twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Tuesday, February 12, 2019

CERITRA SAWERIGADING 1 (Versi Group Sejarah Tanah Luwu)


Story About Sawerigading 

Gbr: Ilustrasi pentas seni 
by: Musly Anwar
Sejarah Luwu tidak dapat dilepaskan dari tokoh Sawerigading. Meski sebagian orang menganggap tokoh Sawerigading hanya sebuah mitos belaka. Buku Keadatuan Luwu Perspektif Arkeologi, Sejarah, dan Antropologi karya Moh Ali Fadillah dkk menjelaskan tentang silsilah Sawerigading. Sawerigading adalah putra dari Batara Lattu dan We Opu Senggeng. Sementara Batara Lattu adalah putra dari Batara Guru dan We Nyilik Timok. Sawerigading memiliki saudara kembar perempuan yang bernama We Tenri Abeng. Setelah dewasa, Sawerigading menikah dengan I We Cudai. Hasil dari perkawinannya ini melahirkan I Lagaligo, I Tenridio`, dan Tenribalobo. Ia juga mempunyai anak bernama We Tenriwaru dari hasil pernikahannya dengan I We Cimpau.




I Tenridio` (I Dio') salah sautu anak Sawerigading, menurut bahasa setempat (daerah Selayar) disebut Si Yang Tak Mandi. Pada suatu ketika I Dio' terserang penyakit gagu (gangguan bicara, tidak mampu berbicara normal), sudah tiga tahun lamanya I Dio' mengidap penyakit tersebut. Berdatanganlah seluruh dukun untuk mengobatinya, namun tidak ada perubahan apa-apa. Telah berdatangan pula segenap Bissu untuk mengupayakan penyembuhannya.

Berkatalah Puang Matowa (Penasehat Raja) : 
"Tiada nian obat yang akan mempan menyembuhkan anada I Dio', kecuali diadakan upacara selamatan sebagaimana halnya yang penah dilakukan atas diri baginda Bissu Rilangi, We Tenriabeng di Luwu".

Kemudian Puang Matowa menambahkan kata-katanya:
"Apabila tdak segera diadakan persiapan yang diperlukan, lalu diadakan upacara selamatan menurut yang pernah dilakukan atas diri We Tenriabeng, pada akhirnya nyawa anakda Tenri Dio' akan melayang, tanaman tidak akan tumbuh subur, panen pun akan gagal, dan rakyat pun akan mengalami kesusahan yang amat besar."

Betapa dukacitanya Sawerigading, Baginda pun jadi bingung memikirkan hal itu, sebab upacara selamatan hanya bisa terlaksana sebagaimana mestinya, apabila disertai peralatan khusus berupa 'Genrang 'mpulaweng ri Luwu', sedangkan gendrang tersebut tidak dapat didatangkan kecuali apabila keturunan Sang Manurung ri Luwu yang mengantarkannya.

Sawerigading merasa amat bingung. Beliau sendiri yang akan kembali ke Luwu menjemput gendrang tersebut, namun mustahil dilakukan karena beliau pernah bersumpah tidak akan ke luwu dan menginjakkan kakinya lagi di tanah luwu.

I We Cudai (istri Sawerigading) tidak akan memperkenankan puteranya melakukan hal itu, sebab katanya negeri Luwu itu terletak di ujung bumi, apalagi sawerigading (So' We Ri Gading) punya hutng darah yang cukup banyak kepada sesama raja. Jangan sampai putera kita karam, menjadi santapan binatang buas yang bertahta di lautan. Berkatalah Sawerigading : "Takkan ada seorangpun yang brani berbuat demikian wahai adinda Cu Dai. Kendatipun mereka memiliki 2 tubuh, berkepala tiga namun takkan lancang untuk menurunkan tangan maut kepada turunan Sang Manurung di Tanah Luwu. Apalagi binatang buas yang bertahta, menguasai samudera nan luas."

Daeng Ri Sompa menjawab perkataan suaminya :"Apapun alasan Kakanda Opunna Ware! Nmun adinda tidak akan memperkenannkan putra kita mengarungi samudera untuk menjemput Genrang 'mpulaweng ri Luwu."

I WeCudai menmbahkan perkataanya : "Apa gerangan kiranya sehingga kakanda tidak berusaha menitahkan agar dibuatkan Genrang 'mpulaweng untuk mengobati We Tenridio'."

Sawerigading menjawab perkataan isterinya : "Wahai dinda Cudai! Menurut dugaan kakanda meskipun seluruh emas yang ada ditanah Ugi ini dikumpulkan, namun tidak akan cukup untuk bahan pembuatan sebuah genrang 'mpulaweng. Bayangkan saja, Genrang 'Mpulaweng yang ada di Luwu mempunyai 70 utas tali pengikatnya, seluruhnya emas murni. Demikian pula Gong Genrang 'Mpulaweng, ada sebanyak 70 utas tali gantungannya. Semua itu terbuat dari emas murni. Dari manalah akan diperoleh emas yang demikian banyaknya di negeri Cina ini?"

MAka menangislah Sawerigading sambil berkata: "Suratan nasibmu jualah ananda We Dio', karena telah dilahirkan dinegeri yang miskin seperti Cina ini. Sekiranya engkau lahir di Luwu maka tidak ada sesuatu keperluan yang tidak tersedia."


Putus asalah Sawerigading mengenang penyakit puterinya.
Menyahutlah I Lagaligo: "Ada persoalan apakah, sehingga kulihat baginda Opunna Ware (Sawerigading) termenung-mneung, seolah-olah amat rawan."

La PAllajareng menjawab : "Rupanya dikau belum tahu wahai adinda Galigo, perihal kerawanan hati yang amat besar bagi Paduka yang Mulia Opunna Ware, Sudah tiga tahun lamanya adik kita We TenriDio' mengidap penyakit gagu. Menurut Puwang Matowa (Ketua Bissu), penyakit itu disebabkan karena tidak dilakukannya upacara tradisional sebagaimana halnya ang dilakukan atas diri baginda putri Bissu Ri LAngi (gelar/panggilan Tenriabeng) di Luwu. NAmun upaara tidak dapat dilakukan jika tidak disertai genrang 'mpulaweng serta gong mpulaweng ri Luwu. PAdahal tidak dpat didatangkan jika dihantarkan oleh keturunan lsg Sang MAnurung."

Belum leps La pallajareng berkata-kata, bergegaslah La Galigo menemui ayahandanya yang sedang bermuram, lalu berkata: "Janganlah hendaknya ayahanda berduka cita karena mengenangkan soal pelayaran ke Luwu, untuk menjemput Genrang 'Mpulaweng. Biarkanlah ananda yang berangkat mengarungi lautan, kendati ibunda tidak akan memberi restu. Ananda akan tetap melakukan pelayaran itu."

Bersuka citalah Opunna Ware mendengar pernyataan putranya, lalu beliau berkata: "Kalu demikian maka berangkatla dikau wahai anada GAligo, ajaklah bersama Pamandamu La PAnanrang dan La Massaguni, sebagai jaminan agar orang-orang di Luwu yakin dan percaya atas dirimu. Jangan sampai kelak engkau tiba di Luwu sedangkan BAginda tidak percaya atas dirimu sehingga beliau tidak sudi menyerahkan Genrang 'Mulaweng Manurungnge itu. Bawalah berlayar Welenrangnge (kapal Sawerigading)."....."Kelak jikalau engkau selamat tiba di Luwu, sembunyikanlah kehadiran pamanmu La Pananrang dan La massaguni. Maka hadapilah kakekmu, ayahanda dari pamanmu La Pananrang dan La Massaguni."

Lanjut Sawerigading berkata:
"Wahai anada GAligo. Ada sebanyak 70 orang ibu tirimu yang bermukim di Luwu. Datangilah mereka satu persatu secara bergiliran. Tinggallah selama lima hari lima malam pada masing-masing ibumu, kecuali di rumah ibu tirimu We Panangareng, tinggallah selama sepulu hari sepuluh malam. Upayakanlah wahai ananda Galigo, tidak tinggal lebih dari setahun, lalu kembali ke Cina, dengan membawa Genrang 'mpulaweng manurungnge di Luwu."

Sesuai dengan kesepakatan, maka berangkatlah La Galigo keesokan harinya bersama kedua pamannya dan segenap sepupu-sepupunya. 

Maka bertolaklah Welenrangnge menuju tanah Luwu. Dayung tak kunjung diletakkan, juru balang silih berganti menjalankan tugas, demikian pula juru mudi tetap waspada enghadapi gelombang dan onggolan pasir (dangkal).

MAka tibalah perahu-perahu emas La Galigo di wilayah tangkapan para nelayan. I Lagaligo pun bermaksud memasukkan bahteranya ke muara sungai luas dan lebar itu. Berkatalah I Lagaligo kepada para penjaga muara.

"Mengapa gerangan pintu gerbang muara ditutup? Sayapun tidak melihat adanya ayam-ayam jago berkeliaran?" 

Lalu dijawab ole para penjaga muara dengan telpak tangan disimpuhkan: 
"Rakyat Ale' Luwu ini sedang berkabung, wahai paduka, dan tidak diperkenankan wahai paduka, orang yang datang membawa ayam jago di Wattangpare."

Berkaalah I Lagaligo: 
"Bukalah lang gerbang muara yang luas ini, agar bahteraku dapat lewat dan masuk ke pelabuhan. Akupun berniat naik kedarat sambil membawa ayam jago di Tanah Luwu, untuk meamaikan kembali gelanggang emasnya Opunna Ware dengan enyabung ayam di arenanya."

Penjaga muara sungai kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil menyembah, lalu berkata:
"Hamba mohonkan wahai paduka untuk tidak membuka palang muara sungai yang luas ini. Hamba takut wahai paduka, terhadap tuan hamba Sang Manurung ri Ale Luwu (BAginda raja Luwu/ BAtara Lattu).

Maka murkalah La Galigo. Beliau kemudian berdiri sambil menudingkan telujukknya, memberi perintah agar dibukakan palang muara. Maka serentak orang-orang Luwu membukakan palang sungai yang luas itu. Maka lewatlah Sang Welenrangnge sampai ke pelabuhan, membuang sauh digulungkanlah pula kain layarnya Wakkawerowe. Tidak lama sesudah itu datanglah ayah kandung La Pananrang beriringan dengan ayah kandung La Massaguni. Sementara itu La PAnanrang dan La Massaguni pun disembunyikan diatas perahu. MAka berdirilah La Pangoriseng bersaudara didekat Welenrangnge, sambil menyahut:

"Maafkalah ketidak tahuan kami wahai para bocah (lagaligo dan rombongannya). Dari mana gerangan ngeri asalmu, dimana tanah tumpah darahmu, apa maksud dan tujuan kalian datang ke Luwu ini. 

Tidakkah kalian mengetahui bahwa rakyat di seluruh negeri Luwu ini sedang berduka cita, sudah sekian tahun lamanya paduka yang dipertuan di Kerajaan Luwu pergi merantau meninggalkan negerinya, sudah sekian lamnya pula gelanggang adu ayam tinggal kosong, sepi tanpa ada kegiatan adu ayam. Sekian pulalah....lamanya ayam-ayam jago berbuluh putih dikesumba."

La GAligo membalas dan merucap:
"JAuh amat nian negeri asalku. PAtik bernama La PAbokori (Siperantau) bergelar ToSibengngareng (Heran), putera Lapura Elo di MArapettang (entah berantah). MAksud dan tujuan patik berlayar di Wattangpare, tiada lain ingin menyabung ayam, sekedar meramaikan gelanggang adu ayam."

LA PAngoriseng menjawab dan berkata:
"Apakah tuan merasa sebagai Paduka yang dipertuan di Luwu, ataukah tuan telah menaklukkan wilayah kami seingga tuan ingin memaksakan kehendak sendiri. Walaupun saat ini negeri Luwu sedang dilanda kemelut, penduduk pun sedang berdka-cita, namun patik tidak bakal membiarkan tuan memaksakan kehendak tuan, tanpa mengadu senjata, mengadu perisai, dan mempertarungkan laskar kita"

Menyahutlah I LAgaligo sambil berkata:
"Engkau rela mati wahai La Pangoriseng ataupun tidak rela wahai ayahandanya La Pananrang, namun aku takkan kembali ke negeriku sebelum menjejakkan kaki di tanah Luwu, untuk meramaikan kembali gelanggang gadingnya Sawerigading dengan sabung ayam."

tercekatlah perasaan hati La Pangoriseng menyaksikan Sang Bocah itu. Ia pun sangat mirip dengan Sawerigading dimasa remajanya. Bocah disebelah kananya mirip sekali dengan La Pananrang, sedangkan yang disisi kirinya mirip sekali dengan La Massaguni. Ia pun mengenal semua nama La Pangoriseng bersaudara, serta para bangsawan tinggi.

Terbetik dihati Pangoriseng bahwa besar dugaanku sang bocah adalah putranya LaMaddukelleng diperantauan, yang akan datang kenegeri Luwu tanpa ingin dikenal. Lalu La Pangoriseng mengulangi ucapannya:

Wahai Raja muda. Mohon kiranya sudilah paduka mengutarakan hal yang sebenarnya. Sebutkanlah nama paduka, serta nama orang tua paduka. Kemudian paduka naik kedaratan, ramaikanlah gelanggang dengan sabung ayam di pendopo."

Ketika itu La Pananrang dan La MAssaguni menampakkan diri sambil berkata:
"Wahai ananda Galigo, janganlah hendaknya anada terlalu lama mempermainkan kakekmu, sebab perjalananmu ini amat tergesa-gesa, bahkan kita tidak boleh berlama-lama di Luwu.

Betapa sukacitanya perasaan hati La Pangoriseng bersaudara ketika dilihatnya putra-putra mereka. Beliau pun segera meloncat keatas perahu La Welenrangnge; lalu dirangkulnya I La Galigo dan diciuminya wajahnya sambil berkata:

"Wahai ananda GAligo, janganlah dikau buru-buru mendarat ditanah Luwu, sebelum kakek mengadakan upacara selamatan. Tinggallah sebentar di atas perahu, semntara aku naik ke daratan mempersiapkan jamuan. Nantikanlah sampai seluruh rakyat Luwu datang menjemput, barulah dikau turun menjejakkan kaki di Bumi Wattangmpare. Kakekpun akan mempersembahkan sesajian berupa kerbau bertanduk emas."

Sesudah mengadakan pembicaraan dengan cucu saudari saudaranya (cucu dari Batara Lattu yaiu sodaranya La Pangoriseng) maka La PAngoriseng bersaudara menuju istana Lakko Manurungnge ri Ale Luwu. Diperintahkannya kepada segenap rakyat, untuk berkumpul di depan istana. Setelah seluruhnya berkumpul, mereka kemudian bersama-sama berangkat menuju pelabuhan menjemput paduka yang dipertuan (I Lagaligo) untuk mendarat, menjejakkan kaki dipusat Kerajaan Luwu.

Namanya titah Raja, perintah Sang Penguasa maka dalam sekejap mata saja terlaksanalah seluru titah baginda La Pangoriseng. Berdatanganlah segenap rakyat di negeri Luwu, memenuhi halaman istana raja Luwu.

Rakyat banyak itu riuh rendah, karena bersuka cita atas kedatangan Baginda Yang Mulia yang sebentar lagu akan dijemput dipelabuhan.

Timbullah kembali semangat hidup rakyat luwu, karena datangnya putra mahkota (I La Galigo) Opunna Ware. Lalu berangkatlah I La Galigo sampai ke istana Lakko Manurungnge Mai ri Luwu. Setelah tiba dilihatnya jamuan lengkap, ditunggui oleh puluhan dayang-dayang. Bertanyalah I La Galigo :

"Apa gerangan yang telah terjadi wahai para dayang-dayang, sehingga di sini tersedia jamuan lengkap yang kalian tunggui, padahal tidak ada raja yang duduk dihadapan kalian ?"

Para dayang-dayang lalu menjawab:
"Santapan sehari-hari wahai Paduka yang mulia untuk Baginda (Sawerigading) yang pergi berlayar, mengasingkan dirinya dinegeri yang jauh. Seorang pula yang telah gaib, melayang naik ke Botting-Langi' (Tenriabeng, adik kembar Sawerigading), menemukan jodoh di Ruwa Lette. Beliaulah yang disiapkan santapannya."

Berkata I La Galigo:
"Kumpulkan segenap dayang-dayang ini wahai Ina! Janganlah kalian menunggui jamuan, padahal di hadapan kalian tidak ada seorangpun raja yang bersantap."

Sesudah itu I La Galigo meneruskan langkahnya hingga ke ruangan tempat penyimpanan Genrang mpulaweng Manurungnge Mai ri Luwu. Lalu diraihnya Genrang itu, kemudian ditabuhnya bersama-sama dengan La Sulolipu, suara genrangnya bertalu-talu. Tak ubahnya bunyi genrang apabila Sawerigading yang menabuh bersama La Pananrang.

Maka bangkitlah Sawerigading di tepat tidurnya, sembari berkata:
"Telah tiba wahai adinda Cudai, putramu di Luwu. Kanda dapat mendengarkan bunyi gendangnya sampai kemari."

Batara Lattu' pun menggeliat diatas pembaringannya sambil berkata:
"Telah tiba nian putranda di Luwu, bermukim di tanah leluhurnya Wattang mpare sambil menabuh genrang mpluaweng manurungnge, bersama-sama La Pananrang."

Berkatalah sang pengiring/pengawal Batara Lattu sambil menghaturkan sembah sujud:
"Konon kabarnya wahai Paduka yang mulia! Dia adalah putranda dari ananda Sawerigading yang berbalasan dengan putranya La Pananrang menabuh genderang di luar."

Batara Lattu, berkata:
"Suruhlah ia masuk ke dalam kamarku, agar aku bertutur sapa dengan bocah itu."

Maka berjalanlah I Lagaligo memasuki kamar kakeknya, Batara Lattu. Iapun menghaturkan sembah sujud sebanyak tiga kali, kemudian mengambil tempat duduk dihadapan Batara Lattu. Berkatalah Batara Lattu:

"Tinggallah dikau di Luwu wahai ananda Galigo, menemaniku, selaku oenggati ayahandamu sebagai Pangeran Mahkota di ibu kota kerajaan Luwu."

I La Galigo menghaturkan sembah sujud sambil berkta:
"Tapak tangan hamba hanya sekedar gumpalan darah, tenggorokan hamba pun tak ubahnya kulit bawang. Semoga nian hamba tidak kualat dalam menjawab titah paduka."

lanjut La Galigo:
"Mohon restu paduka yang mulia. Hamba tidak dapat tinggal menetap di Luwu ini, sebab adinda We Tenridio' sedang terserang penyakit parah. Ia mengidap penyakit yang menuntut diadakannya upacara tradisi di negeri Luwu, sebagaimana halnya yang pernah dilakukan bagi Baginda Ratu yang mulia, Mallajangnge ri Kalempi'na. Demikianlah waha Paduka yang mulia, sehingga ayahanda tercinta Opunna Ware menitahkan hamba untuk menjemput Genrang mpulaweng anurungngE di Luwu ini."

Berkatalah Batara Lattu:
"Kalaupun demikian berangkatlah ke tanah Ugi wahai ananda Galigo untuk mengantarkan Genrang pluaweng ManurungngE. Kelak, setelah selesai penyelenggaraan upacara selamatan bagi We Dio', kembalilah kemari, untuk menggantikan ayahandamu sebagai penguasa di Wattang mpare."

Sesudah selesai bertutur sapa dengan kakeknya, I Lagaligo pun melangkah ke luar. Berkisar satu tahun lamanya I Lagaligo tinggal di Luwu menunggui kakek dan ibu-ibu tirinya, barulah I Lagaligo bersama segenap sepupunya dan seluruh pengiringnya berlayar kembali menuju Cina. Diboyonglah Genrang mpulaweng ManurungngE ri Luw bersamanya.

Upacara selamaan We Dio' pun diselenggarakan. Sudah empat puluh hari empat puluh malam lamanya penduduk bergembira ria di Latanete sambil memanggang kerbau. Berdatanganlah segenap sepupu I Lagaligo yang perempuan untuk menyaksikan keramaian di Latanete.

Pendopo penuh sesak dengan penduduk yang berdatanagan dari seganap penjuru. Tiada terkatakan ramainya suasana di Cina. Para anak-anak Datu yang tujuh puluh orang itu saling bergantian menabuh genderang, sehingga bunyinya pun bertalu-talu tiada hentinya. Tiada sekejappun genderang itu berhenti ditabuh silih berganti. I Lagaligo berpasangan dengan I La Sulolipu, La Pawennari dengan Sida'Manasa To Bulo'E, La Patenrongi dengan I La Pallajareng, dan berpasanganlah La Tenripale To Lamuru'E dengan La Pammusureng.

Para anak datu yang tujuh puluh orang itu tidak kunjung terlelap. Ingin pulalah I Da'Batangeng, Punna Lipu'E Cina Rilau, puteri La Makkasau menyaksikan keramaian di Latanete, maka bertitahlah ibundanya:

"Wahai anada I Da'Batangeng! Janganlah hendaknya ananda berkunjung ke Cina, hanya untuk menyaksikan keramaian di Latanete/Sinukkerenna I La Galigo/dari Luwu/Cobo'-cobonna maccariwakka I La Semmaga, tidak menyegani sesamanya raja, dianggapnya bahwa hanya dirinyalah raja yang berkuasa di kolong langit. Jangan sampai ditahannya usungan tumpanganmu dan tidak dibiarkannya dikau pulang kembali ke negerimu Cina Rilau."

Berkatalah La Makkasau, ayahanda I Da'Batangeng, bahwa:
"Mengapakah gerangan wahai ibundanya I Da'Batangeng, maka dikau tidak memperkenankan keinginan putrimu pergi ke Cina, untuk menyaksikan keramaian di Latanete."

Berkata pula Punna Lipu'E Cina Rilau (La MAkkasau):
"Kalaupun ternyata usungannya ditahan I La Galigo pakah salahnya jikalau ia dijodohkan dengan sepupunya itu. Biarlah putri kita pergi ke Cina, menyaksikan keramaian di Latanete."

Maka berdandanlah I Da'Batangeng, bersalin pakaian yang indah lalu berangkatlah menuju Cina untuk menyaksikan keramaian di Latanete. Hanya dalam sekejap saja maka tibalah usungan yang membawa I Da'Batangeng. Ia lalu turun di depan istana. Ketika itu I La Galigo sedang mengadu ayam di atas arena adu ayam.

Ketika La Galigo menoleh, dilihatnya sepupunya yang sedang turun dari usungan, lalu melangkahkan kaki naik ke istana. 

Berkatalah La Galigo:
"Siapakah gerangan putri mahkota nan cantik jelita yang barusan tadi tiba dengan usungan ?"

La Pallajareng, menyahut:
"Rupanya dinda Galigo tidak mengenal sepupu kita Punna Lipu'E Cina Rilau. Ia bernama I Da'Batangeng, puteri Baginda La Makkasau."

Serta merta I La Galigo mencampakkan ayam jagonya lalu bergegas melangkah ke istana untuk menyusul I Da'Batangeng. La Galigo langsung menuju ke atas pelaminan (lamming) menabuh genderang, berpasangan dengan La Sulolipu. Tabuhan genderangnya berbunyi seperti suara manusia:

"Dahului-dahuluilah si orang Walana itu. Cegat, cegatlah si orang Solo'. Dahuluilah bersanding di atas pelaminan emas. Sungguh takkan kubiarkan Punna Lipu'E Cina Rilau kebali kenegerinya. Saya berkeinginan menyandera usungan putri juwita dari Cina Rilau."

Bergantian pamandanya menasehati La Galigo, demikian pula ayahandanya turut menasehatkan, bahwa:
"Janganlah wahai ananda Semmagga engkau menyandera usungan dari Cina Rilau. Jangan sampai hal itu menurunkan martabat pamndamu La Makkasau. Jikalau susungan putrinya tersandera. Biarkalah sepupumu itu kembali ke kampung halamannya."

I La Galigo tidak sudi mendengarkan nasehat ayahnya, lalu berkata:
"Perkenankanlah wahai ayahanda adindaku I Da'batangeng tetap tinggal di istana Latanete, sementara itu ayahanda mengirimkan utusan untuk meminangnya pada baginda La Makkasau di Cina Rilau."

Berbalaslah Sawerigading:
"Mengapakah gerangan wahai ananda Galigo engkau berkeinginan menyandera usungan dari Cina Rilau, padahal kita tidak menguasai wilayah kekuasaan pamandamu. Kita tidak dapat memaksakan kehendak sendiri terhadapnya."

Namun I La Galigo sudah lupa diri, tidak sudi lagi mendengarkan nasehat. 

Insya Allah pula akan say ceritakan cerita Tellu Cappa'E na La Madukkelleng Arung Pasir - Arung Siengkaang penguasa To Masi' (Temasek) Sang Penguasa Laut Cina Selatan (Singa Laut alias The Prince of Pirates).

Maka pada waktu tengah malam buta, I Da'batangeng diantarkan pulang ke kampung halamannya di cina rilau.

Pada keesokan paginya, ketika sang surya baru saja terbit di ufuk timur, bangunlah La Galigo bersepupu langsung membasuh muka lalu menenangkan perasaan hatinya sambil makan sirih. Diarahkanlah pandangan matanya ke atas pelaminan yang diduduki I Da'batangeng, maka iapun terkejut karena tidak dilihatnya bayangan sepupunya Punna LipuE Cina Rilau. Ia lalu bertanya:
"Kemanakah gerangan adindaku I Da'batangeng?"

Lalu dijawab oleh La Pallajareng :
"Adik kita I Da'batangeng telah kembali ke kampung halamannya di Cina Rilau pada larut malam."
Maka bergegaslah I La Galigo menyusul kepergian adik sepupunya sampai ke Cina Rilau. Turut serta segenap anak datu yang tujuh puluh orang itu.

Berkatalah La Makkasau:
“Maafkalah pamanda wahai ananda Galigo. Kembalilah ke Latanete, agar ayahandamu mengajukan pinangan resmi atas sepupumu I Da’batangeng. Barulah kita ramaikan perjodohanmu.”

Dibalaslah oleh Galigo:
“Perkenankalah ananda untuk tidak kembali lagi ke Latanete. Biarkanlah ananda tinggal di singgasana kediaman adinda I Da’batangeng, sementara menantikan kedatangan duta/utusan resmi dari ayahanda Opunna Ware. Nantilah di sini, di atas singgasanamu hamba mempersiapkan diri untuk menikah serta bersanding dengan adinda I Da’batangeng.”

Silih berganti paman-paman I La Galigo dating menasehatinya. Namun semuanya sia-sia. I La Galigo tidak sudi lagi mendengarkan petuah ataupun kata-kata lembut dan bujuk rayu. Bingunglah pikiran Sawerigading mengingat tindakan putranya yang terlanjur itu.

Maka diantarkanlah kepada I La Galigo pakaian pengantinnya di Cina Rilau. Di sana pulalah, di istana kediaman I Da’batangeng, La Galigo mempersiapkan diri untuk menikah. Maka ia pun duduk bersanding dengan sepupunya di atas pelaminan.

Syahdan, maka tiga bulan lamanya setelah ia kawin, maka hamillah I Da’batangeng. Jabang bayi dalam kandungan. I Da’batangeng ketagihan pada penyelenggaraan tradisi leluhur di Ale Luwu. Namun sang dukun tidak segera menyelenggarakan, sehingga jabang bayi itu gaib bersamaan dengan datangnya petir dan kilat yang sambung-menyambung. Jabang bayipun terdampar di Sao Kutt Pareppa’E, istana kediaman Baginda Ratu We Tenriabeng di Pettala Langit.

Di sanalah di Pettala langit diselenggarakan upacara selamatannya. Bayi itupun diberi nama Aji Laide I Lasangiyang. Setelah diselenggarakan upacaranya di Petala Langit, barulah ia dikirim di ke ujung langit, menjadi ana asuh Baginda Talettu Sompa yang berjodoh dengan Apung Manngenre’ ri Sawangmega, sebab baginda itu orang mandul. Beliau adalah sudara Batara Guru Sang Manurung di Ale Luwu.

Sumber: KBM 
by Luly Askar November 10 at 8:58pm   groups/sejarahtanahluwu

No comments: