twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Saturday, December 5, 2015

KEBUDAYAAN DAYAK

A. Letak Geografis

Gbr ilustrasi orang Dayak
Sumber :kisahasalusul.blogspot.com
Kalimantan Tengah terletak di daerah Katulistiwa, 
pada 0"45” Lintang Utara – 3"30” Lintang Selatan, dan 111" Bujur Timur dengan luas wilayah 157.983 km2, terdiri dari hutan dan pertanahan 134.937,25 km2, sawah/ladang 10.744,79 km2, perkebunan 6.637,62 km2, dan pemukiman & bangunan lainnya 1.244,24 km2. Kalimantan Tengah dilalui oleh beberapa sungai yang bermuara ke Laut Jawa, yaitu: Sungai Kapuas, Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Katingan, Sungai Mentaya, Sungai Seruyan.

Iklim daerah 
Kalimantan Tengah termasuk iklim tropis yang lembab dan panas dengan suhu udara rata-rata 34 C. Curah hujan jatuh pada bulan Oktober sampai dengan Maret dengan curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Januari sekitar 1700mm.

Kondisi geografis 
di Kalimantan Tengah memiliki tiga ciri: yaitu 
daerah pesisir, 
daerah rawa-rawa, dan 
daerah perbukitan yang disertai aliran sungai.

Batas – batas wilayah Kalimantan Tengah yakni:
Sebelah Utara : Propinsi Kalimantan Barat dan Timur
Sebelah Selatan : Laut Jawa
Sebelah Timur : Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
Sebelah Barat : Propinsi Kalimantan Barat.

Wilayah administrasi 
pemerintahannya meliputi 13 kabupaten dan 1 kota, yaitu :
  1. Kabupaten Kotawaringin Barat , dengan ibukota Pangkalan Bun 
  2. Kabupaten Kotawaringin Timur, dengan ibukota Sampit
  3. Kabupaten Barito Utara, dengan ibukota Muara Teweh
  4. Kabupaten Barito Selatan, dengan ibukota Buntok
  5. Kabupaten Kapuas, dengan ibukota Kuala Kapuas
  6. Kabupaten Pulang Pisau, dengan ibukota Pulang Pisau
  7. Kabupaten Gunung Mas, dengan ibukota Kuala Kurun
  8. Kabupaten Murung Raya, dengan ibukota Puruk Cahu
  9. Kabupaten Barito Timur, dengan ibukota Tamiang Layang
  10. Kabupaten Katingan, dengan ibukota Kasongan
  11. Kabupaten Seruyan, dengan ibukota Kuala Pembuang
  12. Kabupaten Lamandau, dengan ibukota Nanga Bulik
  13. Kabupaten Sukamara, dengan ibukota Sukamara
  14. Kota Palangka Raya, sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Tengah
Gbr Kepala Suku Dayak
Sumber: kfk.kompas.com
Peletakan batu pertama pada tugu peringatan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957, menandai diresmikannya nama “Palangka Raya” sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Tengah, yang mengandung arti ‘tempat yang suci, mulia dan besar’. Adapun motto kota Palangka Raya adalah Kota CANTIK (Terencana, Aman, Tertib dan Keterbukaan).

Sebagian besar penduduknya terdiri dari orang Dayak, yang terbagi atas beberapa suku bangsa seperti Ngaju, Ot Danum, Ma’anyan, Ot Siang, Lawangan, Katingan. Mereka umumnya berdiam di desa-desa sepanjang sungai besar dan kecil seperti sungai Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya, Seruyan, Kurnai, Arut, dan Jelai. Ada pula keturunan orang-orang pendatang seperti Banjar, Bugis, Madura, Makasar, Melayu, dan Cina.

Nenek moyang suku bangsa Dayak berasal dari daerah Yunan (Cina Selatan). Diperkirakan sekitar awal abad ini terjadi over population di Cina sehingga sebagian penduduk ke luar untuk mencari daerah pemukiman baru, diantaranya di pulau Kalimantan. Mereka disebut Proto Melayu.

Kemudian datanglah kelompok Deutro Melayu. Akibat gelombang migrasi secara besar-besaran dari kelompok ini, kelompok Proto Melayu yang awalnya tinggal di daearh pesisir, semakin terdesak ke daerah pedalaman yang kemudian di kenal dengan suku bangsa Dayak (suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong dan Bentian, suku Dayak Kenyah, Punan, Basap, dan Kayan), dan mereka yang tinggal di daerah pantai disebut sebagai orang Melayu.

Suku Dayak memiliki kesamaan ciri budaya yang khas. Ciri tersebut adalah adanya rumah panjang, senjata (mandau, sumpit, beliong yaitu kampak Dayak), sistem perladangan berpindah, dan seni tari. Kata Dayak berasal dari kata ‘Daya’ yang artinya hulu, masyarakat yang tinggal di pedalaman. Semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti ‘seseorang yang memiliki kekuatan, gagah berani, tidak kenal menyerah atau pantang mundur.

B. Sistem Budaya

Konsepsi suku Dayak terhadap asal-usul penciptaannya telah membentuk identitas suku Dayak sebagai suku yang sangat menghormati roh-roh dan dewa-dewa dan juga alam semesta. Menurut kepercayaan suku Dayak, nenek moyang suku Dayak diturunkan dari langit yang ketujuh ke dunia dengan menggunakan Palangka Bulau (tandu suci yang terbuat dari emas), sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang.

Mereka diturunkan di: Tantan Puruk Pamatuan di hulu Sungai Kahayan dan Barito, di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting), di Datah Takasiang, hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat), dan di Puruk Kambang Tanah Siang (hulu Barito). Dari tempat–tempat tersebut kemudian tumbuh dan berkembang dalam tujuh suku besar yaitu: Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban dan Hebab, Dayak Klemantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.

Mereka amat taat dan setia kepada pemimpin yang telah mereka akui sendiri. Di lain pihak, untuk mendapatkan pengakuan dari penduduk, seorang pemimpin harus benar-benar mampu mengayomi dan mengenal masyarakatnya dengan baik. Adapun konsepsi tentang kepemimpinan dalam masyarakat Dayak adalah pemimpin yang mempunyai sikap:
  • Mamut Menteng, maksudnya gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan
  • Harati berarti pandai
  • Bakena berarti tampan, menarik, dan bijaksana
  • Bahadat, beradat
  • Bakaji, maksudnya berilmu tinggi dalam bidang spiritual
  • Barendeng, berarti mampu mendengarkan informasi juga keluhan warganya.

C. Sistem Sosial

1. Hukum Adat
Berbicara adat (adat-isitadat) tentu inklusif di dalamnya hukum adat, yaitu suatu institusi yang berwenang memberikan sanksi atas pelanggaran adat-istiadat. Pelaksanaan hukum adat juga terbagi menjadi dua aspek, yaitu aspek hukum (pengadilan adat), dan aspek ritual berupa ritual khusus yang diselenggarakan setelah pengadilan adat selesai. Yaitu upacara tampung tawar dengan menggunakan darah binatang untuk mengembalikan keseimbangan kosmos yang rusak akibat pelanggaran adat tadi. Adat-istiadat harus ditaati dan diwujudkan dalam setiap prilaku dan aktivitas sehari-hari dan dalam jalinan hubungan dengan berbagai unsur kosmos. Orang yang tidak mentaati adat dicap sebagai Belom Dia Bahadat atau hidup tidak beradat. Oleh karenanya orang semacam itu harus diusir dan keluar dari wilayah hukum adat di mana ia tinggal. Sebagai contoh: bila ada seorang perempuan hamil di luar nikah, maka kedua anak muda itu harus dihukum dengan memberi mereka makan pada tempat di mana biasanya orang memberikan makanan babi. Setelah makan di tempat makanan babi mereka berdua segera diusir.

Adapun Hukum Dayak berupa:
  • Tidak membunuh saat hari Balala
  • Tidak bertindak kasar terhadap segala jenis kehidupan (berlaku pada manusia, hewan jinak dan liar serta tumbuh-tumbuhan)
  • Tidak berzinah
  • Tidak melakukan pembicaraan yang merugikan orang lain (We'rinjana)
  • Tidak mengabil barang milik orang lain dalam bentuk apapun
  • Menghargai kepercayaan orang lain (tidak mencela pesugihan milik suku Dayak lainya)
  • Hidup dalam suasana kekeluargaan

Hukum bagi yang melanggar berupa:
  • Baras banyu (beras sebanyak tujuh biji yang harus dibayar sebagai hukuman yang dijatuhkan pada pelanggaran Hukum 2 dan Hukum 6).
  • Siam (pembayaran berupa seperangkat perlengkapan adat, dijatuhkan pada pelanggaran Hukum 1, 3, 4, 5 dan 7).

2. Aliran dalam Hukum Adat

a. Tersilah kepada keduniawian
Hukum adat ini mengadili perkara yang berhubungan dengan kemasyarakatan, misalnya: etika dalam pergaulan, perkara kriminal, masalah harta benda pusaka, perkawinan, perceraian, ketentuan ahli waris, masalah anak dalam perceraian, milik perpantangan, dan hak atas tanah.

b. Tersilah kepada agama
Hukum adat ini menghukum siapa pun yang telah menghina dan mencemarkan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat, misalnya: merusak kubur, merusak sandung merusak pangantoho (rumah kecil tempat sesajian), berzinah dengan saudara, berzinah dengan ibu atau bapak, dan berzinah dengan misan.

D. Unsur Kebudayaan yang Universal

1. Bahasa dan Tradisi Lisan
Tiap suku dalam masyarakat Dayak memiliki bahasa daerah masing-masing. Batas alam yang sulit diseberangi seperti pegunungan, hutan lebat, sungai besar, lembah dan rawa merupakan garis yang memutus satu kelompok dari kelompok lain, yang turut pula membedakan logat masing-masing bahasa daerah.

Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah, bahasa daerah (lokal) terdapat pada 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang meliputi 9 bahasa dominan dan 13 bahasa minoritas, yaitu:

a. Bahasa Dominan
  • Bahasa Banjar
  • Bahasa Ngaju
  • Bahasa Manyan
  • Bahasa Ot Danum
  • Bahasa Katingan
  • Bahasa Bakumpai
  • Bahasa Tamuan
  • Bahasa Sampit
b. Bahasa kelompok minoritas:
  • Bahasa Mentaya
  • Bahasa Pembuang
  • Bahasa Dusun Kalahien
  • Bahasa Balai
  • Bahasa Bulik
  • Bahasa Mendawai
  • Bahasa Dusun Bayan
  • Bahasa Dusun Tawoyanv
  • Bahasa Dusun Lawangan
  • Bahasa Dayak Barean
  • Bahasa Dayak Bara Injey
  • Bahasa Kadoreh
  • Bahasa Waringin
  • Bahasa Kuhin (bahasa daerah pedalaman Seruyan Hulu)
Sebuah masyarakat yang belum mengenal budaya tulis, cara untuk mengkomunikasikan berbagai kearifan lokal kepada generasi berikutnya adalah dengan sistem tanda, yang lazim disebut bahasa lisan.

Orang Dayak mempunyai cara pandang tersendiri terhadap sejarah pulaunya, yang terungkap dalam tradisi lisan yang disebut Tetek Tatum. Tetek Tatum yang artinya ‘Ratap Tangis Sejati’ merupakan salah satu kesusastraan Dayak, berupa nyanyian dan sangat digemari orang Dayak. Isinya menceritakan tentang pewarisan budaya yang terancam punah.

2. Sistem Organisasi Sosial

Gbr ilustrasi Gadis Dayak
Sumber: www.merdeka.com
a. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang dianut oleh suku bangsa Dayak adalah bilineal, yaitu menarik garis keturunan melalui pihak ayah dan ibu. Dengan demikian sistem pewarisan pun tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.

Bentuk kehidupan keluarga terdiri atas dua jenis, yaitu keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Pada kedua bentuk keluarga ini terdapat wali (asbah) yang berfungsi untuk mewakili keluarga dalam berbagai kegiatan sosial dan politik di lingkungan dan di luar keluarga. Yang menjadi wali (asbah) dalam keluarga batih adalah anak laki-laki tertua, sedangkan dalam keluarga luas yang berhak menjadi wali (asbah) adalah saudara laki-laki ibu dan saudara laki-laki ayah. Misalnya

dalam hal pernikahan, maka orang yang paling sibuk mengurus masalah ini sejak awal hingga acara selesai adalah para wali (asbah). Dengan demikian semua permasalahan dan keputusan keluarga harus dikonsultasikan dengan wali (asbah). Penunjukannya biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan keluarga dan bukan melalui pemilihan.

Dalam masyarakat Dayak, sistem kekerabatan perkawinan mendasarkan pada prinsip ambilineal. Perkawinan yang boleh dilakukan dalam keluarga paling dekat adalah antara saudara sepupu dua kali (haje’nan, dalam bahasa Ngaju). Sepupu satu kali dianggap masih saudara kandung. Tidak jarang terjadi semacam incest, yaitu perkawinan antara paman dan keponakan atau saudara sepupu sekali, sehingga harus ditangani secara adat guna menghapus dosa dan terhindar dari bencana. Perkawinan yang paling ideal adalah sistem endogami, yaitu perkawinan dengan sesama suku dan masih ada hubungan keluarga.

Dahulu perkawinan diatur oleh orang tua (dijodohkan) sebagai upaya untuk mendekatkan hubungan kekeluargaan dan upaya mempertahankan warisan, seperti tanah, kebun buah, kebun rotan, dan benda-benda pusaka lainnya. Jika pinangan dari keluarga laki-laki diterima oleh pihak perempuan, maka pihak pelamar mendatangi orang tua si gadis dan menyerahkan hakumbang auch (uang lamaran), sesudah itu orang tua si gadis akan mengumpulkan sanak saudaranya dan melakukan penyelidikan apakah pemuda tersebut bukan keturunan hanteun (dua alam). Kalau prosesi tersebut lancar maka langkah selanjutnya diadakan upacara peresmian pertunangan dan perundingan pesta pernikahan termasuk penentuan besaran palaku (mas kawin). Sedangkan bagi pasangan muda-mudi yang perjodohannya tidak disetujui oleh orang tuanya, biasanya pasangan itu menjalankan ijari (kawin lari).

Setelah menikah suami mengikuti pihak keluarga istri (matrilokal), namun dewasa ini ada kecendrungan menganut pola neolokal. Ketika huma betang (longhouse) masih dipertahankan, keluarga baru tersebut harus menambah bilik pada sisi kanan atau sisi kiri huma betang itu sebagai tempat tinggal mereka.

b. Sistem Kemasyarakatan
Di Kalimantan Tengah terdapat dua sub-suku yang mempunyai struktur kemasyarakatan berlapis, yaitu:
  • Orang Kayan yang masyarakatnya terdiri dari hipi (bangsawan), pinyin (warga biasa), dan dipan.
  • Orang Danuaka dengan struktur masyarakat yang terdiri dari samagat (bangsawan), pabiring (bangsawan campuran masyarakat biasa), banua (masyarakat biasa), dan pangkam (budak).
Kehidupan di Tampun Juah (tempat pertemuan gabungan bangsa Dayak yang kini disebut Ibanic group) terbagi dalam tiga stratifikasi, yakni:
  1. Bangsa Masuka/Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang hidupnya berkecukupan dan termasuk kerabat orang penting (purih Raja)
  2. Bangsa Meluar (masyrakat biasa), seorang yang hidupnya menengah ke bawah, tidak terikat masalah hutang piutang
  3. Bangsa Melawang (kaum miskin), kelompok orang miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala hutangnya.
Penduduk Tampun Juah juga membentuk pemimpin di setiap rumah panjang yang disebut Temenggung, tugasnya mengatur kehidupan masyarakat. Pada Suku Dayak Mali terdapat Kepala Adat (Demang) yang menjadi pengayom atas seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Ada panglima perang yang hanya berkuasa pada saat genting saja dan juga sebagai peredam atau pendamai.

3. Sistem Pengetahuan

Karena Suku Dayak tidak mengenal tulisan, maka melalui tradisi lisan mereka mengkomunikasikan pengetahuannya. Misalnya cara membina seseorang untuk menjadi seorang belian (dukun) adalah dengan cara menghafalkan kata, kalimat, mantera-mantera dari senior atau gurunya secara lisan. Demikian juga dengan sistem nilai dan norma. Syarat utamanya adalah mereka harus memiliki daya ingat yang baik, kesetiaan, dan kejujuran.

Tanda-tanda tentang gejala alam seperti hujan, panas, banjir, bahaya penyakit, tanda sial, keberuntungan, semuanya ‘dibaca’ melalui suara atau karakter binatang, posisi bintang dan bulan, keadaan tanah, warna daun, mimpi, garis tangan, tahi lalat, dan yang semacam itu. Demikian juga dengan pengetahuan mereka tentang zat-zat dan racun dari akar-akaran dan pohon-pohonan yang dapat digunakan untuk obat tradisional dan untuk senjata.

Sistem kalender yang mereka gunakan sangat berbeda dari sistem kalender nasional. Bulan dan bintang mereka gunakan untuk mengatur kegiatan pertanian, kegiatan berburu dan menangkap ikan. Bahkan penentuan waktu untuk pernikahan pun disesuaikan dengan posisi bulan. Satuan waktu dan bilangan juga memiliki istilah tersendiri. Misalnya untuk mengukur satuan waktu untuk melakukan perjalanan jauh, mereka tidak menggunakan ukuran jam, tapi berapa lamanya mengisap satu batang rokok.

Mereka menganggap pengetahuan akan tanda-tanda atau simbol-simbol tertentu dari alam adalah hal wajar, meskipun sebenarnya tidak setiap orang memiliki kepandaian untuk itu. Sebagian orang Dayak percaya ada tanda-tanda dan kekuatan supernatural yang dapat menimbulkan kegaiban atau keajaiban melalui peristiwa tertentu.

4. Sistem Teknologi

Peralatan yang mereka gunakan umumnya berhubungan dengan kegiatan pertanian, berburu, menangkap ikan, membangun rumah panggung. Peralatan seperti pisau dan beliung (sejenis kampak) merupakan peralatan untuk berladang. Sedangkan tombak dan pisau adalah senjata untuk berburu binatang secara langsung. Tombak, mandau, dan telawang, adalah senjata tradisional untuk berperang. Sedangkan alat untuk menangkap ikan di sungai dan di danau umumnya terbuat dari bambu dan batang kayu yang dijalin dengan rotan. Demikian juga peralatan untuk menangkap binatang di darat umumnya terbuat dari rotan, kayu dan bambu runcing. Alat untuk menangkap burung di pepohonan terbuat dari getah kayu atau lateks yang dimasak hingga mengental dan dioleskan pada bilah bambu yang berbentuk lidi dan kemudian ditancapkan pada dahan kayu.

Burung yang terkena getah pada sayapnya tidak bisa terbang dan akan jatuh. Teknologi yang cukup “canggih” adalah menangkap kalong di udara dengan tali nilon dan bentuknya mirip dengan jaring penangkap ikan. Caranya adalah sebagai berikut: Didalam hutan dibuat tempat khusus dengan menebang beberapa pohon sehingga menyerupai jalan. Pada kiri dan kanan jalan itu dibiarkan masing-masing satu pohon yang besar dan tinggi. Pada ujung pohon ini diikat sebilah bambu yang cukup panjang secara vertikal. Pada ujung bambu dipasang gelang terbuat dari rotan dan dimasukkan tali hingga mencapai ke tanah. Ujung jaring tali diikat sehingga bisa dinaikkan dan diturunkan. Pada malam hari jaring dinaikkan ke udara dan bila jaring tersebut ditabrak oleh kalong, jaring diturunkan dan kalongnya ditangkap. Cara membangun rumahpun cukup sederhana, yaitu dengan menggunakan kayu bulat sebagai tiang, kulit kayu atau daun rumbia sebagai atap dan kulit kayu untuk dinding rumah. Peralatan rumah tangga seperti alat untuk menampung air terbuat dari bambu yang besar dan buah labu.

5. Sistem Ekonomi

Sumber penghidupan yang paling utama adalah ekonomi subsisten dalam bentuk perladangan tidak menetap (berpindah-pindah), berburu, menangkap ikan secara tradisional, serta meramu hasil hutan. Perladangan berpindah-pindah mereka lakukan dengan cara slash and burn atau dengan cara tebas, tebang dan bakar lalu ditanami.

Di ladang yang ditumbuhi padi, mereka juga menanam jagung, lombok, terong, dan ubi kayu. Jarak ladang dengan desa berkisar antara 2-5 kilometer. Di samping berladang mereka juga menyadap karet dan memotong rotan.

Berburu yang umum dilakukan adalah dengan membawa beberapa ekor anjing ke dalam hutan dan membawa tombak. Dapat pula dengan memasang perangkap, baik d iatas tanah, maupun di atas pohon untuk menangkap burung. Menangkap ikan dapat dengan menggunakan lampu, dan dapat juga dengan pancing dan jaring. Hampir semua jenis binatang yang ada di sekitar mereka bisa dikonsumsi, termasuk jenis ular, monyet, kelalawar, serta semua jenis burung.

Berladang merupakan pekerjaan yang banyak memerlukan tenaga, oleh karena itu mereka mengembangkan suatu sistem kerja sama dengan membentuk kelompok gotong-royong berdasarkan hubungan ketetanggaan atau persahabatan. Kelompok ini biasanya terdiri dari 12-15 orang yang secara bergiliran membuka hutan bagi ladang masing-masing. Sebuah rumah tangga yang menerima bantuan harus membayarnya kembali dengan bantuan yang serupa, walaupun rumah tangga tersebut kekurangan tenaga kerja laki-laki, maka kaum wanita dapat menggantikan pekerjaan itu.

Sistem perladangan ini mengandung nilai ritual dan religi serta selaras dengan prinsip konservasi modern. Dalam menentukan calon lokasi mereka juga memperhatikan tanda-tanda alam yang dapat diterima secara logika. Ketua suku serta dukunnya akan mencari lokasi hutan sekunder, artinya hutan yang telah pernah dibuka oleh nenek moyangnya. Mereka memperhatikan apakah ranting pohon di hutan sekunder itu tidak bergoyang ketika ada burung enggang yang hinggap. Bila tidak bergoyang berarti pohon itu cukup memadai untuk ditebas dan dibakar, karena zat hara untuk berladang hanya mengandalkan abu dari pembakaran pohon-pohon tadi.

Dalam melaksanakan pembukaan lokasi ladang dilakukan ritual sebagai berikut:
  • Setelah pohonnya ditebang, dilakukan pembakaran yang diawasi oleh semua anggota sukunya dengan mengelilingi lokasi hutan yang akan dibakar.
  • Setelah hujan turun, tanah yang berupa abu pohon-pohon tadi ditanami padi atau tanaman lain dengan cara menugal, yaitu menggunakan tongkat kayu untuk membuat lubang di tanah yang kemudian diisi dengan benih tanaman. Penanaman tidak dilakukan dengan cangkul ataupun bajak, mengingat tanah di bawah abu tadi berupa batubara yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang telah berabad-abad tumbang.
  • Peristiwa menugal dan menuai dianggap sebagai peristiwa kegembiraan, dan sebab itu hampir selalu dibarengi dengan nyanyian dan tari-tarian.
  • Sistem perladangan berpindah ini sudah memperhitungkan sirkulasi rotasi tanaman, dengan menanami lahan bekas ladang tadi dengan tanaman keras seperti kopi, karet, rotan, dan pohon buah-buahan Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar kembali sehingga memperoleh kembali kesuburan dalam kadar yang cukup, yang ditandai cabang pohonnya tidak bergoyang ketika ada burung enggang hinggap.
Sementara bekas ladangnya memperoleh zat haranya kembali, mereka mencari hutan sekunder lagi yang akan digunakan untuk perladangannya dengan cara seperti yang dikerjakan pada lahan pertama tadi. Umumnya setelah masa daur 30 tahun, barulah lahan tersebut digarap kembali. Oleh sebab itu, perladangan (berpindah) tidak dapat dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan atau lingkungan hidup.

Walaupun ada di antara suku-suku Dayak ini yang telah menggunakan sistem persawahan dengan irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik kerbau, seperti di kalangan suku-suku Lun Daye di Karayam - Kaltim dan suku Kalabit, namun pada umumnya semua Suku Dayak masih bercocok tanam dengan sistem perladangan berpindah.

Penggunaan media tanda-tanda alam dan suara serta gerakan binatang dalam kegiatan perladangan menggambarkan hubungan dan ketergantungan simbiosis mutualisme antara suku Dayak dengan alam sekitar. Kehancuran ekosistem dan kepunahan satwa liar sama artinya dengan kehancuran dan peniadaan budaya suku Dayak itu sendiri.

Hal ini terjadi ketika ada program transmigrasi dari Jawa. Para transmigran ini tidak mengetahui budaya Dayak, bahwa tidak boleh membawa api ke ladang, disebabkan tanah di Kalimantan sebagian besar batubara, yang terjadi karena pohon-pohon yang tumbang berpuluh tahun atau beribu tahun telah menjadi batubara. Sedangkan kebiasaan orang Jawa, ketika mereka selesai mengerjakan ladang, sambil istirahat mereka merokok. Masalah yang lain, ketika orang-orang tertentu karena kedekatannya dengan peguasa minta diberi HPH (Hak Penguasaan Hutan), menyebabkan lahan orang Dayak menjadi semakin sempit. Hutan yang harusnya baru dibuka kembali setelah dibiarkan 30 tahun agar pohon-pohonnya sudah cukup besar sehingga zat haranya cukup untuk ditanami, karena lahannya semakin sempit maka belum 30 tahun sudah dibuka kembali, sehingga zat hara yang didapat hanya sedikit. Kesejahteraan orang-orang Dayak ini semakin menurun. Peristiwa ketiga ketika orang-orang Madura berdagang di Kalimantan Barat. Mereka datang dari daerah yang tandus, maka mereka merupakan orang-orang yang ulet dan keras, sehingga sering terjadi konflik dengan penduduk setempat.

6. Sistem Religi

Konsep religi suku Dayak dikenal dengan nama Agama Kaharingan. Agama Kaharingan memiliki konsep keyakinan yang sangat abstrak, yaitu di samping mereka percaya pada adanya eksistensi Tuhan Yang Satu, mereka juga memuja roh-roh nenek moyang. Orang luar cenderung menyebut keyakinan orang Dayak sebagai animisme. Namun sebutan demikian ditolak oleh orang Dayak, karena sesungguhnya mereka tidak menyembah batu, pohon, dan gua-gua besar. Mereka menganggap roh-roh nenek moyang mereka bersemayam pada pohon yang besar, gua atau batu yang besar sehingga ritual keagamaan mereka sering menggunakan media seperti itu. Dengan konsep keyakinan yang demikian tadi maka inti dari kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini bagi orang Dayak bukan terletak pada aspek kebendaan (material), tetapi pada keseimbangan kosmos. Kesanggupan manusia untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan kosmos merupakan sumber dari semua kedamaian, kesejahteraan, dan keselamatan hidup.

Konsep kepercayaan agama Kaharingan meyakini adanya tokoh dewa tertinggi yang bersemayam di alam atas yaitu Mahatala, dan Jata sebagai dewa yang bersemayam di alam bawah. Mahatala penguasa dunia atas dianggap sebagai laki-laki yang disimbolkan dengan wujud burung Enggang (Tingang), sedangkan Jata sebagai perempuan yang disimbulkan berbentuk Tambon, yaitu sejenis naga. Keduanya dianggap sebagai lambang keseimbangan dan kesatuan bagi masyarakat Dayak.

Kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan makhluk-makhluk halus lainnya yang menempati alam sekelilingnya itu terwujud dalam upacara-upacara keagamaan, baik dalam upacara-upacara kecil yang dilakukan pada waktu pemberian sajian kepada ruh-ruh maupun pada peristiwa-peristiwa penting lainnya seperti upacara menyambut kelahiran bayi, memandikan ataupun memotong rambut dan juga peristiwa kematian seperti mengubur dan membakar mayat. Dalam sistem religi orang Dayak, orang yang meninggal, mayatnya terlebih dahulu dikubur dalam sebuah peti mayat dari kayu berbentuk perahu lesung. Kuburan ini masih dianggap kuburan sementara, karena upacara yang terpenting berhubung dengan kematian adalah upacara pembakaran mayat secara besar-besaran yang disebut dengan upacara Tiwah.

Pada upacara Tiwah, tulang belulang terutama tengkoraknya dari semua kaum kerabat yang telah meninggal dalam suatu masa yang tertentu digali lagi dan dipindahkan ke suatu tempat pemakaman yang tetap, sebuah bangunan yang berukir indah yang disebut sandung. Sedangkan pada suka Ma’anyan tulang belulang tadi dibakar dan abunya ditempatkan ke dalam tempat pemakaman yang tetap yang disebut dengan tambak.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Dayak pada awalnya adalah Hindu Kaharingan yang berarti “air kehidupan” (Koentjaraningrat, 1990). Penyebaran Islam melalui interaksi dan pernikahan antara etnis Dayak dengan etnis pendatang yang beragama Islam seperti Madura, Jawa, Arab dan Melayu mendorong etnis Dayak untuk masuk Islam, sedangkan etnis Dayak yang tidak mau memeluk agama Islam umumnya menyingkir ke pedalaman dan mempertahankan adat istiadat. Sehingga terjadilah pameo, etnis Dayak yang beragama Islam umumnya tinggal di pesisir pantai dan orang Dayak non Islam mengungsi di pedalaman. Istilah Dayak Islam terdengar sedikit asing bagi telinga orang di Banjarmasin. Namun kemudian penyebutan nama "Dayak" identik dengan penduduk lokal Kalimantan yang beragama Kristen atau yang beragama adat. Sementara yang muslim umumnya dipandang sebagai orang Melayu atau Banjar Melayu.

7. Kesenian

Kesenian yang berkembang di kalangan suku bangsa Dayak adalah seni tari, seni suara, seni patung, seni lukis, dan seni instrumental. Seni tari yang masih ada hingga sekarang adalah Tari Giring-giring, Tari Bahalai, Tari Gelang, Tari Mandau, dan Tari Burung Jue (merak). Semua tarian ini sebagai tarian pergaulan dan untuk menyambut tamu.

Seni suara dilantunkan dalam bentuk pantun maupun bentuk puisi, disajikan pada upacara perkawinan dan pertemuan yang bersifat gembira. Seni patung berhubungan dengan ritual kematian, karena patung yang dibuat menggambarkan orang yang sudah mati dan para leluhur. Demikian pula dengan seni lukis banyak berhubungan dengan kegiatan ritual orang mati dan orang yang sakit. Sedangkan seni instrumental tampaknya dipengaruhi oleh budaya dari luar, misalnya peralatan untuk seni tari seperti gong, kenong, dan gendang.


Catatan :
  • Dayak terbagi atas beberapa sub-suku. Nenek moyangnya berasal dari Yunan.
  • Mereka ada yang tinggal di pesisir, disebut orang Melayu, sedangkan yang tinggal di pedalaman ada yang disebut Dayak Kaharingan dan sebutan Dayak untuk orang yang beragama Kristen.
  • Religi asli mereka menyembah roh nenek moyang, dewa-dewa dan alam.
  • Mereka taat kepada pemimpin yang mereka pilih, sebaliknya pemimpin itu juga amat melindungi yang dipimpinnya.
  • Mereka belum mempunyai budaya tulis, mereka menggunakan budaya lisan untuk menularkan pengetahuannya. Karya sastranya berupa Tetek Tatum, menceritakan pewarisan budaya mereka yang terancam punah. Sistem organisasi sosialnya berbentuk bilineal, sistem pengetahuannya ditularkan secara lisan.
  • Mereka mempunyai sistem kalender dan satuan waktu yang berbeda dengan sistem nasional.
Sumber: 
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA Oleh: WORO ARYANDINI DAN TIM

No comments: