twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Friday, December 4, 2015

WARGA TIONGHOA TAK TERTULIS DI BUKU SEJARAH


(Foto: Istimewa-Majalah Detik)

Kiprah para warga Tionghoa mengangkat senjata saat perang kemerdekaan Indonesia adalah nyata. Sayangnya, kisah mereka tak pernah tertulis dalam buku-buku sejarah di sekolah. 

Absennya kiprah para pejuang Tionghoa dalam buku sejarah di sekolah ini memunculkan anggapan bahwa masyarakat dari etnis Tionghoa cuma berpangku tangan dan menjadi penonton pada era revolusi fisik. 

Sekretaris Jenderal Legiun Veteran Republik Indonesia Marsekal Muda (Purnawirawan) FX Soejitno mengungkapkan, kiprah masyarakat etnis Tionghoa dalam ketentaraan di Indonesia sejatinya sudah ada sebelum perang kemerdekaan dan selama perjuangan merebut kemerdekaan. Sebelum Indonesia merdeka, terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda, banyak warga keturunan Tionghoa yang bahu-membahu bersama pejuang Indonesia melawan penjajah.

Kiprah serupa terjejak menjelang dan pada awal kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan, banyak anggota masyarakat keturunan Tionghoa yang bergabung dalam laskar pemuda pejuang. 

“Karena, sesaat setelah proklamasi, kita kan belum memiliki tentara. Jadi badan-badan perjuangan yang mempertahankan kemerdekaan itu ya laskar-laskar pemuda,” tutur Soejitno kepada Majalah Detik, yang menemui di kantornya, gedung Balai Sarbini, Jakarta.

Ketika pemerintah resmi membentuk tentara, seperti halnya anggota laskar yang lainnya, tidak sedikit dari anggota laskar keturunan Tionghoa yang memilih kembali menjadi masyarakat sipil atau profesi sebelumnya. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang bergabung dalam institusi tentara.

Peluang warga keturunan Tionghoa menjadi tentara, Soejitno melanjutkan, juga tidak pernah tertutup atau ditutup. Seperti suku-suku lain di Indonesia, mereka memiliki hak yang sama. 

“Sebab, di dunia militer, baik tentara maupun polisi, tidak ada satu pun aturan atau undang-undang yang menyebut larangan bagi suku atau ras tertentu menjadi anggotanya,” kata Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional pada 1993-1995 itu.

Dia mencontohkan pengalamannya saat masuk Akademi Angkatan Udara pada 1965. Saat itu, dari sekian puluh ribu pendaftar, yang diterima sekitar 100 orang. Dari jumlah tersebut, empat orang di antaranya adalah pemuda keturunan Tionghoa. Ia menduga minimnya minat masyarakat keturunan Tionghoa masuk menjadi tentara lebih karena kesejahteraan yang kurang menjanjikan ketimbang menjadi pengusaha. 

“Jangankan masuk ke tamtama atau bintara, gaji perwira tentara itu lebih kecil dibanding berbisnis,” ujar mantan asisten KSAU itu.

Namun Ivan Wibowo, pengacara yang aktif di lembaga Jaringan Tionghoa Muda, punya pandangan berbeda. Minimnya minat warga Tionghoa masuk TNI-Polri karena memang ada semacam kebijakan tak tertulis bahwa profesi tersebut, termasuk pegawai negeri sipil, memang tertutup untuk mereka. Hal ini terkait dengan wacana yang sempat mengemuka dalam Seminar Angkatan Darat II pada 1966, yang menganjurkan penggantian istilah Tionghoa dengan Cina. 

“Padahal resminya tak pernah ada peraturan yang melarang,” ujarnya.

Kalaupun di era Soekarno terdapat rekrutmen besar-besaran dalam ketentaraan yang diikuti banyak orang Tionghoa, itu karena ada Operasi Dwikora (konflik dengan Malaysia) dan Trikora (pembebasan Irian Barat) serta berbagai pemberontakan di seluruh Nusantara, mulai Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, Perjuangan Rakyat Semesta, sampai Republik Maluku Selatan. Karena negara butuh banyak tentara, setiap calon sarjana, apalagi dokter, dokter gigi, apoteker, dan insinyur, secara otomatis harus ikut seleksi jadi tentara.

“Periode ini mungkin adalah periode di mana orang Tionghoa paling banyak menjadi tentara karena dimobilisasi melalui gelar akademis,” ujar Ivan.

Tapi pasca-Gerakan 30 September 1965 dan ketika rezim Orde Baru berkuasa, yang terjadi kemudian adalah pembatasan-pembatasan, seperti tidak diperbolehkannya penggunaan aksara Cina, pelarangan sekolah Cina, dan pengetatan seleksi pelajar Tionghoa yang akan masuk universitas.

Meski begitu, di era sekarang, Ivan berharap warga keturunan Tionghoa yang memang benar-benar berminat menjadi tentara sebaiknya mendaftar dan mengikuti ujian secara fair. Sebaiknya, ujarnya, tidak langsung berprasangka bahwa mereka akan dipersulit atau dilarang masuk tentara-polisi. 

“Kalau memang tidak ada yang diterima, baru pantas protes. Kalau sudah diterima, tentu harus berprestasi. Minimal harus paling berani di medan perang. Bintang itu diperebutkan, bukan diberikan,” ujarnya.

*) Isi dari artikel ini sudah dimuat dalam Majalah Detik Edisi 114 yang terbit 3 Februari 2014
sumber

No comments: