twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Friday, December 11, 2015

KEBUDAYAAN TORAJA

KEBUDAYAAN TORAJA

A. Letak Geografis

Kabupaten Tana Toraja adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan Makale sebagai Ibukota Kabupaten, yang mempunyai luas wilayah 3.205,77 kilometer persegi dan berpenduduk sebanyak lebih kurang 400.000 jiwa.

Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makasar, sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, dan sebelah selatan dengan Laut Flores.
Suku Toraja mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia dan mirip dengan budaya Nias.

B. Sistem Budaya

Dalam sistem budaya Toraja, Tau-Tau merupakan salah satu bagian dari prosesi budaya yang masih dilestarikan meskipun mereka telah menerima kepercayaan lain, antara lain Agama Kristen dan Agama Islam.

Sikap Tau-Tau ini menegaskan nilai-nilai kolektivitasnya. Penempatan Tau-Tau pada tebing yang dipahat dan menghadap ke timur (Gunung Sinaji) yang di bawahnya terhampar areal persawahan dimaksudkan sebagai permintaan akan kesejahteraan hidup masyarakat. Arwah leluhur diharapkan memberikan kesuburan sehingga panen padi berhasil, kemudian masyarakat membuat persembahan lewat ritual tertentu, yang merupakan suatu perjanjian antara masyarakat Toraja dengan leluhur mereka. Tau-Tau merupakan perwujudan leluhur mereka yang dianggap masih hidup, mereka beranggapan bahwa kematian bukanlah hal yang mendasar bagi seorang manusia.

C. Sistem Sosial

Masyarakat Toraja mengenal sistem pelapisan masyarakat yang bersumber dari ajaran kepercayaan laluhur, yang mengatur berbagai aspek kehidupan, terutama dalam berinteraksi sehingga sangat nampak dalam keseharian mereka. Tingkatan sosial dalam masyarakat Toraja adalah sebagai berikut:

  • Tana’ Bulaan, adalah lapisan bangsawan tinggi sebagai pewaris Aluk (kepercayaan) untuk memimpin agama
  • Tana’ Bassi, merupakan lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris kepemimpinan
  • Tana’ Karurun, adalah rakyat kebanyakan yang tidak diperintah secara langsung oleh para bangsawan
  • Tana’ Kua-Kua, adalah lapisan hamba sahaya
Dahulu stratifikasi sosial didasarkan pada keturunan dan kedudukan, namun kini berdasarkan tingkat pendidikan dan kemapanan ekonomi. Sekarang banyak kelas rakyat kebanyakan yang dahulu mengabdi kepada kaum bangsawan, kini menggapai posisi sendiri dalam sistem stratifikasi sosial itu.

D. Kebudayaan Fisik

Bahasa
Sebagai bagian dari Nusantara, Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan. Namun demikian bahasa Toraja (Sa’dan) menjadi bahasa yang paling dominan dalam percakapan antara warga masyarakat.

Sistem Organisasi Sosial
Tentang organisasi sosial tidak lepas dari kata Tongkonan, yang berasal dari istilah tongkon yang berarti duduk. Tongkonan yang merupakan rumah, dahulu merupakan pusat pemerintahan, kekuasan adat dan pembangunan kehidupan sosial budaya. Tongkonan memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai

  • pusat budaya, 
  • pusat pembinaan keluarga, 
  • pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, Juga merupakan 
  • pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial. 

Oleh karena itu Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat.. Sebagai contoh, ditampilkan beberapa contoh Tongkonan, yang memiliki kewajiban sosial dan budaya sebagai berikut:

  • Tongkonan Pesio’ Aluk, tempat menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan
  • Tongkonan Pekeindoran atau Pekamberan atau Tongkonan Kaparengesan, berfungsi sebagai tempat mengurus atau mengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk
Sistem Pengetahuan

“Toraya Mamali” adalah melandasi pengetahuan untuk modernisasi dan membangun Tana Toraja, karena masih kuatnya budaya tradisional. Upaya ini berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat yang tinggal di dalam maupun berada di luar Tana Toraja, untuk bersama-sama menyatukan visi dan misi demi membangun Tana Toraja atas dasar tanggungjawab dan komitmen bersama.

Adapun tekad yang diusung untuk menjadikan “Toraja Unggul”, adalah sebagai berikut:

  • Perkataan (berani dan penuh percaya diri)
  • Penguasan Ilmu dan Teknologi (cerdas dan terampil)
  • Penebaran Kasih (saling hormat dan mengasihi)
  • Pariwisata (budaya dan alam)

Toraya Mamali` dicanangkan sebagai program kerja lima tahunan yang diarahkan kepada bidang:

  • pendidikan, 
  • pertanian dan 
  • pariwisata.
Sistem Teknologi
Teknik Arsitektur dan Sipil Bangunan Rumah Adat Toraja yang disebut Tongkonan, benar-benar artistik, unik dan mengagumkan, karenanya dijadikan obyek wisata. Bangunan Tongkonan secara garis besar ialah papan berwarna merah yang menopang sebuah bangunan bentuknya seperti perahu yang megah. Apabila diperhatikan dengan seksama, guratan pisau rajut yang mengukir papan berwarna merah itu menjadi pertanda status sosial pemilik bangunan. Estetika Tongkonan adalah digantungkannya deretan tanduk kerbau yang dipasang di depan rumah.

Sistem Ekonomi
Pertalian yang paling mendasar adalah Rarabuku, yang bisa diterjemahkan sebagai “Keluarga”. Toraja memandang Rarabuku sebagai hubungan “Darah dan Tulang sebagai hubungan antara orangtua dengan anak atau keluarga inti. Dengan landasan Rarabuku dapat dimengerti bahwa Sistem Perekonomian Masyarakat Tana Toraja, menganut sistem perekonomian yang berasaskan kekeluargaan, sebagaimana tertera dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar Tahun 1945.

6. Sistem Religi

Agama dan Kepercayaan
Di Tana Toraja dijumpai beberapa agama, antara lain

  • Kristen Protestan 298.22l jiwa, 
  • Katholik l08.850 jiwa, 
  • Islam 37.853 jiwa dan 
  • Hindu Toraja (Aluk Todolo) l3.145 jiwa. 

Kepercayaan turun-temurun, yaitu Aluk Todolo dianggap sebagai agama dan kepercayaan asli, yang diturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta), kemudian menurunkan kepada Datu Lauku, yang berisi aturan bahwa manusia dan segala isi bumi ini harus menyembah kepada Puang Matua dalam bentuk sajian. Sang Pencipta kemudian memberikan kekuasaan kepada Deata-Deata (Sang Pemelihara).

Kepercayaan Orang Toraja khususnya yang disebut Sa’dan, di Sulawesi Selatan dikenal sebagai adat kebiasaan leluhur, namun penganutnya kian hari semakin berkurang, karena pengaruh agama lain. Dari segi administrasi, kepercayaan Aluk Todolo sekarang dimasukkan ke dalam agama Hindu Toraja.

Upacara Adat
Terdapat dua macam upacara yang besarm yaitu Upacara Adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solo.

Upacara Rambu Tuka; 
Upacara Rambu Tuka’ adalah acara syukuran, antara lain:

  • acara pernikahan, 
  • syukuran panen, dan 
  • peresmian rumah adat (Tongkonan) yang baru atau selesai direnovasi. 

Pada acara tersebut hadir semua rumpun keluarga, dan acara itu membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toaja sangat kuat. Semua acara tersebut dikenal dengan nama Ma’ Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’. Rambu Tuka’ diiringi seni musik dan seni tari.

Upacara Rambu Solo; 
Upacara Rambu Solo adalah upacara kematian. Mewajibkan keluarga yang ditinggal untuk menyelenggarakan “Pesta”, sebagai tanda penghormatan kepada mendiang. Pelaksanaan upacara Rambu Solo, terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yaitu sebagai berikut:

  • Dipasang Bongi : Upacara yang dilaksanakan hanya dalam satu malam
  • Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga malam; dilaksanakan dirumah serta ada pemotongan hewan
  • Dipalimang Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam; dilaksanakan di sekitar rumah serta ada pemotongan hewan
  • Dipapitung Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam, dan setiap harinya ada pemotongan hewan
Biasanya pada Upacara Tertinggi, dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang-kuranya setahun. Upacara yang pertama disebut Aluk Pia, biasa dilaksanakan di sekitar Tongkonan keluarga yang berduka. Upacara kedua disebut Upacara Rante, biasanya dilaksanakan di sebuah lapagan khusus, karena upacara ini menjadi puncak dari prosesi pemakaman.

Biasanya pada kegiatan semacam ini banyak dijumpai pada berbagai ritual adat, antara lain:

  • Ma’tunda, 
  • Mebalun (membungkus jenazah),
  • Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), 
  • Ma’ Popengkalo Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terakhir adalah 
  • Ma’ Palao (mengusung jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Tidak hanya ritual adat yang dapat dijumpai dalam Upacara Rambu Solo, tetapi berbagai kegiatan budaya lainnya yang menarik dapat digelar, antara lain:

  • Pa’ Badong, 
  • Pa’Dondi, 
  • Pa’Randing, 
  • Pa’Katia, 
  • Pa’Papanggan, 
  • Passailo dan 
  • Pa’ Pasilaga Tedong.
Selanjutnya seni musiknya:

  • Pa’pompang, 
  • Pa’dali-dali dan 
  • Unnosong. 


Ma’tinggoro Tedong
(pemotong kerbau dengan ciri khas masyarakat Toraja, yaitu memotong kerbau sekali tebas dengan parang). Biasanya kerbau yang akan disembelih, ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Menjelang usainya upacara Rambu Solo keluarga mendiang mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta, yang sekaliguas sebagai tanda selesainya upacara pemakaman Rambu Solo.

Semakin tinggi tingkat stratifikasi sosial seseorang/keluarga, upacara itu makin berlangsung lama (bisa beberapa hari) dan tentunya banyak pula memotong kerbau.

Dalam kepercayaan asli, kerbau dipercaya sebagai kendaraan arwah atau surga (puya) Tak mengherankan apabila Upacara Rapasan Saputrandanan, yang digelar oleh kelas bangsawan tinggi, bisa berlangsung paling sedikit tujuh hari, bahkan bisa berbulan-bulan, dengan jumlah pemotongan kerbau paling sedikit 12 ekor.

Di Tana Toraja, cara pandang sosial terhadap penyelenggaraan suatu upacara, bukan dinilai dari jumlah uang yang dikeluarkan, melainkan dari jumlah kerbau yang dipotong. Di Bolu, Rantepao, harga seekor kerbau yang berumur 3-4 tahun mencapai Rp.5 juta hingga Rp.l0 juta Namun di Tator ada kerbau yang khas, yaitu kerbau belang (Tedong Bulen). Kerbau jenis ini harganya sangat mahal, bisa mencapai ratusan juta rupiah per ekor.

Struktur sosial masyarakat dalam sistem agama leluhur, yang berkaitan dengan ketentuan potong kerbau, seperti 6 ekor, 8 ekor, dan 12 ekor, menurut Nico B. Pasaka, tokoh Toraja dan Ketua Masyarakat Pariwisata Indonesia, menegaskan jumlah hewan yang dipotong bisa lebih banyak karena jumlah seperti di atas dianggap tidak cukup, misalnya jumlah itu belum mencukupi jatah untuk tempat ibadah atau jatah bagian pembangunan desa.

Cara menyelenggarakan upacara dan jumlah kerbau yang dipotong, juga tak lepas dari nilai kelas sosial. Kesempurnaan upacara kematian serta status sosial bagi yang hidup akan menentukan posisi arwah, apakah sebagai

  • Bombo (arwah gentayangan), 
  • Tinombali Puang (arwah yang mencapai tingkat dewa), atau 
  • Deata (Dewa Pelindung). 

Seseorang bisa dianggap telah meninggal dunia, jika telah dilaksanakan upacara kematiannya. Kalau kematiannya belum diupacarakan, banyak yang mengatakan Bombo-nya gentayangan. Dalam konteks itulah menjadi kewajiban bagi keluarga yang berduka untuk melaksanakan upacara kematian bagi jenazah yang bersangkutan.

Apabila upacara itu tidak dilaksanakan, dapat menimbulkan rasa malu atau (hilangnya) harga diri , yang disebut Siri’ Mate. jenazah yang dikuburkan tanpa mengurbankan paling sedikit seekor kerbau dan beberapa ekor babi, dinilai Siri’.

Seseorang yang meninggal dunia yang tidak diupacarakan dengan memotong hewan disebut Todibaa bongi, yaitu jenazah almarhum dikubur secara sembunyi-sembunyi pada malam hari.

7. Kesenian

Seni Musik tradisional, antara lain:

  • Passuling: semua lagu-lagu yang diiringi dengan suling
  • Pa’pelle/Pa’barrung: Alat musiknya terbuat dari batang padi dan disambung hingga mirip terompet
  • Pa’pompang/pa’bas: musik bambu
  • Pa’karobi: alat kecil dengan benang halus pada bibir
  • Pa’tulali’: bambu kecil dimainkan sehingga menimbulkan bunyi
  • Pa’geso’geso’ : alat musik gesek, terbuat dari kayu dan tempurung
Seni Tari
Kesenian Tari di Tana Toraja, senantiasa diapresiasikan berkaitan dengan Aluk Rambu Tuka’ dan Aluk Rambu Solo’, yang antara lain:

  • Tarian Ma’gellu : dipentaskan pada upacara kegembiraan
  • Tarian Boneballa’ / Ondo Samalele’: digelar dalam upacara syukuran
  • Tarian Pa’gellu: dipentaskan pada acara pesta Rabu Tuka
  • Tarian Burake: pemujaan kepada Puang Marua dan Deata
  • Tarian Dau Bulan: Sama dengan Tarian Burake
  • Tarian Madandan: pemujaan dan doa-doa kepada Puang Ma’tua dan Deata (Aluk Todolo)
  • Tarian Manimbong: Tarian pemujaan dan doa pada upacara syukuran
  • Tarian Pa’randing: untuk menghormati para pahlawan perang
  • Tarian Pa’pangngan: tarian selamat datang

Catatan

  • Pembangunan dan Modernisasi Tana Toraja, sudah menjadi tuntutan segenap warganya baik yang berada di dalam maupun di luar Toraja.
  • Segenap warga Tana Toraja diajak untuk peduli terhadap kampung halaman.
  • Tekad yang diusung bersama adalah untuk menjadikan Toraja unggul dalam:
  • a. Perkataan ( berani dan penuh percaya diri)
  • b. Penguasaan Ilmu dan Teknologi (cerdas dan terampil)
  • c. Penebaran Kasih (saling hormat dan mengasihi)
  • d. Pariwisata (budaya dan alam)
  • Penebaran Kasih, ditunjukkan dengan tumbuh suburnya keanegaraman agama, namun kepercayaan turun-temurun yang dianggap sebagai agama dan kepercayaan asli yang lebih dikenal dengan nama Aluk Todolo. Aluk merupakan budaya/aturan hidup yang menjiwai setiap orang Toraja.
  • IPTEK sudah mewarnai kehidupan mereka dan stratifikasi sosial yang dulunya beralaskan sendi-sendi tradisional telah terjadi perubahan. Kini yang tampil adalah berdasarkan Tingkat Pendidikan dan kemapanan ekonomi.
  • Modernisasi dan IPTEK diupayakan terus digapai oleh setiap insan Tana Toraja, namun budaya leluhur yang turun-temurun, yaitu Aluk Todolo, Rambu Tuka’ dan Rambu Solo, serta Rara Buku (Kekeluargaan) tetap lestari dalam kehidupan mereka.

Sumber:
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA, Oktober 2011, Dr. Woro Aryandini, SS, MSi dan tim

No comments: