twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Sunday, December 6, 2015

THE MINAHASA

SEMUA TENTANG MINAHASA

Orang Minahasa atau lebih dikenal masyarakat umum sebagai orang Manado, adalah salah satu suku bangsa yang mendiami kawasan semenanjung pulau Sulawesi atau pada zaman dahulu disebut Celebes. Ini adalah suku asli pemilik tanah adat Wenang atau dikenal sebagai Kota Manado sekarang.

Meskipu saat ini memang, seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Manado sudah banyak pendatang dari suku-suku lain entah yang berasal dari sekitar Minahasa seperti suku Sanger, Mongondow atau Hulontalo (Gorontalo) namun orang Minahasa bisa dikenali dengan melihat marga dan parasnya.


SUB ETNIS DI MINAHASA

Seseorang bias dikatan Orang Minahasa apabila terlahir dari salah satu dari Sembilan sub etnis Minahasa yakni:
Tontemboan
Tombulu
Tonsea
Toulour (Tondano)
Tonsawang (Tombatu/Tondanow)
Ponosakan
Pasan (Ratahan)
Bantik
Siau (siow)


AKSARA ASLI MINAHASA

Minahasa termasuk suku asli di Indonesia yang memiliki aksara tersendiri yang digunakan untuk merekam kegiatan dan hal-hal penting. Namun sayang saat ini sudah tidak ada yang bisa membacanya.










Info selengkapnya di http://www.proel.org/index.php?pagina=alfabetos/minahasa


WARANEY & KABASARAN
Kabasaran merupakan tarian perang yang dilakukan warga Manado asal daerah Minahasa dari semua sub etnis. Anggota penari Kabasarasn adalah para Waraney (Prajurit Perang) yang juga bertugas sebagai penjaga keamanan desa pada dahulu kala. 
Menelusuri tarian yang menunjukan kekuatan ilmu perang ini sangat menarik. Apalagi para penari ini mempunyai 9 jurus pedang dan 9 jurus tombak. Tidak itu saja senjata yang digunakan sebagian besar adalah senjata warisan turun temurun.
Para penari kabasaran ini menari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah
garang, diiringi tambur sambil membawa pedang dan tombak tajam. Ini membuat tarian kabasaran amat berbeda dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya mengumbar senyum dengan gerakan yang lemah gemulai.

Pada jaman penjajahan Belanda, ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staadblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa :
Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, dan Hukum
Tua) serta tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkimpoian keluarga pemimpin negeri.
Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran.
Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa).
Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari.


Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staadblad tersebut diatas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran.


STRUKTUR SOSIAL MINAHASA TEMPO DULU




WARUGA/KUBUR BATU

Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang.
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan orang meninggal dalam waruga.
Kemudian pada tahun 1870, Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai pengganti waruga, karena waktu itu mulai berjangkit berbagai penyakit, di antaranya penyakit tipus dan kolera. Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki ukiran dan relief umumnya terdapat di Tonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang tersimpan di waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencarian atau pekerjaan orang tersebut semasa hidup.
Di Minahasa bagian utara, pada awalnya waruga-waruga yang ada sekitar 370 buah tersebut, tersebar pada hampir semua desa di Minahasa Utara yang akhirnya dikumpulkan ke beberapa tempat seperti kelurahan Rap-Rap sekitar 15 buah, kelurahan Airmadidi Bawah 211 buah dan desa Sawangan 144 buah. Kini lokasi waruga-waruga di tempat-tempat tersebut menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara.
Tempat ini pun telah dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.


BUDAYA POTONG KEPALA DI MINAHASA

Perburuan kepala di Sulawesi masih berlangsung hingga kedatangan orang Eropa. Alfred Russel Wallace, naturalis tersohor asal Inggris, yang mengunjungi Manado pada 10 Juni 1859, mendapatkan cerita itu langsung dari penduduk lokal (Minahasa). Kepala manusia dipakai untuk menghiasi makam dan rumah. “Mereka berburu kepala manusia layaknya suku Dayak di Kalimantan... Ketika seorang kepala suku meninggal, dua potong kepala manusia yang baru dipenggal digunakan sebagai penghias makamnya... Tengkorak manusia merupakan hiasan yang paling disukai untuk rumah kepala suku,” tulis Wallace dalam catatannya, dimuat dalam Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992 karya George Miller. 


RUMAH ADAT MINAHASA

Rumah Pewaris atau disebut juga Walewangko merupakan rumah adat daerah Minahasa, Provinsi Sulasesi Utara. Rumah adat ini berdiri di atas tiang dan balok-balok yang mendukung lantai, dua di antaranya tidak boleh disambung.
Kolong Rumah Pewaris digunakan untuk menyimpan hasil bumi (godong). Pintu rumah terletak di depan, tetapi tangga naik terdapat di kiri dan kanan serta bagian tengah belakang rumah. Ruang paling depan, disebut lesar, tak berdinding, tempat kepala suku atau kepala adat memberikan maklumat kepada rakyat.
Ruang kedua, adalah sekey merupakan serambi depan, berdinding, terletak setelah pintu masuk. Ruang ini berfungsi untuk menerima tamu dan menyelenggarkan upacara adat, serta tempat menjamu undangan.
Ruang tengah, disebut pores, tempat untuk menerima tamu yang masih ada ikatan keluarga serta tempat menerima tamu wanita. Di ruang tengah ini terdapat kamar-kamar tidur. Ruang makan keluarga serta tempat kegiatan sehari-hari wanita berada di bagian belakang, bersambung dengan dapur.
Rumah pewaris merupakan rumah panggung yang dibangun di atas tiang dan balok-balok yang di antaranya terdapat balok-balok yang tidak boleh disambung. Seluruh komponen rumah dibuat dari bahan kayu.
Rumah Pewaris memiliki dua buah tangga. Letaknya di sisi kiri dan kanan bagian depan rumah. Konon, dua buah tangga tersebut dimaksudkan untuk mengusir roh jahat. Jadi, kalau ada roh jahat yang naik dari salah satu tangga, maka ia akan kembali turun di tangga sebelahnya.
Dulunya, rumah adat Minahasa ini hanya terdiri dari satu ruangan saja. Kalau pun harus dipisahkan, biasanya hanya dibentangkan tali rotan atau tali ijuk saja, yang kemudian digantungkan tikar. Sekarang ini, Rumah Pewaris memiliki beberapa ruang. Misalnya, setup emperan yang digunakan untuk menerima tamu. Pores, untuk ruang tidur orang tua dan anak perempuan. Dan sangkor yang digunakan sebagai lumbung padi. Di rumah adat ini, dapur biasanya terpisah dari bangunan rumah utama. 


KOTA MANADO

Asal mula Kota Manado menurut legenda dulu berasal dari “Wanua Wenang” sebutan penduduk asli Minahasa . Wanua Wenang telah ada sekitar abad XIII dan didirikan oleh Ruru Ares yang bergelar Dotulolong Lasut yang saat itu menjabat sebagai Kepala Walak Ares,dikenal sebagai Tokoh pendiri Wanua Wenang yang menetap bersama keturunannya.
Versi lain mengatakan bahwa Kota Manado merupakan pengembangan dari sebuah negeri yang bernama Pogidon. Kota Manado diperkirakan telah dikenal sejak abad ke-16. Menurut sejarah, pada abad itu jugalah Kota Manado telah didatangi oleh orang-orang dari luar negeri. Nama "Manado" daratan mulai digunakan pada tahun 1623 menggantikan nama "Pogidon" atau "Wenang". Kata Manado sendiri merupakan nama pulau disebelah pulau Bunaken, kata ini berasal dari bahasa daerah Minahasa yaitu Mana rou atau Mana dou yang dalam bahasa Indonesia berarti "di jauh". Pada tahun itu juga, tanah Minahasa-Manado mulai dikenal dan populer di antara orang-orang Eropa dengan hasil buminya. Hal tersebut tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah.
Keberadaan kota Manado dimulai dari adanya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Dengan besluit itu, Gewest Manado ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang Walikota (Burgemeester). Pada tahun 1951, Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tanggal 17 April 1951, terbentuklah Dewan Perwakilan Periode 1951-1953 berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14. Pada 1953 Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya menjadi Daerah Kota Manado sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1957, Manado menjadi Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959, Kotapraja Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Hari jadi Kota Manado yang ditetapkan pada tanggal 14 Juli 1623, merupakan momentum yang mengemas tiga peristiwa bersejarah sekaligus yaitu tanggal 14 yang diambil dari peristiwa heroik yaitu peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, dimana putra daerah ini bangkit dan menentang penjajahan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kemudian bulan Juli yang diambil dari unsur yuridis yaitu bulan Juli 1919, yaitu munculnya Besluit Gubernur Jenderal tentang penetapan Gewest Manado sebagai Staatgemeente dikeluarkan dan tahun 1623 yang diambil dari unsur historis yaitu tahun dimana Kota Manado dikenal dan digunakan dalam surat-surat resmi. Berdasarkan ketiga peristiwa penting tersebut, maka tanggal 14 Juli 1989, Kota Manado merayakan HUT-nya yang ke-367. Sejak saat itu hingga sekarang tanggal tersebut terus dirayakan oleh masyarakat dan pemerintah Kota Manado sebagai hari jadi Kota Manado.


KAIN TENUN/IKAT/KAIN MOTIF

Kain ikat dari sebelum 1910. (Koleksi Geheugen van Nederland)










Dahulu kala orang Minahasa menenun kain dari serat yang diambil dari jenis pohon tertentu, kain-kain ini dikenal dengan nama kain bentenan, kain patola dll namun sayang sudah tidak ada lagi kain asli ini tersisa di Minahasa namun ironisnya kain-kain ini masih ada di museum-museum di Negeri Belanda.

TOKOH ASAL MINAHASA

A.A. Maramis
Anita Carolina Mohede, aktris
Arie Frederik Lasut, pahlawan nasional Indonesia, ahli pertambangan
Arnold Mononutu, menteri Indonesia
Alex Evert Kawilarang, tokoh Permesta, pahlawan nasional Indonesia
Audy Item, penyanyi
A.Z.R. Wenas, pendeta
A.E. Mangindaan, pelatih Sepak Bola Tim Nas Indonesia
Daan Mogot, pahlawan nasional Indonesia
E.E. Mangindaan, menteri Indonesia
Harley B. Mangindaan, Wakil Walikota Manado, Indonesia
Frans Lumoindong, pendeta
Frits Salem Lumoindong, pendeta
Frits Godlieb Lumoindong, SH, Pendiri PERMAHI
David DS Lumoindong, Budayawan, Manager Sepak Bola Manado Inter FC, Penulis Buku Minahasa
Gilbert Lumoindong, pendeta, Gembala GBI GLOW
Imanuel Lumoindong, anggota DPRD Jawa Timur, Mantan Ketua GMKI Surabaya.
Johan Lumoindong, pendeta
Jackson Lumoindong, birokrat, mantan Kepala Dinas Pertambangan Minahasa Selatan
Paulus Lumoindong, Poltje, pendeta, Budayawan, Penulis Buku Minahasa
SIP Lumoindong, pendeta, mantan Sekjen GPdI
Yopie Lumoindong, Pemain Sepak Bola, Manager Sepak Bola Makasar, Dosen UNHAS
Henk Ngantung, seniman, gubernur Jakarta
Henry Alex Rudolf Tilaar, ahli pendidikan
Jan P Tilaar, ahli pendidikan IKIP/UNIMA
Jack J. Sompotan, penginjil
Johanna Masdani, pejuang kemerdekaan
Jopie Item, musisi
Adolf J Sondak, ahli pendidikan, gubernur Sulawesi Utara
Mahadirga Lasut, pemain sepak bola
Maria Menado, aktris Malaysia
Maria Walanda Maramis, pahlawan nasional Indonesia
Max Arie Wotulo, ahli matematika
O.C. Kaligis, pengacara
Rudolf Kasenda, Mantan KSAL (Kepala Staf Angkatan Laut)
Peter F. Gontha, pengusaha
P.M.Tangkilisan, anggota delegasi RI sebagai LO pada perjanjian Linggarjati dan Renville, anggota konstituante
Pierre Tendean, pahlawan nasional Indonesia
Robert Wolter Monginsidi, pahlawan nasional Indonesia
Sam Ratulangi, pahlawan nasional Indonesia
Angel Sondakh, artis, putri Indonesia, anggota DPR RI
Adolf J Sondakh, ahli pendidikan, gubernur Sulawesi Utara
Bernard Kent Sondakh, Mantan KSAL (Kepala Staf Angkatan Laut)
Hanny Sondakh, Walikota Bitung
Peter Sondakh, pengusaha
Lucky Sondakh, ahli pendidikan, Prof Dr Mantan Rektor UNSRAT
Stevie Item, musisi
Ventje Sumual, tokoh Permesta, tokoh Serangan Umum 1 Maret
Vera Lasut, aktris
Normadiah, aktris Malaysia
Dougy Mandagi, musisi Australi The Temper Trap


MINAHASA & PERMESTA

Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.

extra



Sumber: 
http://www.kaskus.co.id/thread/52f5f6d718cb1779278b45a3/semua-tentang-minahasa/
http://www.theminahasa.net/
http://www.proel.org/index.php?pagina=alfabetos/minahasa
http://bode-talumewo.blogspot.com/
(c) foto pada fotografer 

No comments: