twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Tuesday, December 15, 2015

SASTRA INDONESIA, SEJARAH PEMIKIRAN INDONESIA, DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA




SASTRA INDONESIA, SEJARAH PEMIKIRAN INDONESIA, DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA


Penulis sengaja menulis kata Indonesia pada judul tulisan ini dengan huruf miring. Kata Indonesia sekarang ini telah tereduksi oleh konsep-konsep pemikiran modern, yang nota bene adalah konsep-konsep pemikiran Barat dan Eropa. Membicarakan Indonesia mesti ditempatkan ke dalam kerangka pemikiran tentang globalisasi, modernisasi, dan teknologi modern. Ketiga istilah tersebut merupakan terminologi wacana modern, yang diadobsi dari Barat dan Eropa, yang merebak di dalam kancah pemikiran di Indonesia. Bangsa Indonesia haruslah memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan makna Indonesia. 

Tradisi bersastra di Indonesia sudah berkembang jauh sebelum Indonesia mengenal teknologi modern dengan alat percetakan seperti sekarang ini. Di kalangan sastrawan pada waktu itu, karya sastra ditulis tangan di atas kulit, lontar, kertas merang, dan sebagainya. Kalau kemudian terdapat varian-varian suatu karya sastra, itupun ditulis dengan tangan. Istilah untuk menyebutkan naskah tulisan tersebut adalah carik. Di samping sastra lisan, sastra tulis tersebar begitu banyak dengan berbagai judul dan variannya. Saat ini karya-karya sastra itu bisa dibaca di museum-museum sebagai artefak tak ternilai harganya.

Meskipun begitu, karya-karya sastra zaman dulu bukan sekedar warisan berbentuk naskah. Karya-karya tersebut merupakan warisan kultural yang memuat semangat zaman, fakta historis, dan ajaran-ajaran filosofis. Memang kita sadar, karya-karya sastra tersebut tidak banyak yang membaca; apalagi memahaminya. Di samping bahasa yang dipakai sudah tidak dikuasai masyarakat, karya-karya sastra tersebut belum banyak yang diterjemahkan dan disebarkan untuk konsumsi khalayak. Jadinya, warisan kultural itu menjadi dokumentasi yang asing bagi masyarakat sekarang. Barangkali hanya peneliti sastra lama yang memahaminya. Itupun demi kepentingan ilmiah.

Zaman sekarang orang lebih mengenal Plato, Sokrates, Aristoteles, Sophokles, Homerus, Van Goh, Leonardo da Vinci, Ferdinas de Saussure, Levi Strauss, Roland Berthes, Derida, Karl Max, Lucien Goldman dan tokoh-tokoh Barat dan Eropa, daripada Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Kanwa, Mangkunegara IV, Yosodipura, Ranggawarsita, Ki Ageng Suryamentaraman, Abdullah bin Abdul kadir Munsyi, Hamsah Fansuri, Araniri, Ki Hajar Dewantara, Moh. Yamin, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan sebagainya. Ironis memang. Di zaman modern dengan alat percetakan yang canggih justru karya-karya sastra lama tersebut hanyalah barang mati. Apakah ini akan berlangsung terus? Wacana modern tentang sosiokultural lebih banyak didominasi oleh pemikiran Barat dan Eropa. Sejarah tradisi pemikiran di Indonesia selalu mengadobsi pemikiran dari sana. Wacana tersebut akan menggeser pemikiran-pemikiran yang berasal dari sejarah Indonesia sendiri.

Tanda-tanda dominasi pemikiran Barat dan Eropa di Indonesia sudah menunjukkan kecenderungannya yang signifikan. Di bidang keilmuan dan pemikiran akademis merebak teori-teori yang berasal dari luar. Tidak ada satu pun landasan berfikir (metodologis) yang membumi. Sedangkan objek kajiannya adalah karya-karya sastra Indonesia. Pemaksaan, bias analisis, dan perlakuan yang tidak adil terhadap karya-karya sastra Indonesia pun terjadi. Lumrah kalau ini terjadi. Bukankah belum ada teori yang membumi yang relevan dengan objek kajiannya!? Bahkan penulis sempat tersentak ketika pada suatu kesempatan perkuliahannya, Prof. Dr. Setya Yuwono Sudikan mengatakan, pembagian masyarakat Jawa menjadi santri, priyayi, dan abangan, yang sudah lama dipahami masyarakat, justru menjadi proposisi ilmiah di tangan seorang Clifort Gertz. 

Kesadaran terhadap teori yang membumi di tengah-tengah dominasi pemikiran Barat dan Eropa, sebenarnya sudah muncul di kalangan ilmuwan di Indonesia. Tetapi kesadaran tersebut belumlah cukup. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh beberapa kalangan juga belumlah seimbang; meskipun patut diapresiasi yang tinggi untuk itu. Diperlukan upaya yang lebih jauh lagi. Diperlukan kebijakan formal tentang revitalisasi pemikiran Indonesia yang membumi. Revitalisasi tersebut dituangkan dalam kebijakan pembangunan kebudayaan nasional yang berorientasi pada penciptaan tradisi pemikiran Indonesia ke depan. 

Kebijakan pembangunan kebudayaan hendaknya diwujudkan dalam program-program sebagaimana berikut. Pertama, penterjemahan karya-karya sastra lama sebagai bahan bacaan dan kajian masyarakat Indonesia. Pendistribusian hasil-hasil terjemahan tersebut juga sangat penting untuk dipikirkan sesuai dengan kondisi masyarakat indonesia yang belum tumbuh tradisi minat bacanya. Program penterjemahan tersebut diperlukan juga program pengiring, yaitu pendistribusian dan penyebaran di segenap lapisan masyarakat. Sasaran jangka panjangnya adalah menumbuhkan tradisi minat baca, khususnya bacaan yang bersumber dari khasanah karya-karya lama. Kebijakan perbukuan nasional haruslah diarahkan selaras dengan program-program ini.

Kedua, memberikan kesempatan dan keleluasaan sebesar-besarnya kepada lembaga penelitian, lembaga pendidikan, LSM, dan masyarakat umum untuk mengadakan kajian dan penelitian yang mengambil objek kajian karya-karya lama dan modern Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut diarahkan pada penemuan konsep, pengetahuan, dan proposisi, yang bersumber dari pemikiran Indonesia. Pada gilirannya akan dirumuskan temuan-temuan yang sistematis sebagai landasan berpikir yang mengindonesia. Lemahnya program pemerintah di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan selama ini, semakin mengukuhkan sifat ketergantungan pada Barat dan Eropa. Kasus tidak efektifnya BPPT dan lembaga-lembaga penelitian dibawah naungan pemerintah, merupakan salah satu indikator lemahnya program pemerintah di bidang ini. 

Ketiga, diperlukan penyusunan sejarah pemikiran Indonesia yang berpijak pada sejarah pemikiran lokal. Kebiasaan yang terjadi dalam bidang apapun, penulisan sejarah selalu bertumpu pada karya-karya yang tergolong kanon. Kanonisasi yang terjadi dalam penulisan sejarah, itu telah terjadi dalam sejarah sastra indonesia modern, mengakibatkan tercecernya karya-karya lokal dan yang dianggap tidak tergolong karya besar. Sedangkan karya-karya tersebut sebenarnya juga memiliki peranan dalam perjalanan sejarah umum. Penyusunan sejarah para wali misalnya, hanya berkutat pada sembilan wali besar yang ada di Indonesia. Sedangkan jika bertolak pada wilayah lokal, akan diketemukan para sunan atau tokoh Islam lokal yang juga memiliki peranan yang sama dalam pengembangan agama Islam di Indonesia. Oleh karena itu, sejarah pemikiran Indonesia mesti berangkat dari sejarah pemikiran lokal. Tokoh-tokoh lokal dan pemikirannya banyak tersebar di daerah-daerah. Tetapi hal itu belum banyak diungkap dan diteliti. Kalau kenyataan seperti ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin akan hilang ditelan waktu. Penyusun sejarah pemikiran Indonesia demikian itu akan memberikan inspirasi dan pemahaman lebih lanjut. Dalam bidang keilmuan, sejarah pemikiran Indonesia akan menjadi pijakan untuk menemukan konsep pemikiran dalam studi lanjut. Bukan tidak mungkin kalau kemudian akan menjadi konsep-konsep dan proposisi-proposisi sebagai kerangka teoritis yang mengindonesia.

Kebijakan pengembangan kebudayaan semacam itu nampaknya relevan dengan perkembangan masyarakat modern. Globalisasi yang terjadi haruslah disikapi secara kontekstual. Artinya, globalisasi bukan semata-mata semakin terbukanya peluang masuknya kebudayaan luar terhadap kebudayaan Indonesia. Tetapi globalisasi merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia untuk mengaktualisasi di tengah-tengah arus masuknya kebudayaan luar tersebut. Dominasi pemikiran barat dan eropa yang terjadi selama ini akan semakin menghilangkan pemikiran dan kebudayaan Indonesia apabila arus globalisasi tidak disikapi secara kontekstual. Seharusnya pengaruh pemikiran luar tersebut akan memacu munculnya teori-teori dan pemikiran Indonesia. Realitasnya adalah, apa yang ada di Indonesia hanyalah sebagai objek data. Bangsa Indonesia hanya menjadi sapi perahan bagi pemikiran-pemikiran luar. Alhasil, objek kajian tersebut bukan semata-mata demi objek itu sendiri, tetapi demi kemapanan dan keterujian proposisi dari luar. Apakah tidak mungkin muncul teori Indonesia untuk mengungkap objek dari Indonesia sendiri? Persoalan inilah yang seharusnya menjadi pendorong utama kebijakan pengembangan kebudayaan Indonesia. Kesusasteraan Indonesia dan daerah merupakan salah satu bentuk produk budaya yang juga perlu diperhatikan dalam kerangka pemikiran tentang kebudayaan nasional.


Oleh : Suhariyadi
Komunitas Sanggar Sastra UNIROW Tuban

Sumber : academia.edu

No comments: