twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Friday, December 4, 2015

SEMANGKUK NASI DARI TORAJA

Petani padi di Batutumonga
sumber: kartitiani.wordpress.com
Tulisan ini semoga bermanfaat kami kutip dari sumber : kartitiani.wordpress.com. selamat membaca :)
Batutumonga, 1100m dpl, demikian tinggi tempat ini. Motor dari rental yang saya pinjam dari Rantepao, pusat kota, membawa saya ke Desa Batutumonga, Kecamatan Sesean, Kabupaten Toraja. Sebuah warung kopi sederhana yang menghadap kemewahan hamparan sawah bertingkat. Teknik bertanam awalnya bukan dipersembahkan untuk mata yang memandang, tapi siasat petani untuk menjawab lahan miring agar tetap bisa ditanami padi. Tapi pemahatan bala batu (terasering) yang dilakukan petani memberikan pemandangan yang keindahannya hanya bisa disaksikan langsung. Bahkan piksel kamera tak cukup mampu menyimpan dengan tepat benar.

Tana Toraja terkenal dengan sistem bertanam padi tradisional. Mulai dari pengolahan tanah tanpa mesin (yang kini sudah bergeser), pupuk tanpa pupuk kimia sintetis dan masih menyimpan padi di lumbung padi. Bangunan lumbung padi yang bersanding dengan tongkonan (rumah khas Toraja) inilah yang menjadi ikon lokasi ini.


padi kutu`, dipetik dengan ani-ani
sumber: kartitiani.wordpress.com
Benih dari lumbung sendiri
“Kami menanam padi hanya dua kali masa tanam per tahun,” kata Yosep, salah satu petani padi yang saya temui di Batutumonga. Selain karena alasan musim, padi yang digunakan petani merupakan varietas lokal yang benihnya diambil dari panen sebelumnya. Petani Toraja tidak perlu membeli benih kemasan. Soal penurunan kualitas benih sebagaimana yang dikhawatirkan oleh pengusaha benih, di Toraja tidak berlaku. Karena benih yang dihasilkan memang galur murni, tidak mengalami penyerbukan silang (cross breeding) karena tidak ada varietas lain di tanah yang sama.

Rata-rata umur padi lokal 5 bulan baru bisa panen. Bandingkan dengan benih padi hibrida yang berumur 3 bulan, sehingga satu tahun bisa tanam 4 kali. Hanya saja, benih padi lokal ini tidak membutuhkan pupuk kimia sintetis sebagaimana dibutuhkan padi hibrida. Padi lokal cukup makan dari pupuk kandang yang dihasilkan oleh tedong (kerbau) dan babi, ternak yang banyak di Toraja. Tedong merupakan syarat utama upacara, selain babi.

“Dulu pernah ada tahun 1970an yang memberi bantuan pupuk, tapi malah bikin padi kami puso. Makanya kami pakai pupuk kandang saja,” tambah Yosep.

Cara menanam padi sama dengan penanaman padi di lahan basah lainnya. Benih disemai menjadi bibit di pantaanakan (area penyemaian) lantas ditanam di sawah yang sudah diolah. Pengolahan tanah pun dilakukan oleh manusia atau kerbau tanpa. Traktor kini mulai digunakan untuk lahan yang datar. Setelah ditanam, perawatan cukup dengan menyiangi gulma (rumput pengganggu), mereka menyebutnya mantora’. Pestisida sintetis tidak digunakan di sini karena hama dan penyakit tidak banyak. Mungkin karena predator alami masih seimbang di sana.

Pun saat pemotongan padi, ini menarik untuk dinikmati para wisatawan, biasanya di pertengah tahun (Juni/Juli) dan Desember. Mereka memotong batang padi satu demi satu dengan rangkapan atau kalau bahasa jawa dinamai ani-ani (alat pemotong padi) yang dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengah. Terampil sekali, mulai dari anak – anak hingga orang tua yang masih kuat ke sawah melakukan panen. Padi yang sudah terkumpul, diikat lantas ditata di bakul. Padi di sini memungkinkan diikat karena varietas yang ditanam bermalai (tangkai) panjang. Misalnya pare dolo (padi hitam), pare bardi (padi putih), pare bumbungan, pare bau.

Dengan bakul, perempuan membawanya pulang untuk dijemur lantas ditata di lumbung. Hanya perempuan yang boleh masuk ke lumbung, baik menata padi maupun nanti saat mengambilnya untuk ditumbuk. Mereka masih menggunakan alat penumbuk padi dari kayu dan batu untuk mengupas gabah menjadi padi.

Menurut Yosep, semakin banyak dan semakin tua umur lumbung, maka menunjukkan semakin kaya orang itu. Orang kaya lama (to sugi’) biasanya punya lumbung yang banyak dan sudah tua. Sedangkan orang kaya baru (to kapua’) biasanya lumbungnya masih baru.

padi di tumbbuk di "issong" u/melepas sekam
sumber: kartitiani.wordpress.com
Tak lagi mencukupi
Lahirnya to kapua’ ini juga memengaruhi keberlanjutan sistem tanam padi tradisional dan juga peningkatan kebutuhan padi. “Dulu dengan sistem pertanian padi tradisional, kami sudah bisa mencukupi kebutuhan kami sendiri hingga musim panen berikutnya,” ujar Yosep. Ia mengerjakan tanah adat (pengertian tanah adat di sini adalah tanah warisan yangdikerjakan bersama-sama) seluas 2 hektar dari total tanah adat yang dimiliki keluarganya seluas 200 hektar.

Hanya saja, semakin banyak to kapua’, maka semakin sering upacara dilakukan. Baik itu upacara kematian (rambu solo’) dan upacara yang lain. Bagi masyarakat tradisional Toraja, bisa menyelenggarakan upacara adalah menaikkan prestis. Upacara yang menelan biaya milyaran itu awalnya hanya bisa dilakukan oleh to sugi’. Tapi saat banyak generasi muda Toraja merantau dan menjadi sukses, mereka pulang sebagai to kapua’ yang bisa melakukan upacara. Di sinilah kebutuhan tedong, babi dan beras pun meningkat.

“Sekarang kami membeli beras juga untuk makan, tapi kalau untuk upacara masih pakai padi lokal,” terang Yosep yang kemudian mengantar saya menunjukkan lumbung – lumbungnya. Dengan motor, saya melanjutkan perjalanan naik lebih tinggi ke kaki Gunung Sesehan, tempat kopi Toraja ditumbuhkan alam. Meninggalkan keindahan bala batu yang menyimpan pergulatan senyap to sugi’ dan to kapua’.

sumber:
PERTANIAN TRADISIONAL: SEMANGKUK NASI DARI TORAJA
kartitiani.wordpress.com

No comments: