twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Monday, December 7, 2015

KEBUDAYAAN FLORES

A. Letak Geografis

Pulau Flores yang luas wilayahnya sekitar 14.300 km2, bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di ujung barat sebelah timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah barat gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Di sebelah barat Pulau Sumbawa, di sebelah timur Kepulauan Alor, di sebelah tenggara Pulau Timor, di sebelah barat daya terdapat Pulau Sumba. Di sebelah selatan Laut Sawu dan di sebelah utaranya Pulau Sulawesi.

Flores memiliki beberapa gunung berapi yang masih aktif, yaitu Gunung Egon, Ilimuda, Rerebolung, dan Lewatobi.

Nama pulau Flores mulanya berasal dari bahasa Portugis “Cabo de Flores“ yang berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan keadaan yang ada di pulau tersebut, maka lewat studi yang cukup mendalam Orinbau pada tahun 1969 mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa atau Pulau Ular. Dari sudut antropologis istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis dan kultural masyarakat Flores.

Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai etnik yang hidup dalam komunitas yang hampir ekslusif sifatnya. Masing–masing etnik menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh. Heteregonitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal–usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan hidup.

Suku bangsa Flores merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia dan Portugis. Karena Flores yang lokasinya berdekatan dengan Timor yang pernah menjadi koloni Portugis maka interaksi dengan Kebudayaan Portugis pernah terjadi melalui genetik dan budaya.

B. Sistem Budaya

Suku Flores mempunyai beberapa sifat utama antara lain:

1. Percaya Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Sebelum Agama Katolik masuk ke Flores, masyarakat sudah mengenal Tuhan Yang Kuasa yang disebut “Lera Wulan Tanah Ekan” atau Tuhan Langit Dan Bumi. Orang Flores memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat bahwa seseorang bertindak benar dan jujur sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berucap “Lera Wulan Tanah Eka no-on Mat an”, Tuhan mempunyai mata yang berarti Tuhan mengetahui, Ia Maha Tahu, Ia Maha Adil, Ia akan bertindak adil. Pada peristiwa kematian, orang biasanya berkata “Lera Wulan Tanah Ekan Gusti Ma - en” Tuhan mengambil pulang milikNya. Pada perayaan syukuran sebelum panen, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk mempersembahkan sebagian hasil panen sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan sebelum menikmati hasil panen tersebut.

2. Kejujuran dan Keadilan
Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai–nilai keutamaan lainnya yang dijunjung tinggi seperti kejujuran dan keadilan. Sifat kejujuran ini ditunjukkan dengan sikap hormat terhadap hak milik orang lain yang tertanam sangat kuat di benak orang Flores. Pencurian termasuk pelanggaran berat, pada jaman dahulu dikenakan hukuman mati, saat ini dikenai sanski adat berupa denda yang sangat besar

3. Penghargaan yang tinggi terhadap adat dan upacara ritual
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Flores Timur, ada empat aspek yang memainkan peranan penting yaitu episode dalam mitos asal–usul, tiga simbol ritual lainnya yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang (tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian orang Flores memiliki penghargaan yang tinggi terhadap adat istiadat dan upacara ritual warisan nenek moyang.

Mitos cerita asal–usul dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas dan kekuasaan. Melalui episode dalam mitos asal–usul itulah legitimasi magis leluhur pertama dapat diperoleh. Mitos asal-usul yang sering dikeramatkan itu biasanya diceritakan kembali kepada kesempatan ritual formal seperti membangun relasi perkawinan, upacara penguburan, sengketa tanah, persiapan perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu, dan yang semacam itu.

Nuba Nara atau altar/batu pemujaan merupakan simbol kehadiran Lera Wulan Tanah Ekan; ada kepercayaan bahwa Lera Wulan turun dan bersatu dengan Tana Eaaj melalui Nuba Nara. Korka merupakan pusat pengharapan dan penghiburan.

4. Rasa Kesatuan Orang Flores
Di Flores sebetulnya tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian genealogis, historis maupun politik. Keterikatan mereka lebih disebabkan faktor persamaan tempat tinggal atau kampong, sekalipun demikian pada organisasi kampong selalu dibangun dengan semangat dan kohesi sosial yang berpangkal pada kerangka genealogis.

Masyarakat Flores bisa menghargai perbedaan politis, agama, dan etnis bila mereka telah diikat dalam rasa kesatuan tempat tinggal. Rasa kesatuan seperti ini kadang–kadang membuat Orang Flores menjadi bersifat etnosentris.

C. Sistem Sosial

Dalam masyarakat sub–sub bangsa Flores kuno ada suatu sistem stratifikasi sosial yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu adalah keturunan dari klan–klan yang dianggap masih mempunyai sifat keaslian atau senioritas.

Ada tiga lapisan, pada orang Manggarai yaitu 
  1. lapisan Kraeng, 
  2. lapisan Ata Lehe dan 
  3. lapisan budak. 
Pada orang Ngada disebut 
  1. lapisan Gai Meze, 
  2. lapisan Gai Kisa dan 
  3. lapisan budak.
Lapisan Kraeng dan Gai Meze 
adalah lapisan orang bangsawan yang secara khusus terbagi lagi dalam beberapa sub lapisan tergantung kepada sifat keaslian dari klan–klan tertentu yang dianggap secara historis atau menurut dongeng mitologi telah menduduki daerah tertentu lebih dahulu dari klan–klan yang lain.

Lapisan Ata Lehe dan Gai Kisa 
adalah lapisan orang biasa. Orang Ata Lehe biasanya bekerja sebagai petani, tukang atau pedagang walau pun banyak bangsawan yang dalam kehidupan sehari–hari hanya menjadi petani.

Lapisan budak 
(yang sekarang tidak ada lagi), terdiri dari:
  • Orang yang ditangkap dalam peperangan, baik dari sub suku sendiri maupun dari suku lain atau pulau lain.
  • Orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar kembali hutangnya.
  • Orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi budak karena pelanggaran adat.

Secara lahiriah perbedaan gaya hidup antara lapisan–lapisan sosial itu tidak ada, tetapi dalam sopan santun pergaulan antara mereka ada perbedaan. Di samping itu para bangsawan mempunyai hak–hak tertentu dalam upacara adat. Pada masa sekarang pendidikan sekolah telah menyebabkan timbulnya lapisan sosial baru yang terdiri dari para guru, pegawai, atau pendeta, termasuk para intelektual.

Klan
disebut juga kerabat luas atau keluarga besar, klan merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi). Klan adalan sistem sosial berdasarkan ikatan daerah atau keturunan yang sama, umumnya terjadi pada masyarakat unilateral di mana klan disebut fam, antara lain : 
  • Fernandes, 
  • Wangge, 
  • Da Costa, 
  • Leimena, 
  • Kleden, 
  • De Rosari, 
  • Parera.

D. Kebudayaan Fisik

Bahasa
Penduduk Flores tidak merupakan satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang seluruhnya seragam. Paling sedikit ada delapan sub suku yang mempunyai logat bahasa yang berbeda, yaitu sub suku Manggarai, Riung, Ngada, Nage-kio, Ende, Sio, Sikka dan Sub Suku Larantuka.

Sistem Organisasi Sosial
Pembukaan ladang di hutan, dilaksanakan oleh para warga laki–laki dari sejumlah keluarga luas. Di berbagai tempat di Flores masyarakat sudah mulai bekerja sama membangun irigasi untuk bercocok tanam di sawah, namun demikian bercocok tanam di ladang masih banyak dilakukan.

Sistem Pengetahuan
a. kalender pertanian sendiri
berupa: 
  • Bulan Wulan Weran – More Dru (Oktober – November) untuk membersihkan ladang dan menanam. 
  • Bulan Bleko Gete – Bleko Doi – Kowo (Januari, Februari, Maret) untuk menyiangi (padi, jagung) dan memetik. 
  • Balu Goit – Balu Epan – Blepo (April – Juni) memetik dan menanam palawija / kacang-kacangan. Akhir kalender kerja pertanian pada Pupun Porum Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus-September)
b. perkampungan manusia ‘Pigmi’ 
perkampungan manusia ‘Pigmi’ di Dusun Rampasasa, Kabupaten Manggarai, Flores Selatan. Saat diadakan penelitian berjumlah sekitar 77 keluarga. Tinggi pria di bawah 145 cm dengan berat badan maksimum 40 kg, sedangkan wanitanya sekitar 135 cm dengan berat badan rata-rata 30 kg.

c. Varanis komodoensis 
(terutama di Pulau Rinca dan Pulau Komodo) merupakan kadal raksasa yang dilindungi di dunia.

d. Taman Nasional 
Kelimutu yang warna airnya selalu berubah

e. Upacara Iyegerek 
yaitu upacara perburuan ikan paus. Di dunia hanya tinggal di Flores dan Kanada. Di Jepang dahulu ada, tetapi sekarang sudah dilakukan dengan cara modern, bukan radisional lagi. Ikan yang ditangkap harus yang sudah tua dan jantan. Setahun hanya menengkap enam ekor (di Kanada hanya dua ekor). Dagingnya dimakan, lemaknya untuk menerangan. Pada saat penangkapan ikan paus, petani-petani di pegunungan turun ke pantai untuk menukarkan hasil ladangnya dengan daging, tulang, dan lemak ikan paus.

Sistem Teknologi
a. Orang-orang Flores dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya telah mengenal teknologi pembuatan kain tenun dan cara-cara pewarnaannya, Motifnya teutama berupa gambar binatang ternak mereka dan juga penggambaran alam lingkungannya.

b. Pola pembuatan kampung yang melingkar untuk pertahanan

Sistem Ekonomi
Tanah di Flores yang cenderung tidak subur, miskin akan sumber alam dan iklimnya yang terlampau kering menyebabkan ekonomi Flores sukar untuk dikembangkan di bidang pertanian. Namun hal ini dapat diatasi dengan upaya perbaikan teknologi bercocok tanam, teknik irigasi, cara pemupukan dan mekanisasi di bidang pertanian.

Di samping bercocok tanam, beternak merupakan mata pencaharian yang penting. Binatang piaraan yang terpenting adalah kerbau, di samping dipelihara untuk tujuan ekonomis juga untuk membayar mas kawin, untuk dikonsumsi pada upacara adat dan sebagai lambang kekayaan. Binatang piaraan lain yang penting adalah kuda, yang dipergunakan sebagai alat transportasi dan harta mas kawin.

Sistem Religi.
Agama asli masyarakat Flores pada umumnya adalah kepercayaan kepada roh nenek moyang. Roh itu dianggap menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia seperti tiang rumah, perigi, persimpangan jalan, pohon besar di halaman rumah dan yang semacam itu. Peninggalannya berupa menhir dan dolmen.

Mereka percaya adanya Dewa Tertinggi (Dewa Matahari – Dewi Bulan – Dewi Bumi). Pada orang Manggarai dewa itu disebut Mori Karaeng, sedangkan pada orang Ngada disebut Deva. Dalam dongeng mitologi orang Manggarai, Mori Karaeng itu dianggap pencipta alam beserta isinya, mengajarkan kepada manusia seni menenun dan membuat tuak. Kecuali pencipta alam dan penjaga adat Mori Karaeng juga menjadi tokoh Dewa,yang dalam ilmu antropologi disebut dewa pembawa adat atau Cultural Hero.

Upacara keagamaan yang asli menurut adat Manggarai dilakukan oleh seorang yang disebut Ata Mbeko. Ata Mbeko kadang diundang untuk memberi petunjuk atau melaksanakan upacara daur kehidupan, peresmian balai desa, kesuburan tanah dan yang berhubungan dengan pertanian. Ata Mbeko bisa diundang untuk melakukan pekerjaan dukun yaitu menyembuhkan penyakit, meramalkan nasib orang, memberi kekuatan kepada orang dengan jimat atau mengguna–gunai musuh.

Upacara penguburan dan berkabung merupakan upacara yang kompleks. Dalam agama asli dipercaya bahwa orang sesudah mati menjadi roh yang untuk beberapa hari berkeliaran di sekitar rumahnya. Lima hari sesudah kematian ada upacara ketika roh melepaskan hubungan dengan jasad yang hidup dan pergi ke alam baka tempat Mori Karaeng.

Kecuali roh nenek moyang, orang Flores juga percaya kepada makhluk halus yang menjaga rumah dan halaman, desa, dan tanah pertanian. Banyak dari makhluk halus tersebut yang dapat dihubungi dalam upacara kesuburan atau upacara pertanian.

Kesenian

Pakaian Adat
Terdapat dua macam pakaian adat, yaitu pakaian adat wanita dan pakaian adat pria. Pakaian adat wanita dilengkapai mahkota dengan berbagai bentuk subang, kalung, pending dan gelang tangan, sedangkan prianya memakai topi dengan bentuk Samero.

Tarian Adat
Antara lain;
  • Tarian Hopong: tarian dimulainya panen di ladang
  • Tari Manekat: tarian sapaan dengan pemberian sirih pinang
  • Tari Dodakado: tarian yang menggambarkan keceriaan muda mudi
  • Tarian Teotima: tarian sakral dalam rangka menyambut kaum pria dari medan perang.

Seni Beladiri
berupa larik dan pencak silat

Seni Tembikar
yang terkenal dari kabupaten Ende

Kain tenun;
Setiap suku mempunyai ragam hias/motif tenunan yang khas yang menampilkan tokoh mitos, binatang, tumbuh–tumbuhan dan gambaran tentang kekuatan alam.

Senjata 
semacam keris yang disebut Sukdu atau Sudum

Alat musik 
yang terkenal adalah Sasando.

Catatan
  • Pulau Flores yang tidak subur, miskin akan sumber–sumber alam dan iklim yang kering menyebabkan ekonomi Flores sukar untuk dikembangkan terutama di bidang pertanian. Namun dapat diatasi dengan melakukan perbaikan teknologi bercocok tanam, teknik irigasi, cara pemupukan dan mekanisasi.
  • Adanya aneka ragam penduduk Flores menimbulkan kesukaran terhadap perencanaan pembangunan dan keseragaman kebijaksanaan dalam hal pemerintahan.
  • Persamaan agama yang dianut dapat menjadi salah satu faktor pemersatu
  • Sikap mental yang masih dipengaruhi oleh adat istiadat, antara lain adanya upacara perkawinan dengan belis yang tinggi, dan upacara kematian yang memerlukan penyembelihan ternak . Perubahan tersebut dapat melalui media pendidikan yang seimbang antara pendidikan umum dan pendidikan agama.
Sumber:
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA, Oktober 2011, Dr. Woro Aryandini, SS, MSi dan tim

No comments: