Rumah Tradisional Suku Batak Toba
1. Sejarah Suku Batak Toba
Toba termasuk dalam Suku Bangsa Batak. Suku Batak secara umum dibedakan menjadi 6 etnik grup, yaitu : Toba, Karo, Angkola, Mandailing, Pakpak atau Dairi dan Simalungun.
Rumah Adat Batak Toba, sumber Pesona Travel |
Kelompok suku Batak berdiam di Propinsi Sumatera Utara. Menurut pendapat para antropolog dan sejarah, asal usul suku batak Toba tidak jauh berbeda dengan suku-suku lain di Kepulauan Nusantara yaitu berasal dari migrasi zaman Neolithikum dan Megalithikum.
Secara khusus, menurut (Cunningham, 1958 dalam Fitri, 2004, p.21) sejarah Suku Batak dapat dibagi menjadi 3 periode yaitu :
- pre-contact isolation, yaitu masa dimana Suku Batak masih hidup terisolasi pada tahun 2000 – 1600 SM;
- pre-western contact, yaitu masa sebelum terjadi kontak dengan Bangsa Barat pada tahun sebelum 1600 M; dan
- post-western contact, yaitu masa setelah terjadi kontak dengan Bangsa Barat hingga terbentuknya pemerintahan Indonesia .
Periode tersebut membawa perubahan pada cara hidup dan rumah tinggal suku Batak. Sebelum masa kolonial di kepulauan Nusantara, kehidupan suku Batak Toba masih bersifat kesukuan dan bercocok tanam. Setelah masa kolonial dan pemerintahan Indonesia terbentuk, terjadi pergeseran dalam bidang ekonomi dan budaya. Perekonomian tidak lagi didasari kehidupan agraris dan tergantung pada hasil bumi. Lahan pertanian pun mulai beralih fungsi. Pada akhirnya suku Batak tidak lagi tinggal di desa-desa adat dan lebih menyukai rumah tinggal seperti gaya yang dibawa oleh pemerintahan kolonial. Akibatnya, banyak desa-desa batak yang sepi bahkan hilang, rumah-rumah tradisional yang tidak lagi dihuni dan rusak.
2. Lokasi Topografi, Iklim Wilayah Batak Toba.
Suku Batak Toba berdiam di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir, meliputi Kabupaten Toba Samosir sekarang yang wilayahnya meliputi Balige, Laguboti, Parsoburan, dan sekitarnya. Menurut Fitri (2004), Berdasarkan informasi yang lebih kuno, wilayah Batak Toba dapat disebut juga sebagai Batak pusat, hal ini karena lokasinya yang berada di tengah-tengah sub-etnis suku Batak yang lainnya.
Kondisi topografi wilayah sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir sebagian merupakan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 300-1500 meter diatas permukaan air laut. Kondisi iklim merupakan iklim tropis lembab dengan curah hujan yang tinggi.
3. Sistem Kekerabatan Batak Toba
Suku Batak terkenal segabai suku yang menggunakan nama keluarga sebagai nama belakang yang disebut sebagai marga. Marga diturunkan dari keturunan laki-laki atau sistem patrilineal dan dengan adanya marga memungkinkan untuk melacak nenek moyang dan asal usulnya. Menurut Fitri (2004), marga menjadi prinsip dasar dalam 3 sistem kekerabatan yang disebut Dalihan Natolu, yaitu:
- Hula-hula yaitu keluarga dari pihak istri.
- Dongan sabutuha yang secara literal berarti teman satu rahim, berarti anggota keluarga dari garis keturunan laki-laki atau ayah, dengan demikian semua pria memiliki marga yang sama
- Boru yang berarti anak perempuan, juga berarti keluarga dari pihak ibu.
4. Sistem Kepercayaan, Kosmologi dan Mitologi Batak Toba
Setelah masa Kolonial Belanda, suku Batak Toba mayoritas memeluk agama Kristen. Akan tetapi, pada masa sebelumnya, kepercayaan didasari pada adanya roh-roh nenek moyang dan penyembahan dewa-dewa tertentu. Berbagai penelitian terdahulu (Marsden 1788, Waterson 1990, Loebis 2000, Fitri 2004) banyak membahas tentang konsep pemikiran kuno suku Batak Toba tentang asal usul dan dunia tempat hidup mereka.
Seperti halnya beberapa suku kuno di Nusantara, konsep tentang dunia mistik (mythical world) dan konsep tentang asal-usul nenek moyang dan dewa-dewa, mempengaruhi konsep tentang dunia sebagai tempat hidup dan pada akhirnya mempengaruhi konnsep hunian.
Secara mitologis, suku Batak Toba mempercayai bahwa nenek moyang mereka, Siraja Batak adalah keturunan langsung dari dewa tertinggi yang disebut Debata Mulajadi Nabolon. Siraja Batak datang langsung dari langit dan mendarat di puncak gunung Pusuk Buhit. Akibatnya suku Batak Toba menganggap Pusuk Buhit sebagai pusat dari dunia dan menjadi akses menuju ke dunia atas (Loebis, 2000). Pemikiran akan adanya dunia mistis dan pembagian dunia tersebut sangat berpengaruh pada konsep kosmologinya. Secara kosmologi, suku Batak Toba membagi dunia menjadi 3 layer: dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Dunia atas merupakan tempat bertahtanya Mulajadi Nabolon, dewa tertinggi. Dunia tengah menjadi tempat hidup manusia sedangkan dunia bawah menjadi tempat hidup bagi orang yang sudah mati, hantu dan roh-roh jahat. Konsep kosmologi yang membagi dunia menjadi 3 lapis dianggap berpengaruh pada pembagian tingkatan dalam rumah tradisional seperti pada Gambar
Seperti halnya beberapa suku kuno di Nusantara, konsep tentang dunia mistik (mythical world) dan konsep tentang asal-usul nenek moyang dan dewa-dewa, mempengaruhi konsep tentang dunia sebagai tempat hidup dan pada akhirnya mempengaruhi konnsep hunian.
Secara mitologis, suku Batak Toba mempercayai bahwa nenek moyang mereka, Siraja Batak adalah keturunan langsung dari dewa tertinggi yang disebut Debata Mulajadi Nabolon. Siraja Batak datang langsung dari langit dan mendarat di puncak gunung Pusuk Buhit. Akibatnya suku Batak Toba menganggap Pusuk Buhit sebagai pusat dari dunia dan menjadi akses menuju ke dunia atas (Loebis, 2000). Pemikiran akan adanya dunia mistis dan pembagian dunia tersebut sangat berpengaruh pada konsep kosmologinya. Secara kosmologi, suku Batak Toba membagi dunia menjadi 3 layer: dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Dunia atas merupakan tempat bertahtanya Mulajadi Nabolon, dewa tertinggi. Dunia tengah menjadi tempat hidup manusia sedangkan dunia bawah menjadi tempat hidup bagi orang yang sudah mati, hantu dan roh-roh jahat. Konsep kosmologi yang membagi dunia menjadi 3 lapis dianggap berpengaruh pada pembagian tingkatan dalam rumah tradisional seperti pada Gambar
Gambar Rumah Tradisional Suku Batak Toba yang Menggambarkan Konsep Kosmologi Sumber: Domenig (1981 dalam Fitri, 2004, p.38) |
5. Arsitektur Tradisional Batak Toba
Penelitian tentang arsitektur Batak telah banyak dilakukan semenjak bangsa Eropa mulai mendatangi tanah Batak. Perilaku dan cara hidup suku batak dan suku-suku di Sumatera telah ditulis oleh Marsden (1811). Deskripsi dan detail arsitektur batak Toba banyak dijelaskan dalam publikasi Boer (1920) serta Sargeant & Saleh (1973).
Pada penelitian Domenig (2003) banyak diulas mengenai struktur dan konstruksi rumah dan lumbung padi. Sedangkan Fitri (2004) meneliti perubahan ruang dan konsep spatial pada rumah Batak Toba dalam thesisnya dan Loebis (2000) meneliti perubahan konsep arsitektur tradisional Batak Toba. Dari berbagai publikasi dan penelitian sebelumnya, setidaknya mendefinisikan arsitektur tradisional Batak Toba terdiri dari ruma atau jabu dan lumbung padi atau sopo.
Rumah Batak Balai Toba, sumber: situsbudaya.id |
Pada penelitian Domenig (2003) banyak diulas mengenai struktur dan konstruksi rumah dan lumbung padi. Sedangkan Fitri (2004) meneliti perubahan ruang dan konsep spatial pada rumah Batak Toba dalam thesisnya dan Loebis (2000) meneliti perubahan konsep arsitektur tradisional Batak Toba. Dari berbagai publikasi dan penelitian sebelumnya, setidaknya mendefinisikan arsitektur tradisional Batak Toba terdiri dari ruma atau jabu dan lumbung padi atau sopo.
“Het Toba-Bataksche Huis” oleh D. W. N. de Boer diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J.C. Kriest dan Tjandra P. Mualim; dilampirkan dalam “Traditional Building of Indonesia” yang merupakan hasil inventaris Sargeant & Saleh, 1973.
5.1. Pola Pemukiman Batak Toba
Desa suku Batak Toba disebut juga sebagai Huta. Boer (1920) mendeskripsikan bahwa desa dikelilingi tembok semacam benteng yang terbuat dari tanah. Desa memiliki dua pintu masuk (harbangan) dan menara pengawas (hubu-hubu) di pojok benteng. Ruang terbuka di desa atau halaman berorientasi timur-barat, rumah dan sopo berdiri saling berhadapan. Ujung atap rumah menghadap selatan sedangkan ujung atap sopo menghadap utara, kedua ujung atap melindungi halaman dari sinar matahari (Gambar 2.3).
Sementara itu, hasil pengamatan Sargeant & Saleh (1973) mendapati bahwa orientasi rumah berbeda pada setiap desa, disekitar Balige, atap rumah memanjang utara-selatan, sedangkan rumah yang berada di lereng bukit, atap rumah mengikuti derajat kemiringan lereng dan di Samosir, memanjang timur-barat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada orientasi tertentu yang mengatur arah hadap desa, rumah dan lumbung padi.
Aturan yang baku dalam pola pemukiman Batak Toba adalah posisi alaman yang selalu berada ditengah, diantara jajaran jabu dan sopo. Gambaran huta yang masih asli banyak didapati dalam literatur lama. Kondisi huta di masa kini telah banyak berubah dengan kondisi halaman yang telah diperkeras atau adanya bangunan baru yang dibangun diantara jabu atau sopo.
Gambar Suasana Kampung Julu. Deretan bangunan menggunakan atap sirap. Sumber: Sargeant & Saleh (1973) |
Aturan yang baku dalam pola pemukiman Batak Toba adalah posisi alaman yang selalu berada ditengah, diantara jajaran jabu dan sopo. Gambaran huta yang masih asli banyak didapati dalam literatur lama. Kondisi huta di masa kini telah banyak berubah dengan kondisi halaman yang telah diperkeras atau adanya bangunan baru yang dibangun diantara jabu atau sopo.
Gambaran kampung di Pulau Samosir. Sebuah peti mati dari batu berdiri di tengah ruang terbuka. Sumber: Sargeant & Saleh (1973) |
5.2. Karakteristik Arsitektur Rumah Tradisional Batak Toba
Rumah Tradisional Batak Toba sering disebut juga sebagai ruma atau Jabu. Ruma atau jabu, kaya dengan simbolisasi dan berfungsi sebagai pusat mistis dari sebuah klan atau keluarga dan merupakan simbol utama dari identitas suku (Fitri, 2004). Bentuk jabu dan sopo sangat mirip. Bahkan dalam hal ukuran,
kadangkala ukuran sopo hampir sama dengan jabu. Domenig (2003) melakukan perbandingan antara konstruksi jabu dengan sopo dan menyimpulkan bahwa karakteristik sistem struktur rumah atau jabu merupakan "warisan‟ atau meniru dari sopo. Hal ini karena suku Batak Toba memiliki tradisi kuno mengubah sopo yang semula merupakan lumbung padi menjadi rumah atau jabu bila terjadi penambahan jumlah penduduk.
Selanjutnya, Domenig (2003) membagi arsitektur tradisional Batak Toba menjadi 4 tipe, yaitu:
- „Open‟ sopo, merupakan bangunan serbaguna dengan loteng tertutup dan tanpa dinding. Dapat difungsikan sebagai tempat berkumpul warga, tempat tidur tamu laki-laki atau pemuda yang belum menikah, dan lumbung padi.
- Jabu sopo, merupakan tempat tinggal permanen untuk keluarga. Secara struktur merupakan sopo yang sudah dilengkapi dinding. Tangga berada di luar dan pintu di dinding depan. Bentuk rumah ini disebut sebagai bentuk rumah yang banyak dijumpai di Samosir Sargeant & Saleh (1973). Pada Gambar dibawah, menunjukkan contoh jabu sopo. Dinding segitiga yang diberi ornamen awalnya merupakan dinding gevel sopo, sementara dinding yang tidak diberi ornamen merupakan dinding yang ditambahkan ketika sopo dirubah menjadi ruma.
Sopo yang telah diubah menjadi jabu di Sigumpar, dekat Balige. Sumber: Sargeant & Saleh (1973, p.11) |
- Ruma sisampuran, merupakan tempat tinggal permanen, pintu berada di dinding depan. Biasanya terdapat loteng dan balkon di bawah atap.
- Ruma Sitolumbea, merupakan tempat tinggal permanen. Tangga berada di bawah kolong dan pintu masuk berupa tingkap lantai. Terdapat loteng dan balkon di bawah atap.
Sargeant & Saleh (1973), mendeskripsikan sopo sebagai bangunan dengan 3 tingkat lantai (level).
Lantai tanah di kolong rumah digunakan untuk kandang ternak.
Sedangkan ruma dikenali dengan adanya tangga dan pintu tingkap di lantai, meskipun ada beberapa rumah yang memiliki tangga dan pintu masuk di depan; serta dinding yang melingkupi ruang dalam. Tinggi lantai dari atas tanah ±1.60 m dan kolong juga digunakan untuk kandang hewan ternak.
Lantai tanah di kolong rumah digunakan untuk kandang ternak.
- Lantai kedua berjarak ±1.60 m di atas tanah, merupakan lantai untuk aktivitas sehari-hari atau tempat para pemuda tidur di malam hari.
- Lantai ketiga merupakan loteng di bawah atap yang ditopang tiang kokoh yang berjumlah biasanya 6 buah, digunakan untuk menyimpan beras.
Rumah adat Batak Toba Rumah Bolon sumber : simarmata.or.id |
Sedangkan ruma dikenali dengan adanya tangga dan pintu tingkap di lantai, meskipun ada beberapa rumah yang memiliki tangga dan pintu masuk di depan; serta dinding yang melingkupi ruang dalam. Tinggi lantai dari atas tanah ±1.60 m dan kolong juga digunakan untuk kandang hewan ternak.
Tahapan membangun ruma dijelaskan dalam Boer (1920), dimulai dengan memilih kualitas kayu melalui uji suara batang kayu.
Peletakan kolom ini selaras dengan pembagian ruang dimana pemilik rumah akan tidur di pojok kanan rumah (Jabu bona) dekat perapian, sisi terpenting dari rumah ada di sebelah kanan. Setelah memosisikan dan mendirikan keempat tiang pada posisi masing-masing, selanjutnya tiang yang lainnya akan didirikan dan dijajarkan dari bagian depan rumah.
- Batang kayu yang bersuara paling jernih ketika dipukul akan diletakkan pada pojok kanan rumah, atau posisi A
- Terbaik kedua akan diletakkan pada posisi O, kemudian posisi G dan
- yang paling jelek diletakkan pada posisi H.
Peletakan kolom ini selaras dengan pembagian ruang dimana pemilik rumah akan tidur di pojok kanan rumah (Jabu bona) dekat perapian, sisi terpenting dari rumah ada di sebelah kanan. Setelah memosisikan dan mendirikan keempat tiang pada posisi masing-masing, selanjutnya tiang yang lainnya akan didirikan dan dijajarkan dari bagian depan rumah.
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_Batakhttp://marketeers.com/rumah-adat-batak-toba-sarat-akan-filosofi-hidup/
https://perpustakaan.id/rumah-adat-batak/
http://www.becaksiantar.com/2013/08/rumah-adat-batak-makna-dan-filosofi.html
http://www.bukdeinfo.com/2017/09/penjelasan-8-rumah-adat-tradisional.html
STUDI STRUKTUR DAN KONSTRUKSI RUMAH TRADISIONAL SUKU BATAK TOBA, MINANGKABAU DAN TORAJA Oleh: Esti Asih Nurdiah, ST., MT.
No comments:
Post a Comment