twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Saturday, December 12, 2015

SULAPA` EPPA` (FALSAFAH ALAM RAYA) DAN AWAL MULA BENTUK AKSARA LONTARA



Sulapa' Eppa' : Falsafah Alam Raya Dan Awal mula bentuk aksara Lontara
Orang Bugis-Makassar (juga orang Luwu', Mandar dan Toraja), mengenal kosmologi ruang yang mencerminkan suatu pandangan terhadap dunia. Pandangan tersebut dikenal dengan Konsep Sulappa Eppa' Wala Suji (segi empat belah ketupat). Menurut Budayawan Mattulada, Sulapa' Eppa' diambil dari walasuji sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa Eppa dalam wacana klasik kepercayaan Bugis-Makassar memiliki banyak makna.

Bentuk aksara lontara menurut Mattulada, berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata walayang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).

Pandangan kosmologis suku Bugis-Makassar mengenal adanya tiga macam pengklasifikasian, yakni klasifikasi tingkatan dunia (dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah), klasifikasi struktur tubuh manusia (kepala, badan dan kaki), dan klasifikasi empat penjuru mata angin (utara, selatan, barat dan timur). Segi empat belah ketupat ditafsirkan sebagai model dari kosmos. Model kosmos dihubungkan dengan adanya empat sarwa alam, yaitu: udara, air, api, dan tanah, yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur ini adalah empat jenis sifat yang dimiliki oleh "manusia yang berbicara".

Sifat air adalah sifat yang dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Ketika air dituang ke dalam bejana segiempat, maka ia akan berbentuk segiempat, bila ke dalam bejana bundar, maka ia pun berbentuk bundar. Sifat ini dipandang tidak konsisten karena keputusannya tergantung dimana ia berada, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pembuat keputusan. Sifat air yang tidak tetap dan mengalir ke tempat yang paling rendah, tidak sesuai bila dimiliki seorang pemimpin, yang seharusnya memberi bentuk kepada bawahannya.

Sifat api yaitu sifat seseorang yang gampang dikuasai oleh amarah, jika sekali saja disinggung perasaannya, ia akan membalas dendam kapan pun bila ia punya kesempatan. Ia tidak mempertimbangkan apa yang terbaik bagi semua orang tetapi hanya bagi dirinya sendiri. Sifat ini akan menimbulkan perselisihan antara dirinya dan orang yang dipimpinnya. Ia tidak memperdulikan saran dan kemauan orang banyak, lebih banyak mementingkan diri sendiri, dan jika ada yang melebihinya makan akan ditentangnya.

Sifat angin, yaitu orang yang tergantung pada arah angin. Jika angin bertiup dari Barat, maka ia ikut ke Timur, jika bertiup dari Selatan, ia ke Utara. Ia tidak memiliki sikap tegas, keputusannya tergantung pada orang banyak, bukan pada apa yang terbaik menurut pertimbangan terbaiknya.

Sifat tanah, merupakan sifat yang terbaik, sebab ia tidak pernah goyah, ia dapat bertahan bila dibanjiri air, dihempas angin dan terbakar api. Bila dialiri air, ia menjadi lunak, dibakar dengan api ia mengeras bagai batu-bata dan bila diterpa angin ia tak bergeming. Inilah sifat terbaik yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin.

Orang Bugis-Makassar memandang alam raya sebagai sulapa' eppa wala suji (segi empat belah ketupat). Menurut budayawan Mattulada, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia tengah. Dengan pandangan ini, masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu utara, selatan, barat dan timur. Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu /sa/ yang berarti seuwwa, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapa' eppa'. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu berawal dari bunyi yang menjadi kata, dari kata menjadi perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia. 

Huruf /sa/ di atas juga melambangkan “empat unsur alam” yang menjadi sifat manusia, yakni air, api, tanah dan angin. Keempat unsur alam ini bertalian dengan warna, yaitu kuning, putih, merah dan hitam. Lebih jauh, simbol /sa/ di atas melambangkan “empat sisi tubuh manusia”. Paling atas adalah kepala, sisi kiri dan kanan adalah kedua tangan, dan paling bawah adalah kaki. Orang bugis-makassar mengidealisasikan manusia sulapa appa’, manusia yang menjaga prinisp keseimbangan atas-bawah (keadilan) dan kiri-kanan (kesetaraan). Dengan alam, manusia sulapa appa’ mengemban tanggung jawab untuk merawat kearifan lokal dan keselarasan dalam tata kelolanya. Dengan demikian, konsep Sulapa' Eppa' (juga dilafalkan Sulapa' Appa') dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).

Lebih lanjut sulapa' eppa' diproyeksikan terhadap asas kehidupan manusia yang terdiri atas empat azas, yakni:
  1. Azas kehidupan tentang eksistensi kelahiran manusia
  2. Azas kehidupan tentang eksistensi kehadiran manusia
  3. Azas kehidupan tentang eksistensi pengabdian manusia dalam makrokosmos dan,
  4. Azas kehidupan tentang kematian manusia.
Manusia menjadi khalifah bagi alam raya harus memenuhi syarat nilai-nilai Sulapa' Eppa' yang terkandung dalam kearifan dan ajaran tradisi lokal manusia. Manifestasi nyata harmonisasi humanosphere tersebut dapat dilihat pada perilaku, perayaan, upacara maupun bentuk arsitektur. Pada perilaku manusia Bugis-Makassar ada kebiasaan; "taro ada taro gau, sipatuo-sipatokkong" (adat menunjukkan perbuatan, saling menghidupi-saling menolong).

Model sulapa' eppa' wala suji sebagai model makrokosmos harus diikuti sebagai model dari mikrokosmos. Empat asas kehidupan manusia Bugis terpancar pula pada model rumah tradisionalnya yang biasa disebut bola ugi. Bola ugi sebagai rumah keturunan/ keluarga, rumah adat, tempat pemeliharaan dan pembinaan sistem religi/kepercayaan dan penyelenggaraan aturan-aturan agama. Bola ugi juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan (Saoraja). 

Arsitektur rumah adat Makassar juga mengadopsi falsafah Sulapa' Eppa' dimana hal itu merupakan penerjemahan terhadap lapisan konsep kosmologi. Dari konsep ini, mengilhami bentuk struktur bola ugi yang senantiasa mengikuti model makrokosmos, yang secara konseptual harus mengikuti model persegi empat. Kemudian model bola ugi ini mengikuti pula struktur makrokosmos yang terdiri atas tiga tingkatan atau lapisan dunia yakni: bagian atas (rakkeang), bagian tengah (alle bola), dan bagian bawah (awa bola). Arsitektur rumah adat Bugis-Makassar terbagi atas bagian paling tinggi yang disebut coppo' bola, diasosiakan sebagai dengan alam arasy (Alam Lauh Mahfuds). Lapisan bawahnya adalah lapisan sakral. Lapisan yang merupakan penggambaran alam bagi makluk Tuhan yang suci. Lapisan tersebut pada rumah Bugis disebut Rakkeang. Rakkeang, dulunya, di rumah kuno orang Bugis merupakan tempat penyimpanan padi. Padi, dalam mitologi manusia Bugis, dipandang sebagai penjelmaan dari Dewi Sangiang Seri. Selanjutnya adalah lapisan alam manusia, dan yang paling bawah adalah lapisan alam lingkungan dan makhluk lainnya.

Dalam mitologi suku Bugis, sistem upacara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok atau anggota masyarakat (individu) tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip menurut sistem kepercayaan. Dalam sistem kepercayaan attauriolong, dikenal adanya tiga unsur yang disembah dan diberi upacara. Pertama, mereka percaya kepada dewa-dewa yang dipimpin oleh dewata seuwaE. Kedua, mereka percaya kepada roh nenek moyang. Ketiga, mereka percaya kepada kekuatan gaib. Hal ini terlihat misalnya, pada perayaan dan upacara saat ingin melaut, membuat perahu, atau pada saat ingin menanam padi- pasca panen.

Jika Anda pernah mengunjungi acara adat atau perkawinan Kerabat Bangsa Bugis, tentu Anda akan melihat suatu Baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai atau yang melaksanakan hajatan. Wala Suji ini terbuat dari anyaman bambu. Mengapa Wala Suji harus menggunakan pohon bambu, karena pohon bambu dipercaya memiliki makna filosofi . Pohon bambu adalah sejenis tumbuhan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Ada satu sisi dari pohon bambu dapat dijadikan bahan pembelajaran bermakna, yakni pada saat proses pertumbuhannya. Pohon bambu ketika awal pertumbuhannya atau sebelum memunculkan tunas dan daunnya terlebih dahulu menyempurnakan struktur akarnya. Akar yang menunjang ke dasar bumi membuat bambu menjadi sebatang pohon yang sangat kuat, lentur, dan tidak patah sekalipun ditiup angin kencang.

Metafora tersebut mengajarkan kepada manusia agar tumbuh, berkembang dan mencapai kesempurnaan bergerak dari dalam ke luar, bukan sebaliknya. Lebih jauh memahami filosofi pohon bambu tersebut, bahwa menjadi apa sesungguhnya kita ini sangat tergantung pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita tentang “Keimanan kepada Allah SWT” yang terdapat dalam hati (qalbu) kita masing-masing.

"Tau" atau "To" dalam terminologi Bugis-Makassar adalah manusia, dalam perspektif kebudayaan Sulawesi Selatan dianjurkan memiliki sipa’ tau (sifat manusia). Artinya bahwa karakteristik sifat manusia harus merujuk pada sistem nilai dan norma-norma masyarakat Sulawesi Selatan. Konsep ‘tau’ dalam kebudayaan ini merupakan spirit dalam memperoleh wujud kesempurnaan manusia yang biasa di simbolkan sebagai sulapa appa walasuji (segi empat belah ketupat) yang menurut Mattulada dapat juga disimbolkan dengan huruf aksara lontara yaitu /sa/ yang dapat di artikan sebagai Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam tradisi Makassar, disebutkan: ”Nikanaya sulapak appakna taua iami antu niak sirikna, niak paccekna, niak pangngalikna, na todong pangngadakkangna”. (yang disebut manusia berhati ‘sulapa appa’ yaitu manusia yang memiliki harga diri, memiliki rasa kesetiakawanan, menghargai orang lain dan memiliki sifat sopan santun).

Dari simplikasi tersebut akan ditemukan bahwa konsep ‘tau’ di Sulawesi Selatan pada dasarnya berimplikasi dari konsep sulapa appa’, yang dapat diperoleh dari ‘magguru’ (belajar) dan massompe (merantau). Implementasi konsep tesebut menghantarkan perilaku sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakatuo (saling menghidupi), dan sipakatokkong (saling membantu). Sehingga jelas bahwa falsafah tersebut selain sebagai wasiat kebudayaan, juga menjadi sebuah sistem nilai dalam pedoman hidup masyarakat Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu, masyarakat Sulawesi Selatan dikenal memiliki keunggulan diaspora (menyebar dan hidup mandiri). Tidak sedikit masyarakat Sulawesi Selatan mencapai keberhasilan dan kesuksesan di luar tanah kelahirannya. Mereka berpijak pada prinsip-prinsip yang dianutnya sebagai sebuah falsafah hidup. Namun demikian bukan berarti semuanya berhasil, ada juga diantara beberapa diantaranya yang melebur dalam kehidupan yang justru memalukan (mappakasiri). Karena itu, dituntut untuk memiliki konsep hidup sebagai sebuah falsafah kebudayaan; yaitu: warani (berani), lempu (jujur), sugi (kaya) dan acca (pintar). Bila dirangkai dalam Bahasa Bugis menjadi : "macca na malempu, warani na magetteng" (pandai dan jujur, berani dan teguh bertindak).

“Warani” atau "barani", berani, sebagai sifat pemimpin ideal yang pada prinsipnya tidak takut menghadapi segala macam risiko. Keberanian ini hanya dapat dimiliki dengan modal “kalambusang” (kejujuran), dan tanpa pamrih. Sifat pemberani pada hakekatnya mengandung empat unsur yakni tammallakkai nipariolo (tidak takut jadi pelopor), tammallakkai nipariboko (tak takut berdiri di belakang) dalam artian memberi kesempatan kepada orang lain yang lebih potensial ataupun dalam rangka pengembangan potensi orang lain, tammallakkai allangngere kabara (tak gentar mendengar kabar yang baik maupun buruk, menerima kritik dan saran dari orang lain, berjiwa besar dan mempunyai sifat ingin tahu), serta tammallakkai accini bali (tak gentar dalam menghadapi lawan -baik dalam berunding maupun berperang-tegas dan konsisten).

"Lambusu" atau "lempu", jujur, mengandung sifat mengatakan yang benar dan tidak suka berbohong, akkontu tojengi (dia bekerja dengan penuh kesungguhan dan bertanggung jawab), baji bicarai (dia bicara yang benar/baik), tutui ri kanakananna (dia cermat dalam bertutur), tunai ripanggaukangna (dia sederhana dalam perbuatannya), appanggaukang bajiki (dia melakukan perbuatan yang bermanfaat). Seorang pemimpin yang jujur mencerminkan pribadi pemaaf, dan tidak pendendam, artinya jika orang berbuat salah padanya dia lantas memberi maaf, sepanjang orang yang berbuat salah itu mengakui secara jujur tentang kesalahan yang diperbuatnya. Jika diserahi amanat dia tidak khianat, dan jika bukan haknya dia tidak menserakahinya. Dia bekerja untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk dirinya sendiri.

"Sugi" atau "kalamannyang", kaya, tidak berarti banyak harta saja, akan tetapi menyiratkan pada sifat yang tamakurangi ri nawa-nawa (dia tidak kehabisan imajinasi, senantiasa berinisiatif dan penuh kreativitas dan inovatif), tamakurangi ri bali bicara (dia tidak kekurangan jawaban, kaya akan pengetahuan), masagenai ri singkamma gau (dia mahir dan terampil dalam setiap pekerjaan), tamakkurangi ri sikamma pattujuang (dia tidak kekurangan usaha karena memiliki modal).

Manusia yang memiliki dan mengamalkan keempat sifat ini secara menyeluruh akan menjadi Tu Panrita, menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Sudah barang tentu manusia yang utuh adalah manusia yang senantiasa memelihara dan mengembangkan fitrahnya sebagai manusia. Hanya manusia seperti ini yang akan terbebas dari alienasi maupun tipu daya dunia yang seringkali menyesatkan.

Dalam pandangan lain, Sulapa’ Eppa dikaitkan dengan arah mata angin dan filosofi kepememimpinan Khalafaur Rasyidin (empat khilafah pasca meninggalnya Nabi Muhammad). Manorang atau Utara diartikan memiliki sifat seperti Usman Bin Affan (adil), Maniyang atau Selatan diartikan memiliki karakter seperti Umar Bin Khattab (tegas dan berani), Rilau atau Timur diibaratkan memiliki sifat seperti Ali Bin Abi Thalib (cerdas), dan Riaja atau Barat dikiaskan memiliki karakter sifat seperti Abu Bakar (bijaksana). 

Ajaran ini oleh orang Bugis-Makassar dituturkan secara lisan kepada generasi berikutnya : "... langkahkan kakimu kemana pun juga, tetapi ingat, janganlah engkau berpisah dengan Sulapa Eppa'na Nabitta, yaitu katakan... "Abu Bakar berdiri dihadapanku, Umar berdiri disisi kananku, Ali disisi kiriku, Usman berdiri dibelakangku"... Insya Allah engkau akan selamat dunia akhirat…

Abu Bakar merupakan simbol sifat dermawan, sabar, sederhana, amanah dan membenarkan yang haq dengan cepat sehingga digelar As-Siddiq. Sifat ini menjadi ukuran pertama dalam memilih pemimpin. Umar merupakan simbol kekuatan yang diwujudkan dengan cepat bertindak, berani, tegas tetapi bijaksana. Sifat ini merupakan kategori kedua dalam memilih pemimpin. Ali merupakan simbol kecerdasan, pengorbanan, keberanian, ketegasan seperti halnya Umar (kanan), maka kiri adalah pelengkap tangan kanan. Umar merupakan simbol kekayaan, kesabaran, seperti Abu Bakar, sehingga didepan dan belakang terdapat sifat sabar, selain itu Usman dikenal dgn sifat tawaddu dan dalam diamnya ada zikir.

Referensi :
Pena.aminuddinsalle.com
id.zulkarnainazis.com/
sejarahbone.blogspot.com

5 comments:

bisotisme.com said...

Terimakasih artikelnya. Jadi lebih paham akan luasnya makna sulapa' appa

Unknown said...

masih ada yang lengkapnya sulapa ada 41 semua

Unknown said...

Siapa yg bisa sebutkan nama nabi sulapa 4 dlm diri berarti dia seperguruan ku.

Lhen said...

Tudang, sulung, cinnung, cora

Anonymous said...

Appa sulapa ‘ mata (pandangan) mulut (tutur kata ) hati (batin - Jiwa ) kemaluan (jaga ‘siri’) πŸ™πŸΌπŸ™‚