twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Sunday, November 29, 2015

SRI DIGWIJAYA SAATAPRABU RAJA YANG TERLUPAKAN



Suatu ketika bunyi "alarm" penjaga benteng terdengar secara tiba-tiba, sehingga mengagetkan seluruh penduduk dan para tetua desa. Dalam sekejap peperangan pun pecah, musuh yang datang dari arah barat laut tiba-tiba datang dan menyerang dengan membabi buta, sebuah desa yang sebelumnya aman tentram menjadi gaduh akan suara triakan dan dentuman logam senjata. Mekipun diserang dengan mendadak dan tiba-tiba dan karena kegigihan penduduk desa dan prajurit yang berjaga, perlawanan yang tidak sedikit memakan korban itupun berhasil memukul mundur musuh yang datang.

Setelah peristiwa itu, pada tahun 1108 S Sri Jayamrta memberikan perintah kepada pangeran Nwara Nusa Sarwwenayapala untuk menjaga daerah yang pernah diserang tersebut. Supaya penyerangan yang telah menewaskan seorang pejabat tinggi kerajaan berpangkat Sri Kanuruhan dan banyak prajuritnya gugur tidak terulang kembali. Dengan bantuan Juru Manutan penduduk desa yang berada di tempat di peperangan tadi dipindahkan ke tempat yang lebih aman, di lereng kaki Gunung, dan menetapkan desa tersebut sebagai desa Sima. Selain itu warga desa juga menerima hadiah berupa kain dari sang Raja.

Peristiwa ini dicatat dalam prasasti Batu pada tahun 1108 S pada bulan Phalguna tanggal 10 paruh terang Sabtu Legi pada wuku watu Gunung atau Sabtu Legi 23 Maret 1186 M. Di Desa Mruwak Kecamatan Dagangan Madiun di tulis oleh seorang citralekha atas perintah Sri Maharajasa Drwya Yajna Sri Jaya Prabhu. Prasasti yang menandakan peristiwa berdarah dan perpindahan seluruh penduduk desa Mruwak ini masih tegak berdiri dengan utuh, meskipun beberapa aksara telah hilang di makan usia.

Di tahun yang sama 1186 M di timur Gunung Wilis ada seorang raja juga yang bertahta, yang bisa dibilang lebih populer dari Sri Jayaprabhu, yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Kameswara Iriwikramawatara Aniwaryyawirrya Parakrama Digjayotunggadewanama atau lebih di kenal dengan nama Kameswara yang berkuasa di Panjalu. Namun nampaknya bukan tentara "negara api" yang menyerang. Siapakah yang menyerang desa itu, belumlah jelas di ketahui. Berdasarkan alih aksara Prasasti Musuh tersebut datang dari Barat Laut melalui sungai. Sedangkan Panjalalu berada di timur.

Dilihat dari gelarnya nampaknya Sri Jayaprabhu merupakan raja yang memiliki daerah otonom sendiri terlepas dari bayang-bayang Dhaha, meskipun "mungkin" kerajaannya pada masa diterbitkan prasasti ini tidak sebesar Dhaha. Namun 18 tahun kemudian Sri Jayaprabhu melebarkan sayapnya hingga ke daerah

Ponorogo dengan menerbitkan sebuah prasasti lagi, dan "mengangkat" derajatnya dengan mengklaim dirinya sebagai keturunan Dharmawangsa Tguh Anantawikramotunggadewa.

Om swastha dirghahayurastu
Sang hyang Wisnu siracarira sira ring bhuwana
subhaga wasta ring praja swastha cri Jayawarsa
digjaya castra prabhu suphala sinembahing sa
rat saksat bhaskara candratirtha sira tamrta
ri hajeng nikang sarat kabeh astwa
ninggya sahacracandra pangadeg sira sini
wi haneng jagat krta
(manggala prasasti sirah keteng)

Seperti yang telah di ceritakan bahwa Sri Jayaprabhu mengeluarkan prasasti di desa Mruwak, yang dalam inti isinya menyebutkan bahwa raja memindahkan penduduk desa itu ke tempat lebih tinggi, di atas bukit guna menghindarkan para Penduduk desa dari musuh yang pernah menyerang.

Rupa-rupanya pada 24 tahun kemudian Sri Jayaprabhu kembali mengeluarkan Prasasti di daerah Ponorogo, tidak terlampau jauh dari Prasasti Mrwak. Agak berbeda dari Prasasti Mrwak, sang Citralekha dalam prasasti Sirah Keting lebih berani dalam menyebut gelar rajanya, yaitu dengan nama "Sri Jayawarsa Digjaya Sasastraprabhu", Sri jayawarsa juga menyebutkan dirinya sebagai cucu anak dari Sang Apanji Wijayamertawarddhana yang kemudian bergelar bhiseka sebagai Sri Isana Dharmawangsa Tguh Anantawikramottunggadewa.

Prasasti Sirah Keting memuat tanggal di keluarkan pada 8 November 1204M ini memuat keterangan Raja Jayawarsa menganugrahkan hak-hak istimewa kepada atitih yang bernama Marjaya, karena telah menunjukkan kebaktiannya kepada Raja. Salah satu hal yang marik dari hak yang diberikan Raja kepada Merjaya adalah hak untuk menggunakan dampar pembagian kerajaan (dampa blah karajyan). Apa yang di maksud dari hak dampa blah karajyan tidaklah jelas.

Pada tahun 1205M Kertajaya yang berkuasa di Panjalu mengularkan prasasti Lawadan. Dari sini mengesankan bahwa Sri Jayawarsa merupakan raja yang bebas dan bukan mrupakan daerah vasal dari Panjalau. Dilihat dari keterangan Prasasti Sirah Keting yan menyebut Sri Jayawarsa adalah anak keturunan dari Dharmawangsa Tguh sangat mungkin Sri Jayawarsa adalah keluarga Dharmawangsa Tguh yang lolos dari peristiwa pralaya yang mendirikan daerah sendiri dan melepaskan diri dari dinasti Airlangga.

Bukan hanya itu, nama Sri Jayawarsa juga di tulis dalam Kakawin Krsnayana dan Kakawin Sumanasantaaka. Mpu Triguna dalam epilog Krsnayana menjelaskan hubungannya dengan Sri Warsajaya di umpamakan sebagai mpu Kanwa dan Airlangga. Sedangkan mpu Monaguna mempersembahkan Kakawin Sumanasantaka sebagai air suci berwujud puisi di bawah kaki raja (kakawin tinirthaken i jong nrpati rasa lango).

Dari berita naskah tersebut tampaknya mengatakan bahwa daerah bagian barat Gunung Wilis merupakan daerah yang lepas dari eks kerajaan Kahuripan. Dan Sri Jayawarsa Sastaprabhu adalah kerajaan yang patut untuk di telusuri keberadaannya. Mengingat prasasti Lawadan adalah prasasti terakhir Krtajaya, setelah itu Panjalu/Kadhiri runtuh dan kemudian muncul Singhaari dengan ken Arok sebagai kerajaan berikutnya.

Prasasti Sirah Keting adalah prasasti terakhir yang telah ditemukan di wilayah Ponorogo dan sekitarnya. Dahulu daerah Madiun, Ngawi, Pacitan, Magetan dan Ponorogo adalah daerah yang dikenal dengan nama Wengker. Jaman Majapahit Wengker di duduki oleh Seorang Bhre Wengker. Kudamerta suami dari Mahadewi Rajasa adalah termasuk di jajaran Bhatara Sapta Prabhu dimasa Hayam Wuruk. Putinya Paduka Sori dinikahi oleh Hayam Wuruk.

Asal muasal Kedamerta/Wijayarajasa sendiri belumlah jelas, melihat strategi politik kerajaan pada masa klasik, seorang yang menduduki kekuasaan jika ingin mengamankan kekuasaannya biasanya menggunakan politik perkawinan. Tidak menutup kemungkinan Wijayarajasa adalah salah satu keturunan Sri Jayawarsa Sastaprabhu, atau bahkan lebih dari itu. Keturunan dari "Haji Wengker" yang dinastinya telah lama di hancurkan oleh Airlangga, Wijayawarma, yang dipinang oleh R. Wijaya untuk dinikahkan dengan salah satu putrinya.
Oleh : Sang Agni

Sumber:
OJO LXVI
Kakawin Sumanusaantaka
Pararatwan
Negarakrtagama

No comments: