RELIGIUSITAS DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR
Gbr: ilustrasi Pementasan teater I La Galigo Berlabuh di Makassar sumber: indonesia.go.id |
Kepercayaan lama orang Bugis dan Makassar yang bentuk dan manifestasinya masih bisa ditelusuri keberadaannya, sampai sekarang dalam konsep ketuhanan, misalnya, istilah Dewata Seuwa (Bugis) dan Tau ri A’rana (Makassar) masih sering diengar dan diyakini eksistensinya.
Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, acara-acara seperti “mappangre galung” dan “maccera tasi” masih sering dilakukan dalam masyarakat petani dan nelayan. Tulisan ini, juga, mengeksplorasi keyakinan masyarakat di Sulawesi Selatan ini, baik sebelum maupun sesudah masuknya Islam. Begitu pula pengaruh agama lokal dan agama baru (Islam) dalam kehidupan sehari-sehari. Dialog yang dinamis antara agama lokal dengan Islam manjadi instisari tulisan ini.
Suku bangsa Bugis dan Makassar yang lebih banyak mendiami sona bagian tengah Sulawesi Selatan. dua suku bangsa ini, hampir tidak dapat dibedakan, karena keduanya penganut agama Islam yang patuh, di samping itu sudah terjadi pembauran lewat perkawinan.
Perbedaan utama yang tampak hanya pada bahasa dan aspek budaya tertentu yang khas dimiliki oleh komunitas di daerah pedalaman. Orang Makassar lebih dominan mendiami sisi selatan, sedangkan orang Bugis banyak bermukim di sisi barat wilayah propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya orang Bugis-Makassar telah mengenal suatu kepercayaan sebelum mengenal agama Islam. Kepercayaan mereka itu disebut dengan Attorioloang, dan beberapa tempat, mereka menyebut dengan istilah Attaurioloang.
Perbedaan utama yang tampak hanya pada bahasa dan aspek budaya tertentu yang khas dimiliki oleh komunitas di daerah pedalaman. Orang Makassar lebih dominan mendiami sisi selatan, sedangkan orang Bugis banyak bermukim di sisi barat wilayah propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya orang Bugis-Makassar telah mengenal suatu kepercayaan sebelum mengenal agama Islam. Kepercayaan mereka itu disebut dengan Attorioloang, dan beberapa tempat, mereka menyebut dengan istilah Attaurioloang.
Kepercayaan ini adalah religi asli masayarakat yang merupakan gelombang migrasi yang tertua suku bangsa protomelayu (Toala dan Tokea) di Sulawesi yang untuk beberapa kurun waktu bercampur dengan kepercayaan suku bangsa gelombang kedua Deutromelayu yang bergerak dalam lingkungan agama yang universal kemudian.
Upacara Maccera Tasi, salah satu budaya masyarakat Luwu. Source : beautifulIndonesia |
Akan tetapi unsur-unsur rohani dari kedua kepercayaan itu tetap lestari dalam keadaan yang menyamar, ia bergerak bersama dengan agama resmi namun ia tak diperkenankan menjalankan suatu organisasi atau melaksanakan secara terang-terangan. Contoh yang masih lestari dengan istilah mappanre galung artinya memberikan makan sawah/tanah, maccera tasi’, yaitu memberi korban kepada laut , mattammu bulung adalah salah satu dari rangkaian ritual pertanian masyarakat yang lahir karena didasari mitos Sangiang Serri dalam I La Galigo, dilakukan untuk menyambut dan merayakan akan keluarnya biji padi pertama, dan lain-lain.
Mappalili adalah upacara mengawali musim tanam padi di sawah. Ritual ini dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno dikenal dengan sebutan bissu, sumber jurgenirgo.wordpress |
Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan dimaksudkan adalah bayangan manusia terhadap berbagai perwujudan yang berada di luar jangkauan akal dan pikiran manusia. Wujud-wujud tersebut tidak terjangkau oleh kemampuan akal dan pikiran sehingga perwujudan tersebut harus dipercaya dan diterima sebagai dogma, yang berpangkal kepada keyakinan dan kepercayaan.
Bayangan dan gambaran tersebut antara lain tentang alam gaib yang mencakup sejumlah perwujudan seperti dewa-dewa, mahkluk halus, roh-roh dan sejumlah perwujudan lainnya yang mengandung kesaktian. Termasuk rangkaian dari sistem kepercayaan tersebut adalah bayangan manusia tentang kejadiannya serangkaian peristiwa terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia dan peristiwa-peristiwa lainnya yang terjadi pada alam ini.
Demikian pula sikap orang Bugis-Makassar terhadap “Yang Ilahi”, yang “Adikodrati” bertumbuh dari pengalaman hidup dengan masa-masa yang penuh dengan sukacita dan hari-hari sedih yang diawali dengan suatu perasaan gaib yang menaungi insani dan segala aspek kehidupan, sehingga rasa “keilahian” yang terpendam dalam batin sukar untuk diungkapkan, baik pernyataan yang berupa transenden (mempesona) maupun yang tremendum (menakutkan).
Sebab itu untuk kurun waktu yang cukup lama sejarah kepercayaan manusia tidak menyebutkan nama TUHAN . Tuhan pencipta lalu dianggap oleh mereka tersembunyi jauh di atas ciptaannya, Dia telah menjadi serba gaib atau mereka jadi cenderung untuk mendekatkan diri kepada yang gaib dan menghayalkannya sebagai penjelmaan kepada leluhur (animisme) mereka, penghuni pohon/benda-benda tertentu (dinamisme). Serta dapat mewujudkan diri kedalam diri manusia terutama dalam diri seorang raja (dewa, dewaraja dsb.)
Foto Bissu Bugis tradisional dari Sulawesi Selatan sedang bersembahyang dan melakukan ritual. Sumber photobucket.com |
Mereka juga mempercayai adanya dewa-dewa disamping Dewata Seuwae dalam Bugis (Tuhan Yang Maha Esa), To rie A’ra’na dalam Makassar (Yang Maha Berkehendak). Konsepsi Dewata Seuwae atau To rie A’ra’na mengisyaratkan bahwa jauh sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan, konsep pemikiran tantang ketuhanan telah melembaga.
Manusia Bugis-Makassar sudah menanam kepercayaan dalam diri mereka terhadap Dewata Seuwae sebagai dewa tunggal. Tidak terwujud (de’ watangna), tidak makan dan tidak minum, tidak diketahui tempatnya, tidak berayah dan tidak beribu, tapi mempunyai banyak pembantu.
Hal serupa dikemukakan pula Mattulada, bahwa religi orang Bugis-Makassar pada masa pra-Islam seperti tergambar dalam kitab I La Galigo, sebenarnya sudah mengandung suatu kepercayaan kepada suatu dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama, seperti:
- PatotoE (Dia penentu Nasib),
- Dewata SeuwaE (Tuhan yang Maha Esa), dan
- Turie A’ra’na (Yang memiliki kehendak mutlak).
Sisa-sisa kepercayaan tersebut masih tampak jelas hingga kini di beberapa daerah, seperti Tolotang di Sidenreng Rappang, dan Kajang di Bulukumba.
Konsepsi pemikiran tentang Tuhan tunggal sebagai bentuk agama tertua, juga dikemukakan oleh Andrew Lang. Menurut A. Lang beberapa hal membuktikan bahwa kepercayaan pada satu Tuhan bukan karena adanya pengaruh agama Kristen dan Islam, Lang berpendapat bahwa pada bangsa yang tingkat budayanya sudah maju ternyata kepercayaannya terhadap satu Tuhan terdesak oleh pengaruh kepercayaan terhadap mahkluk-mahkluk halus, dewa-dewa alam, hantu-hantu dan sebagainya.
Jadi kata Lang, sebenarnya kepercayaan terhadap dewa tertinggi itu sudah sangat tua dan mungkin merupakan bentuk agama yang tertua. Pendapat ini diramu oleh Lang dari folklore berbagai bangsa di dunia berupa dongeng yang melukiskan adanya tokoh Dewa Tunggal. Bahwa di berbagai suku bangsa bersangkutan sudah ada kepercayaan terhadap adanya satu Dewa yang merupakan dan dianggap Dewa tertinggi yang yang mencipta alam semesta dan seluruh isinya, serta sebagai penjaga
ketertiban alam dan kesusilaan.
Pendapat Andrew Lang itu disokong kemudian diperluas lagi oleh P. Wilhelm Schmitd SVD, yang mengemukakan bahwa agama itu berasal dari titah Tuhan yang diturunkan kepada umat manusia ketika muncul di bumi. Jadi sejak masyarakat manusia masih rendah tingkat budayanya memang sudah ada ‘Uroffenbarung’ atau Titah Tuhan yang murni, sehingga kepercayaan ‘Urmonotheisnus’ yaitu kepercayaan yang asli dan bersih dari khurafat, memang sudah ada sejak Zaman purba di mana tingkat budaya masyarakat masih sangat sederhana.
Hanya karena tangan-tangan manusialah yang menyebabkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu menjadi rusak, dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemujaan kepada mahkluk-mahkluk halus, kepada roh-roh dan dewa-dewa, yang diciptakan oleh akal pikiran manusia sendiri.
Sedangkan menurut Schmidt, monotheism, kepercayaan terhadap satu tuhan, sesungguhnya bukan penemuan baru tetapi sudah tua. Bahwa agama itu berasal dari perintah Tuhan terhadap manusia pertama di dunia. Maka adanya gejala kepercayaan terhadap dewadewa, roh-roh nenek moyang dan sebagainya adalah merupakan suatu kepercayaan pada manusia dalam tingkat teknologi sederhana.
Selanjutnya Schmidt menegemukakan istilah ‘urmonotheismus’ sebagai tingkat kepercayaan manusia yang masih hidup dalam tingkat tekhnologi sederhana.
Dalam kaitannya dengan kepercayaan yang tua pada masyarakat orang Bugis-Makassar, menurut Aminah adalah kepercayaan animisme dan dinamisme.
Sedangkan Kepercayaan pra-Islam, seperti yang dikemukakan oleh Abu Hamid, pada dasarnya dapat
dilihat dalam tiga aspek, yaitu:
- Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang,
- Kepercayaan terhadap dewa-dewa Patuntung,
- Kepercayaan terhadap pesona-pesona jahat.
Kepercayaan semacam ini oleh E.B Tylor dinamakan animisme, yaitu berasal dari kata anima, berarti soul atau jiwa. Menurut Tylor, animisme adalah suatu kepercayaan tentang realitas jiwa. Menurut animisme seperti yang dikemukakan Tylor, setelah manusia meninggal dunia, jiwa tau roh akan meninggalkan jasmaninya dan selanjutnya bisa berpindah dan menempati makhlukmahkluk hidup ataupun benda-benda material. Karena itu, agar roh tadi tidak mengganggu, maka perlu dilakukan pemujaan pada arwah leluhur atau benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Kepercayaan ini ialah anggapan mereka terhadap adanya roh pada batu atau pohon, gunung dan sebagainya yang melahirkan berbagai cara penyembahan yang dinamakan Attoriolong (Agama leluhur). Attoriolong dalam proses perkembangannya telah mendapatkan pengaruh Konfusius dan Hindu. Oleh karena itu mereka percaya pada tiap-tiap tempat yang dianggap keramat, tempat bersemayam diatas atau di dalamnya roh-roh terutama pohon yang rindang daunnya seperti pohon beringin yang disebut dalam bahasa Bugis Ajuara.
Kepercayaan animisme mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan masyarakat. Menurut faham animisme, arwah leluhur juga mempunyai struktur sosial sebagaimana halnya masyarakat manusia. Para leluhur mempunyai kedudukan yang berstruktur, mulai dari yang terendah sampai kepada yang tertinggi.
Arwah yang menempati lapisan atas memiliki pengaruh yang paling menentukan pada kehidupan manusia. Dengan demikian, pemujaan terhadapnya juga dilakukan lebih serius dibanding dengan yang lainnya. Arwah yang menempati lapisan teratas tadi, mereka menamakannya sebagai dewa.
Kepercayaan orang Bugis-Makassar terhadap arwah nenek moyang, dinyatakan dalam bentuk pemujaan terhadap kuburan dan tempat-temapt tertentu. Pemujaan diberikan terhadap kuburan orangorang tertentu yang mereka anggap berjasa pada masyarakat, baik karena mereka pernah memeberi sumbangan dalam pemukiman atau karena semasa hidup mereka dianggap sebagai tokoh rohaniawan dalam masyarakat. Kepercayaan semacam ini berlanjut pada masamasa pasca-Islam dan masih dapat ditemukan dalam masyarakat Gowa sampai sekarang.
Mapalette Bola, Tradisi Unik Pindah Rumah Khas Suku Bugis Sebagai Cerminan Gotong Royong Foto by indra abriyanto |
Selain itu, mereka juga melaksanakan pemujaan terhadap tempat dan benda-benda tertentu yang dianggap sacral, seperti: batu naparak (batu datar), pohon kayu besar, gunung, sungai dan posi butta (tiang tengah sebuah rumah).
Ritual-ritual yang berkaitan dengan kepercayaan pada kuburan, tempat, dan benda-benda tertentu, dipimpin oleh seorang pinati. Fungsi pinati adalah untuk menjaga tempat-tempat sakral serta melayani upacara sesajen.
Upacara sosial yang dilakukan oleh masyarakat setelah panen disebut upacara saukang. Tempat upacara biasa dilaksanakan di posi butta di kayuara (jenis pohon kayu besar).
Dalam rumah tangga bangsawan atau kepala-kepala adat, disimpan suatu benda sakral, seperti keris, kalewang dan Panji. Benda-benda itu disebut pantasak dan merupakan simbol status keluarga dalam masyarakat. Mereka juga mempercayai terhadap fenomena-fenomena alam yang dianggap bisa mempengaruhi kehidupan manusia. Seperti contoh, dapat dilihat dalam kepercayaan mereka terhadap gerhana bulan atau gerhana matahari.
Dalam Lontara Pangisengeng disebutkan:
Rekko muharrang ngi na siamek uleng nge/ ma ega jak na paturung Allah Taala ri tana e/ Ma ega to sara ininnawa na arung nge/ Enreng nge tau tebbek na/ Ma deceng ngik massidekka ro to namase-mase.
Jika terjadi gerhana bulan pada bulan muharram, banyak kejahatan yang diturunkan Allah Ta’ala (didalam negeri banyak. Banyak kesusahan hati yang menimpa pada raja dan rakyatnya. Sebaiknya, (untuk menghindari itu) kita banyak bersedekah kepada orang miskin.
Lontara pangissengeng di atas menyinggung nama bulan dalam kalender Islam, yakni bulan Muharram. Hal ini menunjukkan bahwa lontara tersebut ditulis setelah Islam diterima di Sulawesi Selatan.
Selain itu, dapat diartikan bahwa kepercayaan lama masih tetap berlangsung setelah Islam diterima baik oleh masyarakat. yaitu kepercayaan kepada dewa-dewa disamping Dewata Seuwwae, karena mempunyai tingkatan-tingkatan dalam pemujaan dan persajian, sehingga membaginya menjadi tiga tingkatan sesuai dengan tempat dimana dewa-dewa itu bersemayam dan bertugas, yaitu:
Dewata Langie,
yaitu suatu dewa yang menghuni langit. Dewa ini diharapakan mendatangkan hujan yang sekaligus kemkmuran. Disamping itu dewata langie dapat memebawa kerusakan pada ummat manusia dengan jalan menurunkan petir yang dalam bahasa Bugis nakenna uling, atau dengan mendatangkan kemarau yang panjang.
Dalam persajian, maka rakyat/penduduk menyajika makanan berupa empat macam warna ketan yang dalam bahasa Bugis disebut massorong sokko patanrupa di dalam sebuah balasuji di atas loteng rumah. Dewa ini rupanya pernah hidup di antara manusia, akan tetapi kini sudah gaib yang dalam bahasa Bugis disebut mallajang.
Dewata Mallinoe,
yaitu suatu dewa yang banyak menempati tempat-tempat tetentu, tikungan-tikungan jalan, posi tana (pusat bumi), pohon yang rindang daunnya, batu-batu besar atau belukar.
Mereka melakukan persajian dengan meletakkan telur dua kali Sembilan biji dan beberapa sisir pisang, manuk mallebu (ayam masak yang tak ada bulunya), meletakkan sokko patanrupa dalam sebuah anca yang terbuat pucuk ijuk yang disebut daung bompong, dan diletakkan atau digantung pada pohon dalam hutan atau tempat-tempat persajian lainnya.
Persajian eperti ini disebut dalam bahasa Bugis mattoana tautenrita, maksudnya mempersembahkan korban kepada dewata yang tak tampak.
Dewata Uwae,
yaitu yang tinggal di air biasanya dilakukan dengan iringan gendang dimana sebuah balasuji berisi bendabenda tertentu, seperti sejumlah telur yang belum masak, sokko patanrupa, daun sirih yang dianyam bersilang dan bermacam-macam daun tertentu serta daun paru yang diatasnya diletakkan beras yang sudah diberi kunyit dan sebagainya.
Pada beberapa tempat upacara pelaksanaan serupa ini dilakukan sebelum subuh, yang dalam bahasa Bugis disebut denniari. Menurut kepercayaan orang Bugis-Makassar dahulu, bahwa dewata/dewa dahulu kala itu mempunyai tempat bersemayam tertentu, akan tetapi tidak selalu disuatu tempat. Para dewata itu baru berada di tempat bersemayam jika sedang ada upacara atau persajian, seperti upacara minta hujan, minta berkah dewata, tulak bala, massorong sokko patanrupa, mappanre galung, mattoana, manre sipulung, dan sebagainya.
Menurut pandangan antropologi, kaum animisme mempersonifikasikan tenaga-tenaga alam gaib yang di luar kontrol manusia, menjadi dewa-dewa. Segala sesuatu yang di luar kekuasaan manusia, diserahkan kepada dewa. Mereka menjadi sasaran kultus, ritus, sesajen, da permohonan.
Untuk keperluan tertentu dipuja dewa tertentu pula, yang dinyatakan memlebihi dewa-dewa lain. demikian halnya dalam masyarakt Bugis-Makassar pra-Islam juga mempercayai banyak dewa, salah satu diantaranya adalah:
- Tokammaya Kanana yang dianggap sebagai dewa tertinggi. Dialah yang menciptakan sekalian alam dan segala isinya.
- Sedang dewa pengawas dan pemelihara ciptaan, mereka sebut Ampatana.
- Dewa khusus yang menjaga manusia disebut Patanna Lino.
Mereka memiliki pandangan kosmologi yang dapat dilihat dalam kepercayaan mereka bahwa alam ini terdiri atas tiga lapisan banua, yaitu
- botting langik (dunia atas),
- kale lino (dunia tengah), dan
- paratiki atau pertiwi (dunia bawah).
Untuk menghindari malapetaka tertentu, seperti penyakit menular, hama tanaman, kekeringan, dan sebagainya, mereka melakukan upacara pemujaan terhadap dewa. Pemujaan dipimpin oleh seorang tokoh yang mereka namakan anrongguru (Makassar), anreguru (Bugis).
Mereka juga mempercayai dewa-dewa bawahan yang disebut puang lohate. Ia bertugas untuk menggerakkan peristiwa alam, dewa-dewa bawahan ini berada disemua tempat. Oleh karena itu, masyarakat Bugis-Makassar dapat melakukan penyembahan di kampung sendiri. Walaupun mereka mempercayai bahwa pusat dewa terdapat di Gunung Bawakaraeng.
Mengacu pada uraian diatas, maka sikap manusia terhadap Tuhan dalam kepercayaan Bugis Makassar adalah massoma (menyembah) atau makkasiwiyang (mengabdi) kepada-Nya. Manusia mengharapkan dari tuhan, cahaya budi untuk memahami kondisinya sendiri dan bagaimana ia harus bertindak. Cahaya budi itu dalam kepercayaan Bugis disebut pabbiritta atau pammase.
Manusia yang mendapat pammase mampu mengatur hidupnya secara wajar, mereka disebut Tau Tongeng-tongeng (manusia seutuhnya) atau sederajat lebih tinggi lagi disebut Tau Bettu (manusia transenden).
Berbagai ritual dilakukan untuk memohon dan menyembah para dewata tersebut. Ritual penyembahan massompa antara lain :
- tulakbala,
- massorong,
- mappaenre,
- mattoana,
- millau bosi,
- mattedduk arajang,
- mappedaung arajang,
- manre sipulung,
- maddoja bine,
- mapaplili dan
- mappalettuk.
Ritual semacam ini dihadiri oleh sebagian komunitas dan biasa jg dihadiri oleh semua masyarakat setempat. Jika disederhanakan, maka massompa kepada Dewata dalam kepercayaan Bugis-Makassar akan digolongkan menjadi empat kategori beradasarkan penggolongan Dewata.
- Massompa kepada Dewata LangiE (Dewa Langit) yang bermukim di Bottinglangik, dicandera dengan nama mappaenrek (persembahan naik ke atas).
- Massompa kepada Dewata Mallinoe (Dewa yang Membumi) yang bermukim di Alekawa, dicandera dengan nama mappangolo (menghadapkan).
- Massompa kepada Dewata TanaE (Dewa Tanah) yang bermukim di Peretiwi atau Posiktana, dicandera dengan nama massorong (menyodorkan atau mendorong persembahan turun).
- Massompa kepada Dewata UwaE (Dewa Air) yang bermukim di Burikliuk, di candera dengan nama Mappanok (persembahan ke bawah).
- Massompa kepada Dewata PatotoE, Dewata tertinggi, dicandera dengan nama makkasuwiyang atau mengabdikan diri.
Jumlah Dewa-dewa orang Bugis-Makassar pra Islam amat banyak. Kebanyakan diantara Dewa menempati tempat-tempat yang dianggap keramat. Dewa-dewa tersebut datang pada tempat tersebut apabila diadakan upacara/ritual.
Dewi padi atau sangiasseri yang hidup diantara para kaum tani akan datang pada upacara mappalili atau maddoja bine.
Pranata-pranata keagamaan yang menghubungkan dengan sistem-sistem kepercayaan orang Bugis-Makassar sebelum agama Islam dapat kita lihat dari segi kepercayaan yang meliputi :
- Pammasareng,
- Dewata-dewata,
- Tau Tenrita,
- Barilaya,
- Makerre’ (mempunyai kekuatan sakti),
- Lasa Namateng,
- Atuwong Lino na esso rimonri,
- dan sebagainya. (Nyompa, 1992 :40).12
Demikianlah sistem kepercayaan orang Bugis-Makassar menurut kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan kepada dewa-dewa. Seperti kita ketahui bahwa masa tersebut di atas tidak diketahui pasti kapan dimulai, oleh karena keprcayaan ini berlangsung hingga kini dalam bentuk religi/agama kerakyatan yang lokal.
Di kalangan orang Bugis-Makassar yang telah melaksanakan syariat secara konsekwen menurut ajaran Islam, khususnya di desa-desa, pegunungan dan pedalaman masih dapat dijumpai tanggapantanggapan mereka terhadap dunia gaib yang berasal dari konsepkonsep kepercayaan lama.
Tanggapan demikian dinyatakan dalam berbagai upacara yang dilakukan sehubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari, seperti upacara atau ritual naik ke Gunung dan turun ke sawah yang disebut mappalili, maccera, manre sipulung, massmpo, mattoana dan sebagainya.
Islamisasi Bugis-Makassar
Islamisasi orang Bugis-Makassar berlangsung secara damai dan dimulai dari lapisan elit ke lapisan massa bawah (top down). Terdapat beberapa versi proses masuknya Islam di Sulawesi Selatan, misalnya proses islamisasi dalam sejarah kerajaan Gowa dan Tallo. Raja Tallo VI bernama I Mallikang Daeng Nyonri Karaeng Katangka mulai memeluk agama Islam pada tanggal 22 september 1605. Raja Tallo yang juga Mangkubumi Kerajaan Gowa ini diberi gelar Arab: Sultan Abdullah Awwalul Islam.
Peristiwa ini disusul dengan pengislaman raja Gowa XIV bernama I Mangarangi Daeng Manrabia, yang mendapat nama Arab Sultan Awaluddin. Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa dan Tallo telah memeluk agama Islam.Abdurazak Dg. Patunru, Sejarah Gowa, (Makassar: Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan Tenggara, 1967), h. 22
Bila raja telah memeluk agama Islam, maka rakyat dipandang juga telah memeluk agama tersebut. Agama raja serta merta menjadi agama Negara. Pola pengislaman “dari atas kebawah ini memanfaatkan tradisi lokal Bugis-Makassar yang menganggap raja sebagai pemilik kekuatan gaib yang diperoleh melalui penitisan dewa-dewa, yang memiliki kekutan fisik dan metafisik. Pemimpin dari penitisan dewa itulah yang dipercayai sebagai representasi kekuasaan bumi dan langit yang berkelanjutan dari dunia sampai pada hidup setelah mati.
Kekuasaan dalam kelompok masyarakat diserhakn kepada orangorang yang memiliki kekuatan adikodrati (gaib) dianggap sebagai hal yang menentukan dalam kehidupan, sekaligus menjadi sumber segala kekuasaan dan kepemimpinan.
Islam sendiri sampai ke Makassar diperkirakan sekitar tahun 1546-1565, karena pada saat itu raja Gowa ke XVI. Raja tonijallo sudah mendirikan mesjid untuk kalangan orang melayu di Mangalekana, sekalipun demikian, menurut Mattulada, dua kerajaan beasar yang kembar ini secara resmi memeluk agama Islam pada abad ke-16, tepatnya pada tanggal 9 November 1607.
Kita kemudian mengenal kerajaan Gowa dan Tallo ini lah sebagai sumber dari penyebaran Islam. Memang terdapat beberapa pendapat tentang kapan pastinya Islam masuk ke Makassar secara resmi. Spelman memperkirakan waktu itu terjadi sekitar tahun 1603 (Notitie van Speelman/ catatan Speelman; 1669). Ini disepakati oleh F.W. Stapel (Het Bongais verdrag, 1922), Matthes ( Machassarche Cherosmatic, 1883) dan Crawfurd (Historian of the Indian Archipelago, 1820) yang menunjuk angka tahun 1605.
Seorang peneliti lain Rouffaer dengan bersandar pada Makassarche Historien menunjuk tahun 1607, itu sebagai tahun masuknya Islam. Perbedaan ini dilukiskan dengan cukup detil oleh Noorduyn dalam bukunya Islamisasi di Makassar. Noorduyn. J. 1956. Islamisasi Makassar dari judul asli De Islamisereing van Makassar, (t.tp : B.K.I., 1956), h. 247-266
Sebagaimana telah diuraikan di atas bisa disimpulkan, bahwa dalam versi sejarah resmi, proses Islamisasi orang Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan awalnya memang awalnya dari kekuasaan (top down), yakni melalui kekuasaan para raja kemudian diikuti oleh rakyatnya. Kenyatan seperti ini pun digunakan oleh kolonial Belanda, yang menyebabkan agama asli menjadi korban penjajahan dan diskriminasi. Orang-orangnya dimasukkan ke kategori ‘kafir’ heidenen sebagai barang yang tersisa a residual factor. Karena pemerintah colonial tidak berkontak dengan rakyat jelata yang mayoritasnya beragama asli, tetapi hanya dengan pengusahapengusaha feodal yang kurang lebih kehinduan atau keislaman. Oleh sebab itu peraturan-peraturan kolonial berpedoman pada agama minoritas lapisan atas.
Sebagai contoh, peraturan tahun 1895, No. 198, misalnya, mewajibkan agar semua perkawinan dari orang yang bukan Kristen dan bukan Hindu dilakukan menurut Islam. Demi penyederhanaan administrasi perkawinan, maka massa rakyat masuk statistik di bawah rubrik Islam dan menyebut diri selleng (bugis) sallang (Makassar).
Untuk mempertahankan rust en orde buku-buku polemis dilarang; subsidi diberikan kepada pusat-pusat agama Islam, naik haji ke Mekkah diselenggarakan secara besar-besaran, dan keseluruhan hukum adat asli yang amat berlainan dengan syariat, diadopsi dalam hokum resmi menurut teori receptio in complex.
Dari pihak Islam kurang ada usaha untuk mengubah ‘orang Islam surat-kawin’, yang dengan mendadak dalam jumlah berjuta-juta digabungan dengan umat itu, agar menjadi orang mukmin yang taat kepada syariat. Sampai tahun 1895, agama asli meskipun tidak mulus lagi, tetap menjadi dominant religious pattern. Tanpa perbedaan mutu, dogma asli dan asing hidup berdampingan.
Konfrontasi kaum santri dengan agama asli baru mulai sejak teejadinya kontak dengan pusat Islam di Mekkah, setelah terusan Suez dibuka pada 1869. Timbullah usaha untuk membersihkan tubuh Islam dari takhayul, adat kejawen, attoriolong dan adat kehinduan dan pra-Islam.
Proses pemurnian ini berlanjut hingga masa kemerdekaan, bahkan hingga masa reformasi sekarang ini. Gerakan Gerombolan Kahar Muzakkar, Gerakan Operasi Tobak saat pemebrantasan ateisme di Sulawesi Selatan, dan gerakan dimassa pada masa-masa reformasi akhir-akhir ini; adalah beberapa contoh kasus di Sulawesi Selatan.
Di satu sisi ada juga sebagian kalangan yang menduga bahwa Islam masuk ke wilayah Sulawesi Selatan jauh sebelum tahun-tahun dalam versi sejarah resmi yang diuraikan sebelumnya. K.H. S. Jamaluddin Aseegaf Puang Ramma, misalnya, dalam bukunya Kafaa dalam Perkawinan dan Dimensi masyarakat Sul-sel (tanpa tahun penerbit, menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Sulawesi-Selatan diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1320.
Yang pertama datang adalah seorang sayyid yang bernama Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini. Ia adalah kakek dari Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri dan Gunung Jati. Sayyid jamaluddin datang dari aceh lewat pajajaran Majapahit, yang saat itu diperintah oleh Raden Wijaya. Dari sini Sayyed Jamaluddin lalu melanjtkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan. Ia mendarat di pantai Bojo Nepo kabupaten Barru, dan masuk ke Bugis Tosara (Wajo). Sayyid Jamaluddin meninggal sekitar tahun 1320 M. versi ini kemudian menjelaskan bahwa raja yang pertama memeluk agama Islam adalah La- Maddusila. Ini juga ditemukan dalam kitab Hadiqatul Azhar yang ditulis oleh Ahmadi bin Muhammad Zain al-Fattany, Mufti kerajaan Fattani di Malaysia.
Cerita lain yang tidak ditulis dalam sejarah resmi adalah Islamisasi di Sulawesi Selatan itu dilakukan oleh sayyid Jalaluddin di Mangara Bombang, yang sekarang dikenal dengan Cikoang. Sayyid Jalaluddin tidak diterima baik dalam lingkungan kerajaan Gowa. Karena penyebaran ajarannya tidak melalui kekuasaan dan legitimasi para raja, dia pun kurang dikenang dalam sejarah Islamisasi, malah keturunan dan pengikutnya saat ini mendapat cap pelaku bid’ah dalam Islam. Padahal proses Islamisasi yang dilakukannya tidak dengan nuansa syariat yang kaku, melainkan melalui proses dialog dengan budaya setempat. Salah satu contohnya, ia mengganti rebbana yang terkesan Arab dengan ganrang sebagai alat musik saat memperingati kelahiran nabi (maulid), bahkan mengganti nama Maulid Nabi dengan kaddo minyak.
Cover buku ISLAMISASI BUGIS: KAJIAN SASTRA ATAS LA GALIGO VERSI BOTTINNA I LA DEWATA SIBAWA I WE ATTAWEQ |
Demikian pula halnya dengan para penganjur Islam lokal seperti Latola Pallipa Putewe. Ia tidak mendapatkan tempat dalam sejarah Islamisasi di Sulawesi Selatan. Padahal bagi keturunan Latola, puang Barakka dan Peno, Latola adalah seorang wali yang sangat berjasa menyebarkan Islam di Langnga, dan Katteong bahkan Pinrang pada umumnya. “Latola adalah penganjur Islam di daerha ini, dialah yang mengajarkan kepada masyarakat pada masa itu bagaimana seharusnya seorang Muslim mengamalkan ajaran agamanya”., ujar Puang Barakka dengan tegas. Seorang peneliti dari UIN Makassar, justru mengambil kesimpulan bahwa Latola ini adalah seorang wali penganjur Islam di Mattirosompe kabupaten Pinrang. Hal ini juag didukung oleh peneliti lain yang juga dari UIN Alauddin Makassar tentang cara-cara Latola dalam mengembangkan ajaran Islam yang masih ada unsur-unsur keprcayaan lokal ia berpendapat bahwa “Islam datang ke satu tempat tidak boleh hitam putih, tapi harus bisa saling mengisi dengan budaya ditempat mana ia akan menapak. Samiang Katu, Pasang ri Kajang, (Makassar: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM IAIN Alauddin Makassar, 2000), h. 28
Penulisan sejarah tentang proses Islamisasi yang cenderung bersifat elitis semacam itu, telah mengakibatkan cerita-cerita keberislaman yang lain, yang lokal, yang bernuansa sufistik, yang berdialog dengan budaya setempat, justru menjadi sesuatu yang aneh bagi masyarakat banyak di Sulawesi Selatan.
Praktek keberislaman yang muncul seperti di Cikoang, Bissu, Karampuang, Cerekang, Tanah Toa, Tolotang dan Bawakaraeng tidaklah mendapat apresiasi. Sebalikya, mereka malah dianggap sebagai penganut Islam yang belum sempurna bahkan sesat, sehingga perlu diluruskan bahkan ditumpas.
Demikian halnya pada masa pergerakan kemerdekaan Nasional Indonesia, gerakan islamisasi belum ada dampak signifikan di wilayah Sulawesi Selatan. Periode islamisasi berikutnya baru terjadi dampak yang cukup signifikan terhadap agama dan komunitas lokal, yaitu pada masa pemberontakan Kahar Muzakkar sekitar Tahun 1950- 1957.
Dibandingkan dengan periode sebelumnya, periode ini memiliki riwayat yang berbeda, terutama karena Islamisasi oleh kelompok Kahar Muzakkar cenderung dilakukan dengan cara-cara kekerasan Islamisasi menjadi bagian dari gerakan Kahar, dia menonjolkan pemurnian Islam yang tidak kompromis terhadap tradisi bahkan termasuk mazhab. Lebih lanjut lihat Barbara Harvey, Tradition, Islam, and Rebellion: South Sulawesi..
Saat itu hampir semua Komunitas dan agama lokal yang berada di Sulawesi Selatan merasakan akibat dari gerakan Islamisasi ini. Komunitas Bissu, misalnya, pada masa itu diburu-buru, ditangkap, sebagian besar dibunuh, dan peralatan ritualnya dihancurkan Saat ini yang masih tersisa adalah sisa-sisa dari mereka yang masih bertahan hidup akibat gerakan DI/TII Kahar Muzakkar. Lihat Halilintar Latief, Bissu. Pergulatan dan Peranannya dalam Masyarakt Bugis (Depok: Desantara, 2003). Juga Halilintar Latief, ”Bissu Para Imam yang Menghibur”. Makalah pada Seminar Internasional Lagaligo di Pancana baru, 2001. Yang tertangkap dipaksa bekerja dan dipaksa menjadi laki-laki tulen. Tak kalah memprihatinkannya adalah apa yang dialami oleh komunitas Bawakaraeng. Komunitas ini juga diburu-buru, dicegat keberangkatannya ke puncak gunung Bawakaraeng, kemudian komunitas lokal Ammatoa di Kajang juga mendapat penetrasi dari islamisasi ini, banyak pengikut dan pendukung Ammatoa dibunuh oleh gerombolan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar dengan alasan pemurnian ajaran Islam, dan banyak diantara mereka yang terbunuh karena tetap bertahan pada keyakinannya.
Cerita serupa juga dialami oleh komunitas Cikoang di Takalar, Karampuang di Sinjai dan beberapa komunitas lain yang ada di Sulawesi Selatan. Konstruk sejarah Islamisasi seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penjelas relasi antara agama dan kebudayaan lokal terlihat problematis hingga saat ini. Di sisi lain, konstruk sejarah yang sama juga seolah memberi legitimasi bahwa kekuasaan Negara atau pemimpin berhak mengatur kehidupan beragama masyarakatnya.
Tidaklah mengherankan bila saat ini sejarah resmi Islamisasi juga menjadi acuan yang dipakai oleh para penganjur formalisasi Syariat Islam di wilayah ini untuk mengabsahkan gagasan mereka.
Islam dan Budaya Lokal
Kedatangan Islam tentunya amat mempengaruhi kepercayaan dan tradisi masyarakat setempat. Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, agak terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Maluku. Hal ini disebabkan kerajaan Gowa barulah dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing dari Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini.
Menurut teori yang telah dikembangkan ole Noorduyn, proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu melalui tiga tahap:
- kedangan Islam,
- penerimaan Islam, dan
- penyebaran
lebih lanjut dari teori islamisasi tersebut, menurut Noorduyn, Islamisasi dalam pengertian penerimaan Islam, dapat berarti konversi dan juga bisa berarti perubahan sosial-budaya. Konversi adalah perpindahan agama atau kepercayaan yang dianut sebelumnya kepada Islam.
Sedang Islamisasi dalam penegertian perubahan sosial-budaya, yaitu perubahan yang terjadi secara adaptasi atau penyesuaian secara bertahap dari budaya pra-Islam atau budaya lokal kepada budaya Islam.
Dalam pengertian yang terakhir ini, para mubalig Islam tidak melakukan perombakan pada pranata sosial-budaya yang sudah ada, akan tetapi mereka memberi nilai-nilai Islam pada pranata lama atau menambahkannya dengan pranata baru yang berasal dari budaya Islam.
Ini signifikan dengan teori yang dikembangkan oleh antropologi agama Clifford Geertz, menurutnya, bahwa agama merupakan sistem budaya, yang dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial dan dengan sendirinya berbagai proses perubahan sosial itu mampu mempengaruhi sistem budaya.
Ditambahkan lagi oleh Geertz bahwa religi adalah sebuah pengalaman unik yang bermakna, memuat iedentitas diri, dan kekuatan tertentu. Dengan kata lain, agama akan berhubungan dengan rasa, tindakan, dan pengalaman nyata yang berbeda-beda satu sama lain. Setiap orang memiliki perasaan dan pengalaman yang berbeda dalam menjalankan agama masing-masing. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya agama sering dipengaruhi oleh hal ihwal diluar dirinya. Seperti aktivitas politik, birokrasi, budaya, modernisasi dan perubahan dunia amat berpengaruh terhadap fenomena agama.
Disini kita dapat melihat dimana fenomena agama (Islam) di Sulawesi Selatan dapat mempengaruhi fenomena budaya. Dimana kedatangan Islam di Sulawesi Selatan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat lokal. Karena keterkaitan keduanya sehingga terjadi dialektik dan sinkretisme kemudian melahirkan identitas yang di adopsi dari ajaran Islam.
Agama dilihatnya sebagai produk kehidupan kolektif; kepercayaan dan ritus agama memperkuat ikatan-ikatan social dimana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain, hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan yang erat. Inilah salah satu sumbangan Durkheim terhadap perspektif consensus dengan penjelasannya terhadap agama secara fungsional. Ia melihat bahwa aktivitas keagamaan ditemukan didalam masyrakat karena agama memiliki fungsi positif; yaitu membantu mempertahankan kesatuan moral masyarakat.
Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan tidak lepas dari pengaruh budaya lokal. Sebab awal kedatangan Islam, para penganjur dan mubalig mendialogkan antara budaya Bugis-Makassar dengan budaya Islam.
Menurut Abu Hamid, tradisi keagamaan yang pada umumnyaberkembang dalam masyarakat Bugis-Makassar dapat dibagi ke dalam dua azas, yaitu
- kepercayaan lama yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang, dan
- kepercayaan yang bersumber dari ajara Islam.
Kedua azas kepercayaan ini berbaur dalam praktekpraktek ritual dan upacara.Penuilisan sejarah tentang proses Islamisasi yang cenderung ”istana sentris”, telah mengakibatkan cerita-cerita keberislaman yang lain, yang lokal, yang bernuansa sufistik, yang berdilaog dengan kultur setempat, justru menjadi sesuatu yang aneh bagi masyarakat banyak.
Praktek keberislaman yang muncul seperti di Cikoang, Bissu, Karampuang, cerekang, Kajang di Tanah Toa dan Bawakaraeng, tidaklah mendapatkan apresiasi. Sebaliknya, mereka malah dianggap sebagai penganut Islam yang belum sempurna bahkan sesat, sehingga perlu diluruskan atau bahkan ditumpas.
Konstruk sejarah Islamisasi seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penjelas relasi antara agama dan kebudayaan lokal niscaya problematis hingga saat ini. Di sisi lain, konstruk sejarah yang sama juga seolah memberi legitimasi bahwa kekuasaan negara atau pemimpin berhak mengatur kehidupan beragama masyarakatnya.
Tidaklah mengherankan bila saat ini sejarah resmi Islamisasi juga menjadi acuan yang dipakai oleh para penganjur formalisasi Syariat Islam di wilayah ini untuk mengabsahkan gagasan mereka.
Keberagamaan Orang Bugis-Makassar
Agama merupakan unsur penting yang menentukan identitas suatu masyarakat. Oleh karena itu, diterimanya Islam sebagai agama orang Bugis-Makassar merupakan peristiwa yang sangat penting.
Terdapat dua masalah yang perlu diketahui berkaitan dengan pengenalan pertama antara orang Bugis-Makassar dan orang-orang Muslim sebelum mereka menganut Islam secara resmi pada awal abad XVII.
- Pertama, kontak yang dilakukan oleh para pedagang Bugis-Makassar dengan penduduk muslim ketika merantau.
- Kedua, kontak yang berlangsung di dalam wilayah Sulawesi Selatan melalui para pedagang muslim yang sudah bermukim di Makassar sejak pertengahan abad XVI.
Ini diperlukan menyelidiki adanya orang Bugis- Makassar yang menganut Islam sebelum Islam diterima secara resmi oleh Raja pada tahun 1605.
Orang Bugis-Makassar terhitung 97% lebih menganut agama Islam. Mereka menganut Islam secara taat dalam artian kepercayaan.
Walaupun orang Bugis-Makassar dalam praktiknya belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam, namun mereka tidak mau dikatakan bukan Islam. Mereka yang seperti itu lebih banyak menjadikan Islam dalam hatinya dan pikirannya.
Mungkin karena itu pula, masih ada sebagian diantara mereka yang masih menjalankan praktik kepercayaan dulu attoriolong. Mereka senantiasa memikirkan Islam, tetapi praktik-praktik dalam rukun Islam masih sukar dilakukannya secara sempurna.
Berbagai gejala tentang tanggapan mereka terhadap sekitar alam lingkungannya dan sistem kepercayaannya menunjukkan adanya campur-baur dalam praktek keagamaan. Keadaan masyarakat seperti ini, dalam istilah Chabot menyebutnya komunitas keagamaan (worship community), yaitu komunitas dibentuk berdasarkan obyek penyembahan tertentu oleh orang yang tinggal dalam satu wilayah.
Sedangkan Para penganut agama Islam biasanya dipersatukan oleh satu ikatan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) yang menjadikan muslim yang satu bersaudara dengan muslim lainnya. Kemungkinan besar hal inilah yang mendasari kecenderungan orang Bugis-Makassar untuk memebntuk semacam entitas supra-etnis Bugis-Makassar yang semakin kuat sebagai sesama Islam di Sulawesi Selatan.
Berbagai etnis berbeda tersebut akan dengan senang hati memperkenalkan diri mereka kepada orang luar sebagai “orang Bugis-Makassar”. Meskipun penetrasi ajaran Islam sudah berlangsung lama di Sulawesi Selatan sesuai dengan penelusuran di atas, namun kepercayaan tradisional masih bertahan pada sebagian besar masyarakat tradisional Bugis-Makassar.
Kepercayaan tradisional yang mereka percayai. Dengan demikian, realitas keagamaan orang Bugis-Makassar sebenarnya jauh lebih kompleks dari gambaran diatas.
Disatu sisi, agama Islam memang telah menjadi bagian dan hadir dalam begitu banyak dalam aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Ini dapat dilihat dalam praktek peribadatannya, nama-nama muslim yang mereka sandang, terdapatnya banyak mesjid dan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, universitas-universitas Islam, dan sebagainya, serta berbagai bentuk institusi lainnya.
Akan tetapi, disisi lain, dalam praktek peribadatan mereka masih banyak terdapat unsur kepercayaan pra-Islam yang masih tersisa. Misalnya, ritual-ritual masyarakat, kepercayaan mereka terhadap mitos pra-Islam, persembahan kepada benda-benda pusaka dan tempat-tempat keramat, serta kehadiran sejumlah pendeta bissu yang masih tetap berperan aktif. Padahal, semua unsure tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka anut.
Jadi keberagamaan dan kepercayaan orang Bugis-Makassar yang identik dengan Islam masih sarat dengan praktik sinkretisme antara ajaran Islam dan pra-Islam. Menurut Pelras, digolongkan menjadi dua jenis:
- sinkretisme esoteric dan
- sinkretisme praktis.
Yang dapat dimasukkan ke dalam kategori sinkretisme esoteric adalah ajaran aliran kepercayaan yang berasal dari periode awal Islamisasi, yang disebarkan melalui teks-teks yang sebagian besar lisan (meskipun ada beberapa yang tertulis) oleh para pengikut ajaran tersebut yang antara lain terdapat di kalangan bangsawan Luwu’ atau dalam tradisi Tolotang di Sidenreng dan tradisi Ammatoa di Kajang. Aliran kepercayaan ini kadang-kadang dikaitkan dengan tempat-tempat keramat sepertiGunung Bawakaraeng di Gowa atau bulu’ lowa di Amparita (Sidrap).
Sejumlah naskah esoterik, yang sangat dikeramatkan oleh para penganutnya, berisi ajaran yang megawinkan sufisme Islam dengan konsep ketuhanan (teologi) dan konsep mengenai alam semesta (kosmologi) pra-Islam Bugis-Makassar.
Sedangkan dalam singkretisme praktis, orang Bugis-Makassar menjalankannya secara terbuka, walaupun banyak ditentang oleh penganut ajaran Islam fundamentalis. Singkretisme praktis tidak memiliki rumusan konsep tertentu. Orang hanya dapat menarik kesimpulan mengenai konsep yang mendasarinya dengan mengamati berbagai praktik orang Bugis-Makassar, misalnya ritus siklus hidup, ritus yang berhubungan dengan pertanian, pembangunan rumah, pembuatan perahu, penangkapan ikan, serta ritus pengobatan.
Praktikpraktik bertentangan dengan ajaran Islam, karena cenderung memperlakukan entitas spiritual (to alusu’) maupun entitas gaib (to tenrita) sebagai perantara hubungan manusia dengan Tuhan.
Implikasi kemusyrikan dari prakti-praktik tersebut tidak selalu disadari oleh mereka yang melaksanakannya. Sebagian penganut sinkretisme praktis menganggap to’ alusu dan to tenrita sebagai dewata atau roh-roh paa leluhur, sebagian lagi menganggap mereka sebagai jin dan malaikat. Walaupun ajaran Islam mempercayai adanya jin dan malaikat, tetapi tujuannya bukab untuk disembah.
Sisa-sisa kebiasaan menyembah nenek moyang atau melanjutkan penyembahan nenek moyang, masih dapat kita lihat praktiknya hingga saat ini. Seperti, persembahan nasi pada ritus pembangunan rumah baru dan persembahan bubur pada perayaan Asyura, tetapi dalam upacarakematian tidak nampak lagi sisa-sisa praktik pra-Islam. Hanya saja, ziarah ke kubur tokoh-tokoh tertentu yang dipercayai sebagai perantara manusia dengan tuhan masih banyak dilakukan.
Mungkin dengan dasar itu pula, sehingga Pelras mendefinisikan singkretisme keberagamaan orang Bugis-Makassar dengan “singkretisme praktis agama campuran” (practical religion). Suatu sikap keberagamaan sebagian orang Bugis-Makassar di samping memegang kuat ajaran agamanya (Islam) atau ushuluddin, tetapi mereka juga mencampur dengan kepercayaan pra-Islam yang Tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran para ulama.
Namun, kedua unsur tersebut terdapat pula kepercayaan mereka dengan kadar yang berbeda-beda, ditambah warisan kebudayaan Austronesia yang jauh lebih tua. Sebagai wujud praktik singkretisme tersebut, lanjut Pelras, dalam ritual tradisi keberagamaan orang Bugis-Makassar merupakan campuran dari unsur-unsur Islam dan pra-Islam. Proporsi unsur tersebut dalam ritual yang satu berbeda dengan ritual lainnya karena tidak ada standar baku yang mengaturnya.
Setiap sanro (dukun), pinati, setiap orang yang melakukan ritus tertentu, mendasarkan praktik mereka menurut tat cara yang diciptakan sendiri. Keistimewaan yang dimiliki seseorang mungkin merupakan warisan dari seorang guru, mungkin pula hasil temuan sendiri lewat ilham, atau diterima melalui mimpi, sehingga seolah-olah bukan hasil temuan, namun hal tersebut hanya merupakan merupakan variasi dari polapola umum.
Berdasarkan pengamatan selama ini yang tersebar luas dalam kalangan orang Bugis-Makassar, terdapat perbedaan utama antara ritus tradisional Bugis-Makassar dengan ritus Islam. Ritus Bugis-Makassar melakukan penyembahan melalui sesajen, sedangkan ritus Islam melalui shalat. Meskipun tehnik pelaksanaan dan tempatnya yang berbeda, namun kedua praktik tersebut menurut mereka dapat menghasilkan sesuatu yang sama.
Sumber: Mustaqim Pabbajah
Universitas Teknologi Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Chabot, H. Th. 1956, Verwanscap Stand en Sexe in Zuid Celebes. Groningen: Groningen University Press.
Dg. Patunru, Abdurazak. 1967, Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara
Fadillah, Moh. Ali dan Iwan Sumantri (ed), 2000. Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi
Geertz, Clifford. 2000, Negara Teater. Yogyakarta: Bentang Budaya
Hamid, Abu, 2005, Syeikh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Katu, Samiang, 2000. Pasang ri Kajang. Makassar: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM IAIN Alauddin Makassar
Noorduyn. J., 1956. Islamisasi Makassar dari judul asli De Islamisereing van Makassar dalam B.K.I., jilid 112
Noorduyn. J., 1964. Sedjarah Agama Islam di Sulawesi Selatan. Dalam W.B. Sidjabat
Nyompa, Johan, 1992. Mula Tau (Satu Studi Tentang Mitologi Orang Bugis). Makassar: Universitas Hasanuddin
1 comment:
belajar sejarah
perpussimpel.blogspot.com
Post a Comment