twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Tuesday, November 17, 2015

KERAJAAN BRUNEI BUDDHA

Sejarah
Kerajaan Brunei merupakan salah satu kerajaan tertua di antara kerajaan kerajaan lain di tanah Melayu. Keberadaan Kerajaan Brunei diperoleh berdasarkan catatan Cina, Arab, dan tradisi lisan. Dalam catatan sejarah Cina, Brunei pada jaman dahulu dikenal dengan nama Poli, Polo, Poni atau Puni dan Bunlai.

Dalam catatan Arab, Brunei disebut dengan Zabaj atau Randj. Sedangkan pada catatan tradisi lisan Syair Awang Semaun (SAS), kata Brunei berasal dari perkataan baru nah yang bermakna ”tempat yang sangat baik”. Sumbersumber dari berbagai bangsa yang meriwayatkan Brunei amat beragam. Tak hanya soal nama, melainkan juga dalam hal ejaan seperti “Buruneng” dalam Nagarakretagama, “Bornei, “Borneu”, “Burney”, “Borneo”, “Bruneo”, dan “Burne”, dalam European Sources for the History of the Sultanate of Brunei in Sixteenth Century, serta “Bornui” menurut Sidi Ali bin Husin, dan “Burni” dalam The Philipine Island (AlSufri, 2001).

Kerajaan Brunei dapat disebut sebagai kerajaan Melayu yang paling lama bertahan. Dengan eksistensinya yang cukup lama, maka perunutan sejarahnya juga memerlukan sistematika penulisan yang komprehensif, mencakup fasefase penting kepemimpinan. Dalam hal ini, sejarah Kerajaan Brunei dapat ditelusuri melalui dua fase, yaitu fase praIslam pada masa Kerajaan Brunei Tua, dan fase Islam pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah dengan nama Kerajaan Brunei.

Masa Kerajaan Brunei Buddha atau Kerajaan Brunei PraIslam
Data tentang sejarah Kerajaan Brunei praIslam tidak banyak ditemukan. Beberapa sumber, termasuk berbagai buku dari Pusat Sejarah Brunei sendiri hanya menyentil sedikit data. Catatancatatan mengenai Kerajaan Brunei praIslam yang ditemukan hanya diperoleh melalui secuil manuskrip yang bersumber dari sejarah Cina. Namun, catatan sejarah tersebut lebih banyak bercerita tentang Kerajaan Puni. Hal itu dapat dimaklumi, karena Kerajaan Puni merupakan kerajaan terakhir sebelum berubah menjadi Kerajaan Brunei dengan tata pemerintahan Islam.

Mengacu pada sejarah Cina, Kerajaan Brunei telah ada semenjak abad ke6 M. Hal itu terbukti dengan adanya hubungan perdagangan Brunei dengan Dinasti Liang (502566 M) di Cina. Kala itu, Brunei lebih dikenal dengan nama Poli. Penyebutan nama Kerajaan Brunei berbedabeda sesuai dengan sebutan yang digunakan oleh masingmasing Dinasti Cina.

Selanjutnya, Kerajaan Brunei tetap dikenal dengan sebutan yang sama pada masa Dinasti Tang (618906 M), dan berubah menjadi Polo saat terjadi hubungan perdagangan dengan Dinasti Sung (9601279 M), dan kemudian menjadi Poni (Puni) semasa Dinasti Ming (13681643 M) (AlSufri, 2000).

Letak geografis Kerajaan Brunei praIslam
jika mengacu pada sejarah Cina ialah sebelah tenggara Canton dengan jarak pelayaran dari Canton ke Brunei sejauh tiupan angin biasa berjarak 60 hari (AlSufri, 2000). Hsu Yuntsiau, sejarawan Cina, meneliti bahwa kerajaan ini mungkin terletak di pantai timur tanah Melayu, yakni Kelantan.

Sebelum menjadi Kerajaan Brunei seperti sekarang ini, oleh Pusat Sejarah Brunei, lebih banyak disebut sebagai Kerajaan Brunei Tua dibandingkan dengan namanama Cina sebagaimana yang dikenal dalam sejarah Cina. Sebab beberapa istilah Cina seperti Poli, Polo maupun Puni tidak terlalu dekat dengan kata ”Brunei” saat ini. Mengingat bahwa Poli, Polo, Puni, dan Brunei merujuk pada tempat yang sama, maka boleh jadi mereka memiliki adat kebiasaan yang sama. 

Sayangnya, rekam sejarah tentang Kerajaan Brunei Tua yang ditemukan saat ini sangat minim, sehingga gambaran peristiwa masa silam tak dapat terekam dengan jelas kecuali beberapa aktivitas penduduk di Kerajaan Puni berikut ini.

Aktivitas Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Sejauh ini, gambaran sejarah yang ditemukan baru mengungkapkan adat kebiasaan orang Puni (Brunei di masa Dinasti Ming, tahun 13681643 M). Orang Puni pada masa itu sering melakukan hubungan perniagaan (pertukaran barang) dengan Negeri Cina. Disebutkan bahwa berlangsungnya perniagaan akan dimulai setelah kapal Cina berlabuh selama tiga hari, baru kemudian Raja Puni memulai menaksir harga tiaptiap barang. 

Selama berunding masalah harga, Raja Puni akan menjamu para tamunya dengan beragam masakan. Setelah harga ditetapkan, maka dipukullah gong sebagai pertanda peradagangan dimulai. Konon, jika harga barang belum ditetapkan, maka siapapun tidak diperbolehkan untuk memulai membeli. Barang siapa yang melanggar ketetapan tersebut maka akan dihukum mati, kecuali saudagar, hukumannya akan diringankan. 

Ketika dinasti Ming berkuasa, beberapa barang perniagaan yang ditukarkan pada masa itu berupa tikar emas, tembikar, porselen, plumbun (lead), barang perak, emas, kain sutera, kain kasa, dan kiap. Adapun barangbarang yang diperoleh dari Cina di antaranya yaitu berupa kapur barus, tanduk rusa, timah, gelang dari gading gajah, kulit kurakura, sarang burung, wangiwangian, kayu cendana, lilin lebah, dan rempahrempah. Selain dengan Cina, Kerajaan Puni memiliki hubungan perdagangan dengan Kochin, Jawa, Singapura, Pahang, Terengganu, Kelantan, serta negerinegeri sekitar Siam.

Adat kebiasaan orang Puni di masa lalu juga terekam dalam jejak sejarah yang bercerita tentang kebiasaan orang Puni dalam melangsungkan pemakaman. Pada masa itu, jika ada orang yang mati, maka mayatnya akan dimasukkan keranda yang dibuat dari buluh, kemudian dibawa ke hutan dan ditinggalkan begitu saja. Dua bulan kemudian, barulah pihak keluarga mulai bercocok tanam (dalam kisah ini tidak diceritakan tempat keluarga tersebut bercocok tanam, apakah di tempat mayat atau di tempat lain).

Selain itu, orangorang Puni juga biasa mengadakan kenduri setiap tahun hingga tujuh tahun. Selama itu, mereka mengadakan jamuan, bersuka ria, menari dan menyanyi dengan diiringi gendang seruling dan bunyibunyian seperti gong, canang, tawaktawak, dan gulingtangan. Jamuan makanan diletakkan di atas daun yang kemudian mereka buang setelah makan.

Orangorang Puni juga mempunyai tradisi yang khas terutama dalam hal meracik obat luka yang dikenal dengan nama pokok. Obat luka itu berasal dari akar. Oleh orang Puni, akar itu digoreng sampai hangus lalu abunya digosokkan ke bagian yang luka. Menurut riwayatnya, meski luka itu dapat menyebabkan kematian, namun mereka yakin bahwa luka itu tetap dapat disembuhkan dengan obat tersebut.

Dalam hal agama, beberapa penduduk Puni menganut agama Buddha. Walaupun menganut agama Buddha, namun mereka tidak memiliki arca. Tetapi, mereka membangun rumah Buddha yang bertingkat tingkat, dengan atap yang berbentuk menara. Sementara, di bawah menara terdapat dua buah rumah kecil berisi mutiara yang dinamakan Sen Fu (Sacred Buddha). Pada saat hari Buddha tiba, Raja Puni berangkat ke upacara untuk memuja bunga dan buah yang diadakan selama tiga hari bersama penduduk negeri itu.

Meskipun banyak penduduk Puni menganut agama Buddha, terdapat segelintir orang yang sudah menganut agama Islam. Hal ini terbukti dengan ditemukannya makam-makam Islam serta beberapa orang muslim yang menjadi utusan Raja Puni dalam melakukan pertukaran niaga ke Cina.

Rajaraja
Puni sebelum tahun 1368 M disinyalir beragama Buddha, kecuali Raja Puni yang bernama Mahamosha yang seorang muslim. Hal ini tersirat dari perbekalan yang diberikan oleh Raja Cina kepada Raja Puni Mahamosha, berupa dagingdaging yang bukan babi. Selain itu, kata ”Ma” dalam istilah Cina biasanya merujuk kepada orang Islam. 

Mahamosha inilah yang menjadi Raja Puni semasa pemerintahan Hungwu dalam Dinasti Ming, yang dalam sejarah Brunei tak lain adalah Sultan Muhammad Shah atau Sultan Brunei I. Di sinilah sesungguhnya pemerintahan Islam di Kerajaan Brunei dimulai.

Kerajaan Brunei Islam
Rentang sejarah pemerintahan Islam di Kerajaan Brunei diawali semenjak dipimpin oleh Raja Puni Mahamosha tahun 1363 M. Pada masa pemerintahan Islam, terjadilah rentetan peristiwa sejarah yang mencatat bahwa Kerajaan Brunei Islam ini mengalami pasang surut yang disebabkan oleh penaklukan kerajaan lain serta munculnya kolonialisme di Asia Tenggara yang kemudian mempengaruhi situasi politik di dalam negeri.

Rentetan sejarah itu digambarkan dalam beberapa fase pemerintahan, yaitu Kerajaan Brunei Islam
sebelum kolonialisme yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad shah atau Sultan Brunei I hingga Sultan Bolkiah alias Sultan Brunei V; fase Kerajaan Brunei Islam masa kolonialisme yang terjadi saat tampuk pemerintahan dijalankan oleh Sultan Abdul Kahar alias Sultan Brunei VI; terakhir ialah fase Kerajaan Brunei Islam pascakolonialisme yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hassanal Bolkiah hingga saat ini.

Kerajaan Brunei Islam Sebelum Kolonialisme Perkembangan agama Islam di Brunei tidak lepas dari pengaruh para musafir, pedagang Arab, serta mubalighmubaligh yang berdatangan silih berganti sejak sebelum tahun 977 M. Pada masa itu, agama Islam belum menjadi agama resmi di Kerajaan Brunei. Agama Islam baru menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah (13631482). (AlSufri, 1992; 2000), dan berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali atau Sultan Brunei III.

Dalam sejarahnya, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah, Kerajaan Brunei pernah menjadi daerah di bawah pengaruh Majapahit (Matassim, 2004). Dalam syair Nagarakretagama yang ditulis dalam tulisan Kawi karangan Prapanca, menyebutkan bahwa Brunei ada di antara negerinegeri yang takluk di bawah kekuasaan Majapahit. 

Menurut Salasilah RajaRaja Brunei juga disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah atau Raja Awang Alak Betatar alias Sultan Brunei I, Kerajaan Brunei pernah takluk di bawah kekuasaan Majapahit, sehingga setiap tahunnya wajib memberikan upeti sebanyak 40 kati kapur barus (AlSufri, 2001). Kemudian, setelah Patih Gajah Mada mangkat, Kerajaan Brunei melepaskan diri dari pengaruh Majapahit.

Pergantian tampuk kepemimpinan terjadi ketika Raja Puni yang bernama Mahamosha alias Sultan Muhammad Shah mangkat tahun 1402 M. Jenazahnya kemudian dimakamkan di luar pintu An Teh Boon Goh (di daerah Nanking, Cina). Setelah pemakaman, Raja Cina bertitah agar putera Raja Puni yang bernama Hsiawang diangkat menjadi raja. 

Namun, karena Hsiawang masih berusia empat tahun, maka tahta kerajaan kemudian diserahkan kepada Sultan Ahmad yang tak lain ialah keponakan Mahamosha. Sultan Ahmad kemudian dicatat dalam sejarah sebagai Sultan Brunei II (ASufri, 2000).

Setelah 17 tahun berkuasa, Sultan Ahmad mangkat dan digantikan oleh menantunya, Sultan Sharif Ali. Hal itu dikarenakan Sultan Ahmad tidak memiliki anak lakilaki. Pada masa ini, Kerajaan Puni memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei. Pada masa inilah terjadi perubahan besar dalam sejarah Kerajaan Brunei Tua. Kerajaan Puni berubah menjadi Kerajaan Brunei bersamaan dengan perpindahan Kerajaan Brunei Tua ke Kota Batu. Pergantian nama ini berkaitan dengan putusnya hubungan dagang antara Brunei dengan Cina (AlSufri, 2000). 

Berdasarkan sumber yang ada, alasan putusnya hubungan perdagangan dua kerajaan tersebut disebabkan oleh pergantian sultan, yang kemudian berimplikasi pada perubahan kebijakan politik luar negeri (AlSufri, 2001).

Sultan Sharif Ali disinyalir merupakan anak cucu Sayidina Hasan, cucu Rasulullah Saw. Beliau juga pernah menjadi Amir Masjid Makkah. Ketika menjadi raja, Sultan Sharif Ali berjuang keras menyebarkan Islam kepada penduduk Brunei. Meski Islam telah ada di Brunei semenjak abad ke9, namun masih banyak pengaruh HinduBuddha dalam keseharian masyarakat. 

Konon, Sultan Sharif Ali membangun masjid bertingkat tiga dan banyak meninggalkan warisan kebudayaan Islam yang agung. Sultan Sharif Ali menerapkan corak kepemimpinan yang adil dan teratur dengan berasaskan hukum Islam. Pada masa ini, Brunei menjadi negeri yang aman dan sentosa. Itulah sebabnya, kemudian Brunei mendapat sebutan ”Darussalam”, yang berarti negeri yang aman.

Kerajaan Brunei yang aman sentosa semakin berjaya setelah jatuhnya Kerajaan Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, karena Sultan Brunei saat itu, yaitu Sultan Bolkiah, mengambil alih kepemimpinan Islam dari Melaka sehingga Brunei menjadi pusat perkembangan Islam di wilayahwilayah taklukan dan sekitarnya. Sejak saat itulah Kesultanan Brunei mencapai zaman kegemilangannya.

Kebesaran dan kegagahan Brunei pada zaman pemerintahan Sultan Bolkiah dianggap sebagai zaman keemasan Empayar Brunei. Pada masa ini, wilayah pemerintahan tak hanya mencakup keseluruhan Pulau Borneo, namun hingga Pulau Palawan, Sulu, Balayan, Mindoro, Bonbon, Balabak, Balambangan, Bangi, Mantanai, dan Saludang. Sayangnya, kegemilangan dan kejayaan ini tak berlangsung lama. 

Sultan Bolkiah mangkat pada tahun 1524 M. Estafet kepemimpinan Brunei diberikan kepada Sultan Abdul Kahar semasa Sultan Bolkiah masih hidup. Pada masa Sultan Abdul Kahar inilah mulai terjadi kolonialisme Eropa di Asia Tenggara, tak terkecuali di Kerajaan Brunei.

Sumber: wikipedia.org, inibangsaku.com