twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Friday, December 11, 2015

KEBUDAYAAN BUGIS DAN MAKASSAR

KEBUDAYAAN BUGIS DAN MAKASSAR

A. Letak Geografis

Kota Makassar berada koordinat 119oBT dan 5,8o LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1 – 25 meter dari permukaan laut, merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0 – 5o ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni Sungai Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan Sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar kurang lebih 175,77 Km2 daratan dan termasuk 11 pulau di Selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 Km2.

Jumlah kecamatan di Kota Makassar sebanyak 15 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Tujuh kecamatan berbatasan dengan pantai yaitu:
Kecamatan Tamalate,
Mariso,
Wajio,
Ujung Tanah,
Tallo Tamalanrea dan
Biringkanaya.

Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero – Melayu, atau Melayu Muda. Kata “Bugis” berasal dari To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan, di Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo) yaitu La Sattumpugi.

Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi pengikut La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah We Cudai, bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda Sawerigading. Sawerigading adalah suami We Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia.

Kerajaan pertama Bugis menurut I La Galigo ialah

  • Wemang Nriwuk, 
  • Luwuk dan 
  • Tompoktikka. 

Luwuk mendapat kedudukan istimewa kerana ia dianggap sebagai pemimpin kerajaan Bugis. Pada abad ke-15 terjadi perubahan di dalam sosio-politik, ekonomi dan agama, disebabkan migrasi penduduk dari pesisir pantai hingga ke tengah hutan belantara dan membuka pemukiman baru. Bidang ekonomi, penanaman padi sawah, pembuatan besi dan penggunaan kuda diperkenalkan.

Pada akhir abad ke-15 muncul beberapa kerajaan baru menentang kerajaan Luwuk, antara lain :

  • Gowa (Makassar), 
  • Bone dan 
  • Wajo’. 


Kematian Dewaraja, seorang raja Luwuk, menyebabkan perebutan dinasti untuk memerintah Tana Ugi. Gowa bersekutu dengan Bone melawan Luwuk dan sekaligus mempunyai pengaruh yang besar atas Sulawesi Selatan.

B. Sistem Budaya

I La Galigo
Sistem budaya dan falsafah hidup orang Bugis tertera dalam karya sastra I La Galigo. Dalam naskah itu terdapat konsep tentang

  • pertanian, 
  • maritim, 
  • lingkungan, 
  • redistribusi kapital, 
  • keamanan sosial, 
  • kehormatan, sampai 
  • hubungan suami-isteri, dan sebagainya

Mitologi ini mengandung nilai-nilai dan way of life orang Bugis, seperti

  • keberanian, 
  • kejujuran, dan 
  • keteguhan. dll

Budaya merantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan, yang dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih dengan jalan merantau

Peran pria dan wanita
Dalam keluarga yang berperan dan bertindak sebagai kepala rumah tangga adalah seorang ayah, sedangkan isteri berperan sebagai ibu rumah tangga. Dilihat dari segi hak dan kewajiban, laki–laki dan perempuan dalam keluarga diatur berdasarkan garis bilinial, keduanya mempunyai hak dan kewajiban tertentu terhadap anaknya, baik dalam bidang harta maupun dalam bidang pendidikan dan pembinaan keagamaan.

Dalam kehidupan sosial dan politik, peran perempuan dan laki–laki cukup seimbang. Dari tiga puluh raja yang memerintah kerajaan Bone tujuh orang adalah perempuan, sedangkan di kerajaan Wajo terdapat empat orang perempuan dari enam raja yang memerintah.

Konsep Siri’ Na Pacce dan Falsafah ‘Sipakatau’
Siri’ Na Pacce merupakan prinsip hidup.

  • Siri’ dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang yang mau merendahkan harga dirinya, sedangkan 
  • pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan.

a. Falsafah Siri’
Ada berbagai pandangan tentang pengertian siri’ Ada ahli hukum adat yang mengatakan bahwa siri’ adalah suatu perasaan malu karena dilanggar norma adatnya. Ahli lain mengatakan bahwa siri’ adalah merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh fihak yang melanggar adatnya. Siri’ dapat dikategorikan dalam empat kategori, yaitu:

  • siri’ dalam hal pelanggaran susila (misalnya: kawin lari, perzinahan, perkosaan, dan incest)
  • siri’ yang berakibat kriminal (menempeleng orang, menghina dengan kata- kata kasar sehingga terjadi perkelahian)
  • siri’ yang dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja (melihat orang lain sukses lalu mengikuti jejaknya)
  • siri’ yang berarti malu-malu (sirik-sirik)
b. Pacce
Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya. Dari pengertian tersebut, maka jelaslah bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Bagi orang Makassar, kalau bukan siri’, pacce-lah yang membuat mereka bersatu.

c. Falsafah ‘Sipakatau’
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau ditelusuri secara mendalam, hakikat kebudayaan Makassar sebenarnya bertitik sentral pada konsep mengenai ‘tau’ (manusia), yang melahirkan penghargan atas sesama manusia.

Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya ‘sipakatau’ yang artinya saling memahami dan menghargai secara manusiawi. Dengan pendekatan ‘sikapatau’ maka kehidupan orang Makassar dapat mencapai keharmonisan, dan memungkinkan kehidupan masyarakat berjalan secara wajar sesuai harkat dan martabat manusia.

Seluruh perbedaan derajat sosial – turunan bangsawan dan rakyat jelata – tercairkan. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya. Sikap budaya ‘sikapatau’ dijabarkan dalam konsepsi siri’ na pacce. ‘Sikapatau’ dalam kegiatan ekonomi sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak ‘annunggalengi’ (egois) , atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka.

C. Sistem Sosial

Sistem Norma
Masyarakat Bugis dan Makassar terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adatnya disebut :

  • panngaderreng (Bugis) atau 
  • panngadakkang (Makassar). 


Sistem adat keramat tersebut didasarkan atas lima unsur pokok, yaitu: Ade’ (Bugis) atau ada’ (Makassar), yaitu unsur dari panganderreng yang terdiri dari atas:

  1. Ade’ akkalabinengeng, yaitu norma-norma hal mengenai perkawinan serta hubungan kekerabatan. Norma-norma ini kemudian diwujudkan sebagai kaidah-kaidah keturunan, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan santun pergaulan antara kaum kerabat.
  2. Bicara, merupakan unsur panngaderreng mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan peradilan, kurang lebih sama dengan hukum acara, menentukan prosedur serta hak-hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan kasusnya di muka pengadilan atau yang mengajukan gugatan.
  3. Rapang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai unsur dari panngaderreng, rapang menjaga kepastian dan kesinambungan dari suatu keputusan hukum tak tertulis dari masa lampau sampai sekarang dengan membuat analogi antara kasus yang dihadapi dengan keputusan masa lampau. Rapang juga berupa perumpamaan tingkah laku ideal dalam berbagai lapangan hidup, baik kekerabatan, politik, maupun pemerintahan. Selain itu rapang juga berwujud sebagai pandangan keramat untuk mencegah tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap keamanan seseorang warga masyarakat.
  4. Wari, adalah unsur panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat, jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial, hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja dari negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda di dalam tata upacara kebesaran.
  5. Sara, adalah unsur panngaderreng yang mengandung pranata hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.

Kultur Haji
Gelar haji yang diperoleh sesudah menunaikan ibadah haji dianggap sebagai prestise yang menunjukkan status sosial. Dalam pernikahan faktor kehajian kerap menjadi penentu uang panaik atau dui’menre’ (uang mahar) bagi mempelai wanita. Calon pengantin wanita yang sudah bergelar hajjah uang maharnya akan jauh lebih tinggi dibanding dengan yang belum hajjah. Besarnya perbedan uang mahar kadang dihitung berdasar tarif resmi ONH.

Sebaliknya, adalah suatu kebanggaan buat mempelai wanita apabila calon pengantin laki-laki sudah bergelar haji, dengan demikian bisa menjadi nilai tambah dalam menerima atau menolak sebuah lamaran. Akan berat perjuangan seorang laki-laki yang belum haji yang hendak meminang seorang hajjah, kecuali laki-laki itu mengkompensasikan dengan uang mahar yang tidak sedikit.

Selepas berhaji ada semacam ritual wisuda yang dinamakan mappatoppo’ haji, dengan penyematan songkok atau kopiah haji dan gamis panjang berwarna putih yang dilakukan oleh seorang syeikh atau ulama yang disegani. Di jaman dahulu, orang Bugis-Makassar yang belum menunaikan ibadah haji akan malu dan segan menggunakan songkok putih karena masyarakat tahu dan akan mencibir. Orang ini akan dikatakan sebagai haji palsu, atau diolok-olok sebagai haji taalltu’ (bahasa Bugis). Sebaliknya, orang yang sudah pernah naik haji terkadang tidak mau melepaskan songkok putihnya lagi apabila bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya, agar supaya identitas kehajiannya tetap melekat. Untuk yang wanita, biasanya disimbolkan dengan kerudung di kepala yang dipuntir mengeilingi tepi rambut, dan dipasangi manik-manik atau hiasan emas atau perak.

D. Kebudayaan Fisik

Bahasa Dan Aksara

  • Suku Bugis mempunyai bahasa yang dikenal sebagai bahasa Bugis (Ugi) dan 
  • Suku Makassar mempunyai bahasa Mangasara.
Suku Makassar terbagi atas beberapa sub suku yang lebih kecil yang mempunyai logat dan bahasa yang juga berbeda, misalnya daerah Bulukumba dan Selayar yang secara fisik dianggap suku Makassar namun memiliki bahasa daerah yang berbeda dengan bahasa Makassar.

Sebuah kabupaten kecil sebelah utara kota Makassar bernama Enrekang terbagi atas tiga daerah bahasa, sebelah selatan bahasanya mirip bahasa Bugis karena berbatasan dengan daerah suku Bugis, bagian tengah berbahasa daerah sendiri, sementara bagian utara berbahasa daerah yang mirip bahasa Toraja karena berbatasan dengan daerah Toraja.

Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis dan Makassar Kuno adalah Aksara Lontara, yaitu sebuah sistem huruf yang berasal dari huruf Palawa. Pada abad ke XVI sistem Aksara Lontara disederhanakan oleh Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Permulaan abad XVII waktu agama Islam dan kesusastraan Islam mulai mempengaruhi Sulawesi Selatan, maka kesusasteraan Bugis dan Makassar ditulis dalam huruf Arab yang disebut Aksara Serang.

Sistem Organisasi Sosial

lapisan sosial
Terdapat tiga lapisan sosial, yaitu:

  1. Anakarung, kaum kerabat raja
  2. To-mara-deka, orang merdeka
  3. Ata, budak yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.

Pada mulanya hanya terdapat dua lapisan, sedangkan lapisan Ata terbentuk dengan perkembangan dari organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Pada permulaan abad ke-20 lapisan Ata mulai hilang, karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari golongan agama.

Sesudah PD II, perbedaan antara lapisan anakarung dan to-mara-deka mulai berkurang. Gelar Anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi dan Daeng walaupun masih dipakai, sengaja diperkecil artinya dalam proses perkembangan sosialisasi dan demokratisasi masyarakat Indonesia. Stratifikasi sosial masyarakat lama dianggap menghambat pembangunan

Perkawinan

Perkawinan adalah mempererat hubungan antar keluarga, antar suku, bahkan antar bangsa. Hubungan pernikahan dapat membuat suatu ikatan yang disebut massed siri berarti bersatu dalam mendukung dan mempertahankan kehormatan keluarga. Pada zaman lampau anak keturunan bangsawan dilarang berhubungan dengan orang biasa, jika dilanggar maka pasangan ini dikenakan hukuman riladung, dikenakan hukuman berat yaitu keduanya akan ditenggelamkan.

Perkawinan yang ideal berupa:

  • Aassialang marola (Bahasa Bugis) atau passialleang biji’na (Bahasa Makassar) adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah atau pun pihak ibu
  • Aassialanna memang (Bugis) atau passialleanna (Makassar) adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu
  • Ripaddeppe’ mabelae (Bugis) atau nipakambani bellaya (Makassar) adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga juga dari ayah maupun dari ibu
Perkawinan antara saudara-saudara sepupu tersebut, walaupun dianggap ideal, bukan suatu hal yang diwajibkan, sehingga mereka dapat saja kawin dengan yang bukan saudara sepupunya.

Perkawinan yang dilarang karena dianggap sumbang (salimara) adalah:

  • Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah
  • Perkawinan antara saudara-saudara sekandung
  • Perkawinan antara menantu dan mertua
  • Perkawinan antara paman atau bibi dengan kemenakannya
  • Perkawinan antara kakek dan nenek dengan cucu
Tahapan dalam proses pernikahan

  • Mapucce-pucce (bahasa Bugis) atau akkuisissing (bahasa Makasar): Kunjungan kepada keluarga si gadis untuk memeriksa kemungkinan apakah peminangan dapat dilakukan.
  • Massuro (bahasa Bugis) atau assuro (bahasa Makasar): bila kemungkinan meminang ada, maka dilakukan pembicaraan waktu pernikahan, jumlah mas kawin, dan belanja pernikahan.
  • Madappa (bahasa Bugis) atau ammuntuli (bahasa Makasar): Memberitahu kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
  • Pembawa persembahan (erang-erang) untuk pengantin wanita yang terdiri atas 12 gadis remaja (memakai baju bodo kuning) dikawal oleh keluarga pengantin pria bersiap menuju kediaman pengantin wanita.
  • Pabbajikang: mempertemukan kedua mempelai dalam satu sarung. Salah seorang yang dituakan membimbing kedua mempelai untuk menyentuh badan tertentu, misalnya ubun-ubun, pipi, atau bahu. Proses ini disebut Mappasikarawa.
  • Passompo: salah seorang anggota keluarga pengantin wanita yang termuda dipanggul.
Kawin Lari (Silariang)
Perkawinan yang tidak sesuai dengan adat ini disebut Silariang. Dalam hal ini si laki-laki membawa lari si gadis. Kawin lari semacam ini biasanya disebabkan karena pinangan dari pihak laki-laki ditolak, atau karena belanja perkawinan yang ditentukan pihak keluarga si gadis terlalu tinggi. Hal yang terakhir ini sebenarnya juga suatu penolakan pinangan secara halus.

Para kerabat si gadis yang mengejar kedua pelarian itu disebut tomasiri’. Kalau mereka berhasil menemukan para pelarian, maka ada kemungkinan si lak-laki dibunuh. Dalam keadaan sembunyi yang sering berlangsung berbulan-bulan, si laki-laki kemudian berusaha mencari perlindungan pada orang terkemuka dalam masyarakat.

Orang ini kalau sudi akan menggunakan kewibawaannya untuk meredakan kemarahan dari kaum kerabat si gadis dan menyarankan mereka untuk menerima kembali mereka berdua itu sebagai kerabat. Kalau ada tanda-tanda keluarga si gadis mau menerima mereka kembali sebagai kerabat, maka keluarga si laki-laki akan mengambil inisiatif untuk mengunjungi keluarga si gadis. Penerimaan pihak keluarga si gadis untuk berbaikan kembali dalam bahasa Bugis disebut maddecengan (bahasa Bugis) atau abannji (bahasa Makasar).

Kawin lari biasanya tidak terjadi karena mas kawin (soppa atau surang) yang tinggi, melainkan karena belanja perkawinan yang tinggi. Mas kawin itu besar kecilnya sesuai dengan derajat sosial si gadis yang dipinang. Mas kawin yang dihitung berdasar jumah tertentu tersebut dapat saja berupa sawah, kebun, keris pusaka, perahu, dan sebagainya, yang semuanya mempunyai makna penting dalam perkawinan.

Rumah orang Bugis-Makassar
Rumah orang Bugis-Makassar juga digolong-golongkan menurut lapisan sosial dari penghuninya. Berdasarkan hal itu, ada tiga macam rumah, yaitu:

  1. Sao-raja (bahasa Bugis) atau Balla lompo (bahasa Makassar), adalah rumah yang didiami oleh keluarga kaum bangsawan. Rumah-rumah ini biasanya mempunyai tangga dengan alas bagian bawah dan atap di atasnya (sapana), dan mempunyai bubungan yang bersusun tiga atau lebih.
  2. Sao-piti’ (bahasa Bugis), atau Tarata’ (bahasa Makassar), bentuknya lebih kecil, tanpa sapana dan mempunyai bubungan yang bersusun dua.
  3. Bola (bahasa Bugis), atau Balla (bahasa Makassar), merupakan rumah rakyat pada umumnya. Semua rumah Bugis-Makassar tradisional, mempunyai suatu panggung di depan pintu masuk di bagian atas dari tangga.
Bentuk Desa
Desa merupakan gabungan sejumlah kampung lama. Satu kampung lama terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10 sampai 200 rumah yang berderet-deret, menghadap ke selatan atau barat. Diusahakan agar rumah dibangun dengan membelakangi sungai. Pusat kampung adalah suatu tempat keramat (posisi tana) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan kadang-kadang dengan suatu rumah pemujaan atau saukang. Setiap kampung selalu ada langgar atau masjidnya.


  • Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang matowa (jannang, lompo’ toddo) dengan dua pembatu yang disebut sariang atau parennung. 
  • Gabungan kampung disebut wanua (bahasa Bugis) dan pa’rasangan atau bori’ (bahasa Makassar). 
  • Pimpinan wanua disebut arung pailili’ atau sullewatung (bahasa Bugis) dan gallarang atau karaeng (bahasa Makassar). 
  • Sekarang dalam struktur tata pemerintahan negara Republik Indonesia, wanua menjadi kecamatan.

Rakkeang (bahasa Bugis) atau Pammakkung (bahasa Makassar), 
adalah bagian atas rumah di bawah atap, yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan dan untuk menyimpan benda-benda pusaka.

Ale-Bola (bahasa Bugis) atau Kalle-balla’ (bahasa Makassar), 
adalah ruang tempat tinggal, yang terbagi ke dalam ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, untuk tidur, untuk makan dan untuk dapur.

Awasao (bahasa Bugis) atau Passiringan (bahasa Makassar), 
adalah bagian di bawah lantai panggung, dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan untuk kandang ayam, kambing dan sebagiannya. Pada zaman sekarang, bagian bawah ini sering ditutup dengan dinding, dan sering dipakai untuk tempat tinggal manusia pula.

3. Sistem Pengetahuan

  • Sebagai nelayan, mereka sudah memiliki pengetahuan tentang perbintangan untuk menentukan arah, dan pengetahuan alam tentang arah angin
  • Sebagai nelayan atau pelaut, mereka sudah memiliki pengetahuan bagaimana membuat perahu, bahannya, kayu apa yang harus dipergunakan dan sebagainya.
  • Pengetahuan tentang kelautan, kapan mereka harus berangkat melaut atau kembali ke daratan.
  • Mereka menggunakan perahu-perahu kecil untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari, 

perahu-perahu penamaannya antara lain:

  • Panjala, perahu khas Bugis dengan panjang 8 meter dan lebar 2 meter
  • Jolor, panjangnya 6 meter dan lebarya 1,5 meter
  • Pinisi berasal dari perahu Padewakkang, perahu utama suku Bugis pada abad ke -16. 
Perahu jarak jauh Pinisi baru ada pada permulaan abad ke-19. Putera mahkota kerajaan Luwuk yang bernama Sawerigading, tokoh legendaris dalam Lontarak I La Galigo diyakini yang pertama kali menggunakan perahu yang berukuran besar.

4. Sistem Teknologi

Sebagai suku bangsa pelaut, mereka telah mampu menciptakan teknologi pelayaran yang sesuai dengan alam lingkungan kelautan, perahu-perahu layar ciptaan mereka yang terkenal adalah pinisi dan lambo. Kedua tipe perahu ini telah teruji kemampuannya mengarungi perairan Nusantara dan telah berlayar sampai ke Srilangka dan Filipina untuk dipakai berdagang.

Pinisi adalah kapal layar tradisional khas Indonesia yang berasal dari Suku Bugis dan Makasar Umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau. Perahu yang mereka gunakan dibuat oleh satu komunitas tukang perahu dari Kecamatan Bontohari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Kondisi geografis daerah ini berbeda dengan kecamatan lain di sebelah utara dan bagian barat Bulukumba. Di kecamatan ini sebagian besar tanahnya terdiri dari bukit kapur gersang dan hanya ditumbuhi padang rumput dan semak belukar. Sangat sedikit tanah yang dapat dijadikan lahan pertanian. Itulah sebabnya kebanyakan penduduk daerah ini memilih pekerjaan di sektor kebaharian, sebagai profesi mereka yaitu bertukang perahu dan pelaut. Para pembuat perahu ini adalah orang-orang Ara dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu.

Pembuatan perahu pinisi dilakukan di sebuah galangan kapal sederhana yang disebut bantilang. Orang yang sangat berperan dalam pembuatan pinisi adalah punggawa (kepala tukang atau tukang ahli). Ia dibantu oleh sawi (tukang lainnya) dan calon sawi. Selain itu, dibantu juga oleh tenaga lain, sehingga secara keseluruhan melibatkan puluhan orang

5. Sistem Ekonomi

Penduduk Sulawesi Selatan pada umumnya adalah petani dan nelayan, juga pedagang, pegawai pemerintah mau pun swasta. Mereka menanam padi dan palawija secara bergantian di sawah. Orang Bugis dan Makassar yang tinggal di daerah pantai, mencari ikan merupakan mata pencaharian yang sangat penting. Mereka menangkap ikan dengan perahu layar. Sebagai nelayan setidaknya sejak tahun 1650 mereka secara teratur berlayar ke perairan Australia sebelah utara untuk menangkap teripang, yang sesudah diasapi dijual kepada tengkulak untuk di ekspor ke China. Banyak orang dari Wajo serta Bulukumba yang menghasilkan tenunan sarung sutra.

6. Sistem Religi

Jaman Pra – Islam
Religi orang Bugis dan Makassar dalam zaman Pra-Islam, seperti yang tampak dari Sure’ Galigo, telah mempunyai suatu kepercayaan kepada satu dewa yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama seperti:

  • Patoto-e (Dia Yang Menentukan Nasib), 
  • Dewata Seuwa-e (Dewa Yang Tunggal), 
  • Turie a’rana (Kehendak Yang Tertinggi). 

Sisa-sisa kepercayaan lama seperti ini masih tampak pada orang To Lotang di Kabupaten Sidenrang-Rappang dan pada orang Amma-Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba.

Sisa kepecayaan lama itu juga terlihat dengan adanya kelompok orang yang disebut Bissu, yaitu pendeta Bugis Pra-Islam, sosok yang menampung dua elemen jender manusia di tubuhnya. Ada referensi yang mengatakan mereka adalah transjender, lelaki yang memakai baju perempuan, tetapi ada juga yang menyebut mereka hermaprodit.

Bissu adalah calabai, ia tak boleh berhubungan seks, harus menjaga kesucian karena ia adalah penghubung manusia dengan dewa. Penampilannya feminin-maskulin, dengan tata rias lengkap seperti perempuan, tetapi membawa badik.

Konon saudara kembar Sawerigading, yaitu We Tanriabeng, adalah seorang Bissu. Pada zaman DII/ TII, mereka adalah sasaran tembak kelompok Kahar Muzakkar yang menganggap Bissu sebagai penyembah berhala. Hal yang sama terulang tahun 1965 karena Bissu dianggap tak beragama.

b. Jaman Islam
Saat agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17, ajaran tauhid dalam Islam mudah dipahami oleh penduduk yang telah percaya kepada Dewa Yang Tunggal dalam I La Galigo. Proses itu dipercepat dengan kontak terus-menerus dengan pedagang Melayu yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan orang Bugis dan Makassar ke negeri lain yang sudah beragama Islam.

Hukum Islam atau Syari’ah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi Sara’ sebagai unsur pokok dan kemudian menjiwai keseluruhannya. Unsur dari kepercayaan lama seperti pemujaan dan upacara bersaji kepada roh nenek moyang atau attoriolong, pemeliharaan tempat keramat atau sukung, upacara turun ke sawah, upacara mendirikan dan meresmikan rumah dan sebagainya, semuanya dijiwai atau dirasuki oleh konsep-konsep dari agama Islam.

Dalam sistem kerajaan Bugis-Makassar, sampai kerajaan itu menjadi swapraja di bawah kekuasaan pemerintah jajahan Hindia-Belanda, sara’ itu disusun menurut organisasi ade’ dan berkembanglah suatu pembagian lapangan di mana sara’ mengatur kehidupan kerohanian dan ade’ mengatur kehidupan keduniawian dan politik negara. Dalam tiap-tiap negara swapraja diadakan seorang pejabat sara’ tertinggi yang disebut Kadhi.

Dalam abad ke-20 terutama karena pengaruh gerakan pemurnian ajaran agama Islam, seperti gerakan Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian dari panngaderreng itu sebagai syirk, tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam

c. Keanekaan Agama
Sebagian besar penduduk suku Bugis dan Makassar adalah pemeluk agama Islam, juga ada yang memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Protestan atau Katolik umumnya terdiri dari orang Maluku, Minahasa, dan orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota, terutama Ujung Pandang.

Dakwah Islam dilakukan oleh organisasi Islam yang amat aktif seperti Muhammadiyah, Darudda’wah Wal Irsjad, partai-partai politik Islam dan Ikatan Mesjid dan Mushalla dengan pusat Islamnya di Ujung Pandang. Kegiatan Misi Katolik dan Penyebar Injil juga ada di Sulawesi Selatan

d. Upacara Adat
Upacara adatnya antara lain:

  • Prosesi Madduik, menjaga kelestarian dan keutuhan rumah adat, diiringi dengan kesenian masyarakat karampuang seperti Mappadekko, Elong Poto, Buruda’ dan Sikkiri
  • Ma’Rimpa Salo (‘Menghalau ikan di sungai’) Manivestasi dari rasa syukur atas keberhasilan panen ikan dan panen padi
  • Ritual Palili, sebagai tanda mulai mengerjakan sawah

7. Kesenian

Makanan Khas:

  • Cotto Makassar, terbuat dari isi perut dan daging sapi. Dihidangkan dengan ketupat
  • Sup konro: daging sapi dengan kuah yang diberi keluwak. Dimakan dengan ketupat
  • Es Pallu Butung: Pisang dipotong dimasak dengan santan, tepung , gula pasir, vanili dan sedikit garam. Disajikan dengan es serut dan sirop merah (sirop pisang Ambon).
  • Barongko: makanan penutup yang dibuat dari pisang kepok, ditambah buah nangka dan kelapa muda, yang dibungkus dengan daun pisang dan dikukus.
Tarian

  • Tari Gandrangbulo: berbentuk teater tradisional
  • Tari Pakarena: menggambarkan kisah mistis perpisahan antara penghuni boting langi (kahyangan) dengan penghuni boting lino (bumi) pada jaman purba. Sebelum detik-detik perpisahan, penghuni boting langi mengajari penghuni boting lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak, berburu, lewat gerakan tangan dan kaki. Dahulu Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana, namun dalam perkembangannya tari ini lebih memasyarakat.
  • Tari Patenun: menggambarkan cara menenun kain sutera
  • Tari Paraga: dimainkan oleh anak-anak remaja untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan bola yang terbuat dari rotan. Permainan ini juga untuk menarik perhatian gadis-gadis remaja.
Permainan tradisional:
Assanto’ (Makassar), Massanto’ (Bugis), Maggalanto’ (Bugis-Soppeng). Seni menunggang kuda ala anak-anak (yang berumur antara 8-12 tahun). Permainan ketangkasan ini menujukkan cara berburu atau berperang dengan menunggang kuda.

Pakaian Tradisional
Pria

  • Songko’ure cak: topi sebagai simbol status sosial
  • Upa sa’be (sarung sa’be)
Wanita

  • Baju bodo
  • Lipa sa’be (Satrung sa’be), terbuat dari sutera
  • Perhisan pada kepala, dan gelang
Senjata tradisional: 

  • Badik Sari
  • Badik Makassar: bilah pipih, battang (perut) buncil dan tajam, ujung runcing
  • Badik Bugis: bilah pipih , ujung runcing dan agak melebar

Catatan :

  • Sistem budaya orang Bugis – Makassar terkandung dalam legenda I La Galigo
  • Falsafah hidupnya terkandung dalam konsep Siri’ Na Pacce’, Sikapatau
  • Kultur haji juga mempengaruhi sistem sosial masyarakatnya
  • Sebagai pelaut yang tangguh mereka menguasai ilmu kelautan dan teknologi perkapalannya
  • Perekonomiannya sebagian besar ditopang oleh mata pencahariannya yang ada hubungannya dengan kelautan

Sumber:
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA, Oktober 2011, Dr. Woro Aryandini, SS, MSi dan tim

No comments: