twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Thursday, December 17, 2015

TORAJA - "KOTA ORANG MATI YANG HIDUP"


"TORAJA KOTA ORANG MATI YANG HIDUP"
Oleh, Stanislaus Sandarupa

Dalam suatu wawancara yang dilakukan Televisi Fox, The History Channel dari Amerika Serikat, dengan penulis baru-baru ini, salah satu pertanyaan menarik yang diajukan kepada saya adalah apa yang membuat Toraja menjadi sebuah budaya unik di dunia?

Jawaban saya singkat saja, seperti yang tertuang dalam judul di atas, dengan ciri, Toraja "as the town of the living dead persons" di tengah era globalisasi dan era postmodernisme. The History Channel dari TV Fox mencari 12 episode rites of passage dari berbagai penjuru dunia yang akan ditayangkan pada Mei mendatang. Toraja dan Minangkabau mewakili Indonesia.

Kebanyakan orang berpendapat keunikan budaya Toraja adalah upacara kematian. Pendapat ini kurang tepat karena upacara kematian dengan tingkat elaborasi yang tinggi ada di mana-mana, seperti upacara pemakaman Pak Harto atau upacara pemakaman di Bali dan Sumbawa. Keunikan budaya Toraja sebenarnya terletak pada kepercayaan dan praktik-praktik budaya yang memperlakukan orang mati itu hidup atau tidak mati. Dan ini hanya ada dan terjadi di Toraja.

Orang Toraja memiliki satu sistem kepercayaan yang disebut Alukta. Agama ini sering disebut Aluk Todolo untuk menggambarkan bahwa agama ini asli ciptaan leluhur orang Toraja. Disadari atau tidak, satu pandangan yang masih dianut dan dipraktikkan oleh hampir seluruh masyarakat Toraja ialah pandangan tentang kehidupan yang berputar (cycle).

Manusia berasal dari langit, turun ke Bumi "kehidupan di Bumi" dan kembali lagi ke langit setelah melalui transformasi. Pandangan ini tampak dalam semua aspek budaya Toraja. Misalnya, dalam lagu-lagu duka (badong) narasi bergerak dalam tema ini: manusia lahir di langit, turun ke Bumi dan kembali lagi ke langit (ossoran). Rumah tongkonan dan lumbung alang didirikan mengikuti gerakan dari selatan ke utara sampai titik zenit tertinggi atau sebaliknya, dari utara ke selatan (puya), kembali ke langit tertinggi.


Orang Sakit

Kalau Anda berjalan-jalan di Toraja saat ini, Anda akan melihat bendera putih di depan jalan dekat rumah seseorang dan hal ini dapat ditemukan dari kampung ke kampung. Bendera putih menandakan ada orang sakit dalam rumah yang disebut 'to masaki ulunna',orang yang kepalanya sakit atau 'to makula’ orang yang panas..

Namun, yang dimaksud dengan orang sakit di sini ialah orang mati yang hidup. Keadaan ini mudah ditemukan karena sekarang ini orang sakit yang sedang menunggu upacara ada puluhan, bahkan mungkin ratusan jumlahnya.

Ungkapan-ungkapan ini dan bendera-bendera putih menunjuk pada orang yang secara biologis sudah mati tapi dari sudut budaya Toraja sebagai orang yang sakit. Ungkapan-ungkapan metaforis tersebut bersifat ambigu. Ia mengandung makna ketakutan akan kekuatan alam gaib, tetapi pada saat yang sama juga berisi keinginan untuk menguasainya.

Sebagai orang sakit ia dimasukkan ke dalam peti sementara dan ditidurkan di kamar tidur ruang selatan rumah tongkonan yang disebut 'sumbung'. Dia ditidurkan dengan kepala mengarah ke matahari terbenam dan kaki ke matahari terbit, layaknya seperti cara orang hidup sedang tidur.

Karena dianggap masih berada di alam kehidupan, tiga kali sehari ia mendapatkan makanan dan minuman (pagi, siang, dan malam). Yang membawa makanan selalu berkata,”bangunlah nenek, makanan dan minumanmu sudah ada.” Pada siang hari dan terutama pada malam hari, anggota keluarga dan para tetangga berkumpul di dalam rumah bercerita sambil bermain domino dan minum kopi agar tahan begadang. Kalau sudah lelah, mereka tidur di sekitar si sakit.

Sambil menunggu pelaksanaan upacara, si sakit dibaringkan di atas rumah selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, bergantung pada kesediaan keluarga untuk melaksanakan upacara. Ada yang sudah disimpan selama berbulan-bulan, ada yang bertahun-tahun, misalnya enam tahun, bahkan ada yang pernah lebih dari dua puluh tahun.

Dalam situasi demikian, orang luar sering susah membedakan mana rumah dan mana kuburan. Untuk orang Toraja, kuburan asli disebut 'banua tang merambu' (rumah tanpa asap) karena di dalamnya tidak ada dapur. Dapur adalah simbol kehidupan.

Alasan menyimpan si sakit berlama-lama, seperti beberapa komentar dari keluarga, adalah agar anggota-anggota keluarga dapat melakukan upacara dengan tepat dan baik sesuai dengan strata sosialnya. Para anggota keluarga harus punya waktu mencari uang untuk beli babi dan kerbau yang akan dikorbankan nanti kalau upacara sudah dimulai. Alasan kedua, agar semua anggota keluarga dapat hadir karena "seperti yang diketahui" banyak anggota keluarga yang merantau.


Orang Tidur

Tibalah waktu upacara. Upacara untuk orang dengan strata sosial tinggi dilakukan sebanyak dua kali. Upacara pertama (aluk pia) berlangsung selama lima malam, sedang yang kedua (aluk dio rante) selama dua malam, walaupun yang kedua ini biasa juga berlangsung berhari-hari. Antara upacara pertama dan kedua terkadang ada tenggang waktu yang lamanya bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Sebagai rite of passage, ritus utama tetap bertumpu pada konsep "ka’tu" (putus) yang dimainkan pada berbagai simbol, yaitu mematikan dan menghidupkan, yang berakhir dengan memutuskan. Sejumlah upacara dilakukan. Mulai dari upacara mematikan, ditandai dengan pemindahan mayat ke ruang tengah tongkonan dengan kepala menghadap selatan dan kaki ke utara (allo leko’na), hingga upacara "ma’parempe’" yang intinya menguburkan mayat di bagian selatan ruang tengah (sali).

Si sakit lalu disimpan di atas rumah menunggu upacara kedua (aluk dio rante). Bisa dalam hitungan bulan atau tahun, bergantung kesiapan keluarga. Pada titik ini selain gelaran orang sakit, ia juga digambarkan sebagai "to mamma’ lan kulambu manikna" (orang tidur dalam kelambu kalung emasnya). Ia tetap diperlakukan sebagai orang hidup dengan memberinya makan tiga kali sehari.

Ketika upacara kedua dilaksanakan, ritus pertama yang dilakukan adalah "Ma’tundan", yaitu membangunkan dia dari tidurnya. Lalu posisinya diubah ke posisi mati (to tungara). Sejumlah ritus dilakukan disertai dengan korban hewan babi dan kerbau.

Berbagai upacara yang mengikutinya, hingga upacara "ma’pasonglo’", yaitu melakukan prosesi ke tempat upacara terakhir (rante), adalah tahap-tahap rite of passage yang memutus hubungan (ka’tu) dengan rumah tongkonan dan lumbung. Dia secara simbolis diputuskan dari rumpun keluarga (sang rapu, sang tongkonan).

Tetapi, ia diputuskan dari kampung halamannya bukan untuk pergi selamanya. Ia diharapkan menjadi nenek moyang yang aktif membangun hubungan kembali dengan orang hidup dan terutama diharapkan akan kembali melipatgandakan apa yang sudah dikorbankan untuknya (sule ma’bolloan barra’).


Orang Mati Yang Hidup

Dari uraian di atas tampaklah bahwa keunikan budaya Toraja terletak pada pandangan yang berkaitan dengan human agency, keagenan manusia (Giddens, 1990, Central Problems in Social Theory) dalam menangani kekuatan-kekuatan alam gaib. Tetapi, uniknya, mereka tidak tunduk pada alam gaib khususnya yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supernatural.

Ada kekaguman, ketercengangan, bahkan ketakutan dihadapannya, namun ada upaya mengontrolnya dan bersahabat dengannya. Manusia dapat mengontrol alam gaib (arwah). Dan, inilah yang membedakannya dengan 'agama besar' lainnya, dengan manusia selalu tunduk di depan Sang Ilahi.

Ini pulalah yang menjelaskan mengapa orang mati diperlakukan sebagai yang hidup. Orang mati tidak pernah mati, tetapi selalu hidup. Bukan hanya sebagai suatu pandangan hidup, melainkan sesuatu yang masih dipraktikkan sekarang. Mereka sangat akrab dengan si sakit, bahkan tidur bersamanya. Di Toraja utara, kalau pasangan hidup mati sang istri atau sang suami tidur bersama si mati di ranjang yang sama dalam satu kelambu. Mirip kisah Romeo dan Juliet.

Jangan kaget! Toraja memang ibarat sebuah kota yang dihuni oleh orang mati yang hidup.


Oleh: 
Stanislaus Sandarupa, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Anggota Asosiasi Tradisi Lisan.
***Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Kompas.

Sumber :

No comments: