Gbr cover Buku: Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki |
Di masa lalu di bumi Celebes Nusantara, hiduplah kaum yang dipercaya sebagai titisan Dewata. Mereka bukan pria, bukan pula wanita. Mereka adalah kaum bissu, kaum yang menjadi pemimpin spiritual dari era Bugis kuno. Kaum trans bergender non-biner yang mengabdi sebagai imam besar populasi Bugis setempat.
Keberadaan mereka tertera dalam naskah La Galigo.Kitab tertua kebudayaan Bugis, yang menyatakan peran penting Bissu untuk keberlangsungan kerajaan, terutama di era pra-Islam.
Bissu merupakan jejak budaya Bugis pra Islam yang masih tersisa hingga kini. Fungsi Bissu pada zaman kerajaan adalah sebagai pendeta agama bugis kuno pra-Islam.
Seorang Bissu dipandang sebagai percampuran manusia dan dewa. Mereka mempraktikkan ritual spiritual ataupun penyembuhan saat upacara pernikahan serta menjelang musim panen. Sayangnya, pandangan positif terhadap Bissu itu mulai berubah beberapa dekade lalu, dan kini hampir punah.
Kata “Bissu” itu sendiri berasal dari “bessi”, yang berarti bersih. Waria yang menjadi bissu dianggap suci atau tidak kotor. Disebut demikian karena Bissu tidak berpayudara dan tidak mengalami menstruasi.
Gbr ilustrasi, sumber musabab.com |
Selain waria, ada pula “Bissu Perempuan”, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami masa menopause. Panggilan spiritual menjadi bissu yang kemudian mengangkat status sosial dan derajat mereka, paling tidak dalam konteks kekinian mereka “bukan sembarang waria, tetapi waria sakti”.
Pada masa pra-Islam, suku Bugis merujuk pada kaum bissu sebagai elemen permanen agama. Bissu dianggap sebagai pendeta Bugis, pemuka adat, dan sosok yang agung sebab mampu mengalami dua alam (alam makhluk dan alam roh) serta memiliki dua gender manusia (perempuan dan lelaki).
Secara fisik Bissu adalah laki-laki, tetapi lemah lembut dalam bertutur dan memiliki kemampuan-kemampuan lebih, seperti meramal, mengobati, dan kebal terhadap senjata tajam. Sementara sebagian orang mengatakan bahwa Bissu sama dengan waria/banci. Di dalam bahasa Bugis disebut calabai atau kawe-kawe yang berarti waria (wanita-pria, wadam).
Untuk menjadi Bissu para calabai tersebut harus melewati seleksi dan upacara khusus. Tidak semua waria bisa menjadi Bissu, tetapi semua waria punya peluang untuk menjadi Bissu, dengan mempunyai bakat dan anugerah atau panggilan hati dari dewata. Pada dasarnya semua Bissu adalah waria (calabai dalam bahasa Bugis).
Seorang Bissu dalam pengertiannya sebagai orang ”suci” karena berkaitan dengan tugas yang diembannya sebagai penjaga dan pemelihara Arajang, yaitu benda-benda pusaka yang diwariskan para raja yang memerintah dalam suatu negeri atau kerajaan di Bugis dahulu.
Peran bissu pada periode pra-Islam sangat penting terutama untuk mendoakan kesuburan padi agar hasil panen baik, secara umum, bissu berperan sebagai pelaksana ritual budaya. Peran ini terkait mitos penciptaan bissu yang “dianggap sebagai bagian penting dalam menjaga keseimbangan kosmis”, hingga kini peran tersebut masih dijalankan bissu.
Bissu telah dikenal pada abad ke-9 Masehi melalui Sure’ Galigo, manuskrip anonim yang memuat kisah-kisah puitik. Sumber-sumber Portugis yang ditulis pada abad ke-16 menjelaskan identitas bissu sebagai wadam yang biasanya berperilaku homoseksual. Bissu, secara biologis bisa berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Pada umumnya, bissu bergender calabai, yakni secara biologis laki-laki namun melakukan peran dan fungsi perempuan dalam beberapa hal. Identitas gender bissu terbentuk dari aspek spiritualitas dan pemahaman terhadap tubuh.
Bissu hidup dan tinggal di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, salah satunya di Kabupaten Pangkep, sekira 60 km dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelum 2011 komunitas bissu tinggal di bola arajang (rumah tempat penyimpanan benda pusaka) di Segeri, Pangkep, bersama pemimpin bissu, Puang Matoa Saidi. Di bawah kepemimpinan Puang Matoa Saidi komunitas bissu dikenal khalayak yang lebih luas. Ia mampu membaca lontara Bugis Kuno dan menjadi penutur kronik Sure’ Galigo.
Para bissu sering diminta untuk melakukan pergelaran Ma’giri’ di peristiwa kesenian dan kebudayaan, pariwisata, hingga acara politik.
Pergelaran Ma’giri’ memperlihatkan kekebalan tubuh bissu yang mulanya berfungsi sebagai ritual untuk terhubung dengan dewata. Pergelaran Ma’giri’ kemudian mengalami pergeseran fungsi, tidak lagi sebagai ritual semata namun dijadikan komoditas hiburan dan pariwisata yang mendatangkan nilai ekonomi. Pergeseran fungsi ini mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan pada kehidupan bissu.
Komunitas Bissu sumber: jakartabiennale.net |
Setelah Puang Matoa Saidi meninggal dunia pada 28 Juni 2011, kehidupan komunitas bissu mengalami kemunduran. Komunitas bissu terpecah menjadi kelompok bissu yang dianggap “murni”, yang melaksanakan ritual Ma’palili’ dan Ma’giri’, dan kelompok bissu yang disebut tidak murni sebab telah dilepas ke-bissu–annya karena melanggar syarat sebagai bissu atau sebab tidak sepenuhnya memenuhi syarat untuk menjadi bissu.
Bissu Juleha yang ditunjuk menjadi puang matoa menolak dilantik secara resmi. Ia merasa belum siap sebab, bila telah resmi sebagai puang matoa, ia harus tinggal di bola arajang sementara tak ada jaminan dari pemerintah untuk biaya kehidupan sehari-hari. Kini bola arajang kosong tak berpenghuni dan komunitas bissu tak memiliki puang matoa.
Salah satu kelebihan komunitas bissu adalah kenyataan bahwa mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata, leluhurnya dan sesamanya. Bahasa itu kadang disebutnya sebagai Basa Ugi Galigo atau Basa torilangi’(Bahasa orang langit). Bahasa inilah yang kadang bercampur dengan bahasa bugis pasaran dalam komunikasi sehari-hari. Memang, keberadaan bissu sebagai benang merah kesinambungan adat dan tradisi bugis kuno yang masih eksis di tanah bugis hingga dewasa ini.
Bissu dalam upacara adat tidaklah berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari budaya atau tradisi yang berlaku bagi masyarakat pendukungnya. Itulah sebabnya, Bissu kadang juga memosisikan diri sebagai sanro’ atau pinati, perias pengantin, peramal (membaca tanda-tanda kehidupan seseorang yang datang kepadanya), atau sebagai traditional event organizer bagi kegiatan seni budaya pemerintah atau masyarakat yang punya hajatan.
Perbedaan bissu dengan waria kebanyakan adalah ilmu, bahasa dan kesaktian yang dimilikinya, selain cara berpenampilan dan berpakaian tentunya. Setiap waria yang telah menjadi bissu diyakini memiliki kemampuan untuk melakukan kontak dengan masa lalu dan juga masa ke depan. Menurut Saidi, untuk menjadi bissu harus ada panggilan spiritual dan hal ini tidak bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai Puang Matowa, dirinya akan mendapat isyarat akan adanya waria yang akan datang magang ke rumahnya.
Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski tidak ada yang mengajarkannya kepada mereka. Puang Lolo Bissu, Puang Upe mengaku mendapatkan tuntunan menjadi bissu sejak berusia 13 tahun. Sejak awal dia sudah menyadari kelainan yang dialaminya, dan dia mencoba untuk masuk seutuhnya ke wilayah itu. Makanya Puang Upe datang berguru kepada bissu - bissu senior ketika itu, termasuk diantaranya Puang Matoa Sanro Seke’.
Sejak zaman Bugis kuno hingga sekarang ini masih ada sebagian masyarakat Bugis yang percaya Bissu dapat menghubungkannya dengan leluhur dan mengabulkan segala hasrat keinginan atau permohonannya. Akan tetapi tidak ada lagi perhatian dari pemerintah terhadap kelangsungan hidup mereka. Tidak ada lagi galung (sawah) arajang yang menjadi sumber kehidupan sepanjang tahun. Di Segeri, kata Saidi, sawah pusaka itu sudah beralih kepemilikan dan dijadikan tambak oleh mereka yang mengklaimnya sebagai tanah warisan
Referensi :
https://jakartabiennale.net/bissu/
http://makassar.tribunnews.com/2011/06/28/tentang-bissu-saidi-pria-yang-juga-wanita
https://musabab.com/kaum-bissu-waria-titisan-para-dewa-di-sulawesi/
No comments:
Post a Comment