadi desa

d) Sistem Kekerabatan

Orang Minahasa bebas untuk menentukan jodohnya sendiri, namun dikenal juga penentuan jodoh atas kemauan orangtua. Dalam perkawinan ada adat eksogami yang mewajibkan orang kawin di luar family. Sesudah menikah mereka tinggal menurut aturan neolokal (tumampas), namun adat ini tidak diharuskan. Rumah tangga (sanga awu, atau dapur) baru dapat tinggal dalam lingkungan kekerabatan pihak suami maupun pihak isteri sampai mereka mempunyai rumah sendiri.

Bentuk rumah tangga orang Minahasa dapat terdiri dari hanya satu keluarga batih dan dapat pula lebih. Anak tiri dan anak angkat karena adopsi dianggap sebagai anggota kerabat penuh dalam keluarga batih maupun kelompok kekerabatan yang lebih luas. Hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip keturunan bilateral. Kelompok kekerabatan ialah taranak (famili, patuari, kindred istilah dalam Antropologi).

Harta diperoleh suami-isteri dari warisan orang tua mereka masing-masing, ditambah dengan harta yang mereka peroleh bersama selama berumah tangga. Benda warisan yang belum dapat atau tidak dapat dibagi, penggunaannya secara bergiliran yang diatur oleh saudara laki-laki yang tertua.

Sistem Ekonomi

Minahasa terkenal akan hasil perkebunannya, terutama kelapa, cengkeh, kopi, pala, coklat, panili, jahe putih, dan jambu mete. Enau merupakan sumber nira sebagai bahan minuman terkenal di Minahasa, yaitu saguer, di samping bahan untuk gula merah. Terdapat perikanan laut dan perikanan darat. Pengembangan perikanan laut berpusat di Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan cakalang.

Binatang yang umum dimakan antara lain: babi hutan, tikus hutan (ekor putih) dan kalong. Yang jarang dimakan karena sudah langka adalah: rusa, anoa, babirusa, monyet, ular piton, biawak, ayam hutan, cuscus, telur burung laleo, dan berbagai jenis unggas lainnya. Binatang yang tidak terdapat di daerah lain adalah: Tangkasii (Tarcius spectrum, Kera Mini), Burung Maleo, Burung Taong, anoa, babi rusa, dan ikan purba Raja Laut (Coelacant). Minahasa kaya akan bahan tambang, antara lain: tembaga, emas, perak, nikel, titanium, mangan, pasir besi, dan kaolin.

Jenis kayu yang berharga, antara lain: eboni (kayu hitam), kayu besi, kayu linggua, kayu cempaka, rotan dan dammar.

Sistem Teknologi

Peralatan teknologi tradisional, berupa:
- Alat-alat produksi, termasuk produksi makanan
- Alat-alat transportasi
- Peralatan perang:
  • senjata: pedang yang melebar di bagian ujungnya dan disebut santi
  • baju perang dari kulit sapi atau anoa yang disebut wa’teng
  • topi dengan hiasan bulu dan paruh burung enggang
  • perisai kayu yang disebut kelung
  • wadah berupa peti kayu
  • alat-alat menyalakan api
- teknologi pembuatan pakaian berupa cidako dan beberapa bentuk motif hias kain tenun yang dinamakan motif tolai (ekor ikan), yang melingkar seperti ujung tanaman merambat atau taring babi rusa
- perumahan (rumah panjang yang disebut Wale Wangko)

Sistem Religi

Unsur-unsur kepercayaan pribumi merupakan peninggalan sistem religi sebelum berkembangnya agama Nasrani mau pun Islam. Unsur ini mencakup konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati (yang dianggap ‘baik’ dan jahat’ serta manipulasinya, dewa tertinggi, jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang berkekuatan gaib, dan dunia akhirat).

Unsur religi pribumi terdapat dalam berbagai upacara adat yang berhubungan dengan peristiwa lingkaran hidup individu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, maupun pemberian kekuatan gaib. Unsur ini tampak dalam wujud kedukunan (sistem medis makatana) yang sampai sekarang masih hidup.

Usaha manusia untuk mengadakan hubungan dengan makhluk gaib dengan mengembangkan suatu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal sebagai na’amkungan atau ma’ambo atau masambo.

Dalam mitologi orang Minahasa dahulu mengenal banyak dewa. Dewa oleh penduduk disebut empung atau opo, dan untuk dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko. Dewa yang penting sesudah dewa tertinggi adalah Karema. Opo Wailan Wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dengan isinya. Karema yang mewujudkan diri sebagai manusia adalah penunjuk jalan bagi Lumimu’ut (wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkan keturunan seorang pria yang kemudian dinamakan To’ar, yang juga dianggap sebagai pembawa adat, khususnya cara-cara pertanian, yaitu sebagai cultural hero (dewa pembawa adat).

Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut datu yang pada masa hidupnya adalah orang yang dianggap sakti (bisa kepala walak dan komunitas desa, tona’as). Mereka dalam hidupnya juga memiliki keahlian dan prestasi. Roh leluhur suka menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka (puyun) apabila mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan. Konsepsi makhluk halus lainnya seperti hantu adalah penunggu, lulu, puntianak, dan pok-pok. Untuk menghadapi gangguan maklhuk halus peranan opo-opo diperlukan. Konsepsi jiwa dan roh ini disebut katotouan. Unsur kejiwaan dalam kehidupan manusia adalah gegenang (ingatan), pemendam (perasaan), dan keteter (kekuatan). Gegenang adalah unsur utama dalam jiwa.

Roh (mukur) orangtua sendiri atau kerabat yang sudah meninggal tidak dianggap berbahaya malahan bisa menolong kerabatnya. Ada bagian tubuh yang mempunyai kekuatan sakti, yaitu rambut dan kuku. Binatang yang mempunyai kekuatan sakti adalah ular hitam dan beberapa jenis burung, terutama burung hantu (manguni). Tumbuh yang memiliki kekuatan sakti adalah tawa’ang, goreka (jahe), balacai, dan jeruk suangi. Gejala alam seperti gunung meletus dan hujan lebat disertai petir dianggap sebagai amarah dewa. Senjata yang memiliki kekuatan sakti adalah keris, sati (pedang panjang), lawang (tombak), dan kelung (perisai), jimat, baik yang diwariskan orangtua ataupun yang didapat dari walian atau tona’as yang disebut paereten.

Unsur kejiwaan dalam kehidupan manusia adalah gegenang (ingatan), pemendam (perasaan), dan keteter (kekuatan). Gegenang adalah unsur utama dalam jiwa. Upacara keagamaan pribumi masih banyak dilakukan pada malam hari, bisa di rumah, tempat keramat, seperti kuburan opo-opo, batu besar dan di bawah pohon besar, di Watu Pinawetengan, tempat di mana secara mitologis paling keramat di Minahasa.

Agama resmi orang Minahasa adalah Protestan, Katholik, dan Islam. Komponen pribumi terpadu bersama komponen Kristen di luar upacara formal gerejani, seperti dalam upacara life circles dan dalam kehiduan sehari-hari.

Batu-batu Megalit
Secara garis besar benda megalit yang ditemukan di Minahasa dapat dibedakan menjadi beberapa megalit, yaitu: peti kubur, menhir, lumpang batu, batu bergores, altar batu, batu dakon, arca batu atau arca menhir.

Peti kubur batu di Minahasa disebut dalam bahasa daerah waruga. Benda ini merupakan tinggalan megalit yang sangat dominan di Minahasa.

Jenis megalit yang lain adalah menhir, yang dalam bahasa daerah disebut watu tumotowa, berfungsi sebagai tanda pendirian suatu daerah atau desa. Pada umumnya menhir dari daerah ini sangat sederhana dan tidak dikerjakan secara intensif, bahkan banyak yang tidak dikerjakan sama sekali sehingga bentuknya sama dengan bentuk alamiahnya.

Lumpang batu adalah jenis megalit lainnya yang ditemukan di Manahasa bagian Selatan, demikian pula dengan batu bergores, yang meskipun tak banyak temuannya, tetapi merupakan tinggalan yang cukup penting.
Jenis-jenis megalit yang lain adalah 
altar batu, 
batu dakon, dan 
arca batu atau arca menhir.

Waruga
Salah satu sisa megalit yang begitu terkenal di Minahasa adalah waruga (peti kubur batu). Dalam bahasa Minahasa Kuna kata waruga berasal dari dua kata: wale dan maruga. 
Wale artinya rumah; dan 
maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi debu. 

Peti kubur batu ini terdiri atas dua bagian: badan dan tutup. Tiap bagian terbuat dari sebuah batu utuh (monolith). Umumnya berbentuk kotak segi empat (kubus) untuk bagian badannya, hanya sedikit yang berbentuk segi delapan atau bulat. Posisi mayat di dalam batu ini dalam keadaan jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim. Yang laki-laki tangannya dalam posisi kunci tangan, dan yang perempuan kepal tangan. Posisi mayat tersebut terkait dengan filosofi manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan semestinya mengakhiri hidup dengan posisi yang sama. Filosofi ini dikenal dalam bahasa lokal adalah whom. Setiap waruga biasanya dipakai hanya untuk satu famili. Ada juga waruga yang dipersiapkan untuk mayat yang berasal dari satu kesamaan profesi sebelum meninggal.

Waktu dikubur, barang-barang kesayangan mereka disertakan juga sebagai bekal kubur. Kebanyakan waruga dihiasi berupa motif manusia, motif tumbuhan yang distilir (sulur-suluran), motif geometri (garis-garis, segi tiga, dan lain-lain), dan motif binatang. Hiasan yang cukup menarik dari waruga ini adalah manusia kangkang dan manusia yang sedang melahirkan.

Di antara waruga ada yang ukurannya cukup besar, yaitu tinggi wadah 1,5 meter, lebar wadah 1 meter, tinggi tutup 1,45 m, sehingga keseluruhan mencapai 3 m. Jumlah waruga di Minahasa sebanyak 1335 buah.

Waruga adalah kuburan atau makam tua yang berlokasi di Minahasa. Makam ini yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah telah ada sejak tahun 1600-an. Pada jaman itu masing-masing keluarga memiliki makam sendiri yang terbuat dari batu. Jumlah waruga yang ada di lokasi pemakaman hingga kini sebanyak 104 dotu atau marga. Beberapa dotu yang masih bisa diketahui adalah Wenas, Karamoy, Kalalo, Tangkudung, Rorimpandey, Mantiri, dan Kojongiang.

Watu Tumotowa
Dalam bahasa setempat menhir disebut sebagai watu tumotowa, yaitu batu tegak berbentuk tugu untuk menandai pembangunan sebuah desa. Kabanyakan menhir di daerah ini bentuknya sederhana sesuai dengan aslinya (alamiah) dan tidak berhiasan. Watu tumotowa yang diketemukan di Minahasa kebanyakan berukuran kecil, tingginya 20-50- cm, diameter 15-30 cm. Namun ada pula menhir yang cukup besar yang diketemuka di Desa Lelema di Kecamatan Tumpaan, yang berukuran tinggi sekitar 200 cm dan lebar antara 20-40 cm. Watu tumotowa ini ada 61 buah.

Lesung Batu
Kebanyakan ditemukan di Minahasa bagian Selatan, berupa batu tunggal (monolith), bentuknya bermacam-macam. Salah satu lesung batu yang menarik adalah menyerupai dandang (wadah untuk menanak nasi), yaitu tinggi dan cekung dengan ukuran tinggi 55 – 50 cm, diameter badan (bagian cekungnya) 40 cm, diameter tepian 60 cm, diameter mulut lubang 20 cm, dan kedalaman lubang 30 cm.

Ada yang menyerupai tifa (gendang dari Indonesia bagian Timur), ada yang berbentuk bundar seperti bola dengan lubang di bagian atasnya. Lesung yang berbentuk seperti itu biasanya berukuran lebih kecil dari pada lesung yang berbentuk dandang atau tifa, ada yang berbentuk silinder yang berukuran seperti lesung yang berbentuk dandang. Semuanya ada 32 buah.

Watu Pinawetengan
Pada bagian batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang berbentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki dan perempuan, dan motif garis-garis serta motif yang tak jelas maksudnya. Para ahli menduga, goresan-goresan ini merupakan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit. Watu Pinawetengan telah sejak lama menjadi tempat permohonan orang, seperti kesembuhan dari penyakit dan perlindungan dari marabahaya. Dengan melakukan ritual ibadah yang dipandu seorang tona’as (mediator spiritual), sebagian orang percaya doa mereka akan cepat dikabulkan. Arie Ratumbanua – juru kunci Watu Pinawetengan – menegaskan, masyarakat yang datang ke batu itu bukan bertujuan menyembah batu, melainkan menjadikan batu itu sebagai tempat atau sarana ibadah. Masyarakat percaya di sinilah tempat bermusyawarah para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar-Lumimu’ut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu, dalam rangka membagi daerah menjadi enam kelompok etnis.

Altar Batu, Batu Dakon, dan Arca Menhir
Altar batu ialah batu yang berbentuk segi empat atau bulat bahkan sering tidak beraturan, yang memiliki bagian datar, terutama pada bagian permukaan (bagian atasnya) sehingga berbentuk seperti meja. Jenis megalit ini dipakai sebagai sarana untuk melakukan peribadatan oleh masyarakat yang memiliki kepercayaan pada roh-roh leluhur. Sampai saat ini ada sembilan altar batu yang telah ditemukan di Minahasa.

Batu dakon juga merupakan alat upacara untuk memohon pertolongan kepada roh nenek moyang agar memperoleh hasil panen yang baik serta mengharapkan kesuburan tanah. Batu dakon ini terbuat dari bongkahan batu yang diberi lubang–lubang seperti halnya pada alat permainan dakon. Di Minahasa batu dakon hanya diketemukan sebanyak enam buah saja.

Arca menhir dibuat dari batu tunggal berbentuk seperti batu tegak (menhir), namun pada bagian atasnya dibentuk menyerupai manusia, dengan bagian kepala dan muka serta bagian badan, sedangkan kakinya tidak digambarkan. Arca menhir dimasudkan sebagai penggambaran leluhur yang dikultuskan. Benda ini biasanya juga merupakan sarana untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Arca menhir di Minahasa yang berhasil ditemukan sebanyak dua buah.

Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang sebelum ditanam dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun diganti dengan wadah rongga pohon kayu atau nibung, lalu di tanam. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan waruga. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan dari pemerintah Belanda menguburkan orang yang meninggal dalam waruga.

Tahun 1870 Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai pengganti waruga, karena waktu itu berjangkit berbagai penyakit, di antaranya tifus dan kolera. Agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah.

Saat ini waruga tersebut dikumpulkan di desa Sawangan, Minahasa, yang terletak antara Tondano dengan Airmadidi. Sekarang waruga merupakan salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara.

Kesenian

a. Rumah Adat
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga di depan rumah. Unsur khas rumah panggung adalah lantai rumah berada di atas tiang setinggi dua setengah meter, berjumlah 16 atau 18. Tiangnya dibuat dari kayu maupun dari batu kapur. Susunan rumah terdiri atas :
emperan (setup), 
ruang tamu (leloangan), 
ruang tengah (pores) dan 
kamar-kamar.

Di bagian belakang terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai tempat menyimpan alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Bagian atas rumah (loteng, soldor) untuk menyimpan hasil panen. Bagian bawah rumah (kolong) digunakan untuk gudang tempat menyimpan papan, balok, kayu, alat pertanian, gerobak, hewan rumah seperti anjing.

Orang kaya membuat rumah dengan bahan yang mahal, misalnya seng untuk atap, kaca untuk isi jendela, kayu yang dipakai adalah jenis kayu yang baik seperti cempaka, wasian, bahkan lingua yang terkenal sebagai kayu terbaik.

b. Pakaian Adat
Pada jaman dahulu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu), memakai gaun yang disebut pasalongan rinegetan yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju berlengan panjang, memakai kerah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana berbentuk celana pendek atau panjang.

Selanjutnya busana Minahasa mendapat pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang mendapat pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya berwarna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu berwarna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak tampak.

Busana Tona’as Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan bunga padi pada leher baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi berwana merah dihiasi dengan motif bunga padi warna kuning keemasan pula.

Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tona’as Wangko. Warna putih dengan hiasan corak bunga padi, dilengkapi topi porong nimiles, terbuat dari lilitan dua kain berwana merah hitam dan kuning emas, melambangkan penyatuan langit dan bumi, alam dunia dan alam baka. Busana Walian Wangko wanita kebaya panjang tanpa kerah dan kancing, berwarna putih dan ungu dengan hiasan bunga terompet, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci), selempang warna kuning dan merah, selop, kalung leher dan sanggul.

c. Upacara Perkawinan

Upacara Perkawinan antara lain :
  • Acara ‘Posanan’ (Pingitan) yang dahulu dilakukan sebulan sebelum pernikahan sekarang hanya sehari, pada saat ‘Malam Gagaren’ atau malam muda-mudi.
  • Acara mandi di pancuran tidak dilakukan lagi, diganti mandi adat ‘Lumelea’ (menginjak batu) dan ‘Bacoho’ karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin.
  • Mandi adat
‘Bacoho’ (Mandi Adat); 
Bahan ramuannya adalah parutan kulit lemong nipis atau lemong bacoho (Citrus limonellus) sebagi pewangi; air lemong popontolen (Citrus lemetta) sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) sebagai pewangi bunga manduru (melati hutan), atau bunga melati, atau bunga rossi (mawar) dihancurkan dengan tangan, sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut, dicampur sedikit perasan buah kelapa. Bahan ramuan harus berjumlah sembilan. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih.

Bila hanya sebagai simbolisasi, caranya: Semua bahan ramuan dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat. Kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan ke rambut calon pengantin.

‘Lumelek’ (Mandi Adat); 
Pengantin disiram sembilan kali di batas leher ke bawah dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis yang berbau wangi, dengan memakai gayung. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih yang belum pernah digunakan sebelumnya.

Tempat upacara perkawinan
Dapat dilakukan di rumah pengantin pria (di Langowan- Toutemboan), atau di rumah pengantin wanita (Tomohon-Tombulu). Ada perkawinan yang dilaksanakan secara mapalus, di mana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa. Penganut agama Kristen cenderung mengganti acara pesta malam dengan acara kebaktian dan makan malam.

Sekarang semua acara dipadatkan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara ’maso minta’ (‘toki pintu’). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan nikah (di gereja bagi yang Kristen), dilanjutkan dengan resepsi pada acara upacara perkawinan ada acara melempar bunga tangan, dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti Tarian Maengket, Katrili, Polineis, diiringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.

Pakaian dalam upacara perkawinan
Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman sisik ikan. Model ini dinamakan baju ikan duyung, sarong bermotif sarang burung, disebut model salim burung, sarong motif kaki seribu disebut model kaki seribu, dan sarong motif bunga disebut laborci-laborci. Mereka memakai sanggul, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang. Konde dengan sembilan bunga Mandur putih disebut Konde Lumalundung, konde yang memakai lima tangkai kembang goyang disebut Konde Pinkan. Motif mahkota berupa bintang, sayap burung cenderawasih, dan motif ekor burung cenderawasih.

Pengantin pria mengenakan busana baju jas tertutup (busana batutu, berlengan panjang, tanpa kerah dan saku) atau terbuka, celana panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Motif hiasan busananya motif bunga padi, terdapat pada topi, leher baju, selendang pinggang, dan kedua lengan baju.

d. Alat Musik

  • Kolintang, Instrumen ini semuanya terbuat dari kayu dan disebut mawenang.
  • Musik Bambu, Pemain sebanyak kurang lebih 40 orang. Jenisnya adalah:
  • Musik Bambu Melulu: seluruh instrumen terbuat dari bambu
  • Musik Bambu Klarinet: sebagian terbuat dari bambu, sebagian dari bia (kerang)
  • Musik Bambu Seng: beberapa instrumen terbuat dari bambu
  • Musik Bia: instrumen terbuat dari bia.

e. Tarian Adat

Tari Maengket;
Maengket dari kata dasar engket yang artinya mengangkat tumit turun naik Fungsinya sebagai rangkaian upacara petik padi. Penarinya membentuk lingkaran dengan langkah-langkah yang lambat, disebut Maengket Katuanan. Ada tiga macam Tari Maengket yaitu:
  • Tari Maowey Kamberu, bagaimana masyarakat berdoa atas hasil panen
  • Marambak adalah pengucapan syukur atas selesainya ramah baru
  • Lalayaan mengekspresikan kegembiraan masyarakat
Pemimpin tari adalah wanita sebagai ‘Walian in uma’, pemimpin upacara kesuburan pertanian dan kesuburan keturunan, dibantu oleh ‘Walian im penguma’an’, lelaki dewasa. Pemimpin golongan Walian atau golongan agama asli (agama suku) disebut ‘Walian Mangorai’, seorang wanita tua yang hanya berfungsi sebagai pengawas dan penasehat dalam pelaksanaan upacara-upacara kesuburan. Untuk memulai tarian maka si pemimpin tarian Maengket menari melambai-lambaikan saputangan mengundang Dewi Bumi (Lumimu’ut) dan setelah kesurupan Dewi Bumi, barulah tarian dimulai. Supaya para penari tidak kesurupan (kemasukan) roh jahat (‘Tjasuruan Lewo’) ada pembantu Tona’as Wangko menemani ‘Walian in uma’ yang disebut ‘Tona’as in uma’, pria dewasa yang memegang tombak simbol Dewa Matahari To’ar (To’or = Tu’ur = tiang tegak = tombak). Oleh karena itu di halaman batu ‘Tumotowak’ (Tontembuan), ditancapkan tiang-tiang bambu berhias disebut ‘Tino’or’ (Totembuan) sewaktu diadakan tarian Maengket ‘Owey Kamberu’.

Semua orang Minahasa mengakui bahwa Dewi Padi itu bernama Lingkanwene (liklik = keliling; wene = padi), penguasa produksi padi. Suaminya adalah pemimpin semua dewi-dewi, Mahadewa Untu-untu.

Ada tiga orang leluhur Minahasa yang bergelar Muntu-untu dan isterinya bernama Lingkanwene. Yang pertama kemungkinan hidup pada abad ke-9, yang kedua abad ke-12, yang ketiga abad ke-15-16.

Tari Tumentenden; 
Dari Legenda Tumentenden yang menceritakan seorang pemuda yang menikahi seorang dari sembilan bidadari yang turun untuk mandi pada suatu danau.

Tari Kabasaran (Tari Cakalele); 
Merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa yang diangkat dari kata ‘wasal’ yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung. Tarian ini diiringi oleh tambur dan gong kecil. Alat musik pukul seperti gong, tambur atau kolintang disebut ‘pa’wasalen’ dan para penarinya disebut Kawasalan, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung. Kata Kawasalan kemudian berkembang menjadi Kabasaran yang merupakan gabungan dua kata ‘Kawasul ni Sarian’ yang berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan sarian adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Tarian perang yang ditampilkan untuk menjemput tamu atau ditampilkan pada perayaan khusus.

Pada jaman dahulu para penari Kabasaran hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah petani. Bila Minahasa dalam keadaan perang, maka penari Kabasaran menjadi Waranei (prajurit). Tiap penari Kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya, karena penari Kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri atas tiga babak, yaitu:
  • Cakalele: berasal dari kata saka (berlaga), dan lele (melompat- lompat)
  • Kumoyak: berasal dari kata koyak, mengayunkan pedang atau tombak turun naik
  • Lalaya’an: bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang. Busana yang digunakan adalah kain tenun Minahasa asli, dan kain ’Patola’, yaitu kain tenun merah dari Tombulu. Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an kain tenun asli ini mula menghilang sehingga penari tarian Kabasaran akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna, dan motifnya mirip dengan kain tenun Minahasa.

Tari Lens; 
Menceritakan bagaimana seorang pemuda menggunakan gerakan yang manis untuk menarik perhatian gadis.

Tari Katrili: 
dibawa oleh Bangsa Sepanyol pada waktu mereka datang untuk membeli hasil bumi di Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, meraka lalu menari-nari. Lama kelamaan mereka mengundang rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi mereka untuk menari bersama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Tari Katrili termasuk tarian modern.

f. Lagu daerah; 
  • O ina Ni Keke, 
  • Oh Minahasa

g. Wisata Kuliner

1) Makanan
  • Bubur Manado
  • Ayam Rica – Rica
  • Biakolobi
2) Minuman
  • Saguer; Saguer adalah nira, yaitu cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau.
  • Cap Tikus; Cap Tikus adalah jenis cairan beralkohol rata-rata 40 % yang dihasilkan melalui penyulingan saguer.
Jika di masa lalu, khususnya di kalangan petani menjadi pendorong semangat kerja, kini berubah menjadi tempat pelarian, menjadi tempat pelampiasan nafsu serta sarana mabuk-mabukan.

h. Tenun Ikat; 
Digunakan dalam upacara-upacara adat dan sebagai cinderamata.

i. Bordir; 
berupa krawangan, pada kebaya, taplak meja, dan lain-lain.

j. Upacara Adat
Monondeaga; 
Upacara datangnya haid pertama. Daun telinga dilubangi dan dipasangi anting, kemudian gigi diratakan sebagai pelengkap kecantikan.

Mupuk Im Bete; 
Upacara ucapan syukur dengan membawa hasil ladang untuk didoakan.

k. Pariwisata
Tempat-tempat pariwisata antara lain:
  • Makam Kyai Modjo
  • Makam Tuanku Imam Bonjol
  • Monumen Dr. Sam Ratulangi
  • Wisata laut di Bunaken

Catatan
  • Nenek moyang orang Minahasa selain penduduk pribumi juga yang datang dari Mongol dan dari Eropa, terutama Spanyol, Portugis dan Belanda.
  • Burung manguni sebagai simbol daerah Minahasa melambangkan kebajikan dan kearifan. Falsafah orang Minahasa ‘Manusia hidup untuk menghidupi manusia’.
  • Tidak ada bentuk kerajaan; dalam sistem sosialnya terdapat mapalus. 
  • Sebelum abad ketujuh Masehi masyarakatnya menganut faham matriarkhat, baru sesudah abad ketujuh Masehi mereka menganut faham patriarkhat. 
  • Sistem kemasyarakatannya mulai dari Awu yang meluas sampai Kawanua. 
  • Tanahnya subur sehingga hasil pertaniannya melimpah, juga hasil laut dan didukung oleh sistem teknologi yang sesuai. 
  • Sistem religinya ada yang masih asli ditandai dengan peninggalan megalitiknya, lalu masuk agama Nasrani dan Islam. 
  • Keseniannya mulai yang tradisional, sampai yang dipengaruhi kebudayaan Cina dan Eropa.
Sumber : 
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA, Oktober 2011, Dr. Woro Aryandini, SS, MSi dan tim

No comments:

Post a Comment