twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Monday, February 25, 2019

RUMAH ADAT BALI AGA

Rumah adat suku Bali Aga by cahayarumahku
Ruang sakral pada rumah adat di desa Bali Aga
Desa Bali Aga atau yang juga dikenal dengan Bali Mula merupakan perkampungan dari penduduk asli di pulau Bali, sebelum hijrahnya penduduk dari pulau Jawa ke Bali pada jaman Majapahit. Rumah adat penduduk ini memiliki keunikannya tersendiri yang membedakannya dengan rumah adat penduduk Bali Majapahit, demikian pula ruang dalamnya. Rasa sujud terhadap para leluhur dan dewa-dewi dalam kepercayaan mereka diwujudkan dengan adanya ruang sakral yang terdapat di dalam rumah adat.



Ruang sakral pada rumah adat Bali Aga belum banyak diteliti sebelumnya. Metode studi kasus yang melibatkan observasi langsung dan wawancara pada empat buah desa Bali Aga di Bali yaitu desa Pedawa, desa Tigawasa, desa Sukawana, dan desa Pinggan dilakukan untuk mengkaji pentingnya ruang sakral pada keempat rumah adat ini. Melalui analisa terhadap makna dan fungsi secara kualitatif maka didapatkan bahwa ruang sakral ini merupakan ruang yang terpenting dalam keberadaan rumah adat desa Bali Aga, yang tidak hanya berfungsi sebagai area memuja leluhur maupun dewa-dewi melainkan memiliki fungsi tambahan lainnya yang dianggap sakral.

Pendahuluan
Dokumentasi terhadap bangunan rumah Adat Bali Aga sangat penting untuk dilakukan mengingat sudah banyak terdapat perubahan pada bangunan rumah adat yang ada di Bali akibat perubahan gaya hidup serta ledakan jumlah penduduk. Terdapat 62 desa Bali Aga di Bali yang telah ada sebelum masuknya Hindu dan Budha pada jaman kerajaan Majapahit (Muler, 2011). Desa Bali Aga yang memiliki lokasi yang cukup jauh dari pusat-pusat permukiman penduduk pun sudah banyak mengalami perubahan. Sudah banyak dokumentasi maupun penelitian yang dilakukan di bidang arsitektur terhadap keberadaan rumah adat Bali Aga yang ada di Bali diantaranya yaitu: desa Buahan, desa Pinggan dan desa Sukawana telah dilakukan oleh Yudantini pada tahun 2013; desa Penglipuran oleh Widarji tahun 2014; desa Trunyan oleh Dwijendra pada tahun 2015, desa Tenganan oleh Hadi Kusuma tahun 2014; Kumurur tahun 2009; Purwantiasning tahun 2007, desa Bali Aga di daerah Bali Utara oleh Siwalatri, dkk pada tahun 2015; desa Pedawa oleh Prajnawrdhi pada tahun 2016; desa Tigawasa oleh Prajnawrdhi pada tahun 2017; dan desa Sidatapa oleh Saraswati pada tahun 2017. Dokumentasi maupun penelitian yang sudah dilakukan terhadap desa-desa Bali Aga meliputi pola masa, tata letak serta fungsi, struktur dan detail dari bangunan maupun permukiman.

Ruang-ruang pada arsitektur Bali diklasifikasikan memiliki atribut-atribut yaitu: sociology; symbolic; morphology; and function (Parimin, 1986). Disini sangat jelas bahwa ruang-ruang dalam arsitektur Bali mampu mewadahi segala jenis aktifitas penghuninya baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Sulistyawati (1985) menyatakan bahwa rumah tradisional Bali memiliki fungsi menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur, makan, istirahat dan juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. Oleh sebab itu maka keberadaan ruang yang mewadahi kegiatan keagamaan dan ritual memiliki posisi penting dalam Ruang sakral pada rumah adat desa Bali Aga rumah tinggal pada arsitektur Bali dan juga rumah adat Bali Aga. Namun belum ada dokumentasi secara mengkhusus yang membahas tentang keberadaan ruang sakral yang terdapat pada desa Bali Aga di desa Pedawa, desa Tigawasa, Desa Sukawana dan desa Pinggan.

Kegiatan
Keempat desa Bali Aga yang menjadi obyek dari studi kasus pada tulisan ini berada pada 2 kabupaten yang berbeda. Desa Pedawa dan Tigawasa berada Kabupaten Buleleng, sedangkan desa Sukawana dan desa Pinggan berada di Kabupaten Bangli. Keempat desa ini berada di dataran yang relative tinggi dan memiliki suhu yang dingin. Dokumentasi yang dilakukan pada keempat rumah adat ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas terhadap fungsi ruang-ruang yang bersifat sakral pada rumah ini. Rumah adat pada keempat desa ini memiliki kesamaan dari berbagai segi. Bahan bangunan yang menggunakan kayu lokal dan bambu baik pada badan bangunan maupun atap. Skala bangunan yang dibuat berdasarkan skala manusia sebagai penghuni dan tidak mendominasi alam merupakan sebuah perwujudan dari konsep harmonisasi antara penghuni, lingkungan sekitarnya dan wujud syukur kepada Sang Pencipta (esensi dari konsep Tri Hita Kharana).

Disamping beberapa kesamaan terhadap wujud dan bahan bangunan yang digunakan, pola ruang yang terdapat pada keempat rumah adat ini juga memiliki kesamaan yaitu sama-sama memiliki dua buah tempat tidur yang memiliki ukuran yang berbeda dan diperuntukkan untuk orang tua dan anak. Tempat tidur yang bernama Bale/ Pedeman ini merupakan bagian dari struktur bangunan yang menyatu dengan keseluruhan struktur bangunan. Keempat rumah ini memiliki dapur yang disebut dengan Paon. Paon yang pada desa Pedawa merupakan Paon yang memiliki fungsi tungku terbanyak dan dilengkapi oleh ruang lain yang mendukung fungsi dapur. Sedangkan pada tiga rumah adat lainnya memiliki tungku dapur yang lebih sederhana. Disamping ruang untuk beristirahat/tidur dan memasak, keempat rumah adat ini dilengkapi dengan ruang penyimpanan seperti gudang pada bangunan rumah serta ruang ruang yang bersifat sakral. Berikut yang dapat dijelaskan tentang ruang dalam pada keempat desa Bali Aga.


Gambar 1. Denah dua tipe rumah Adat Pedawa
dan foto dari Pelangkiran
yang merupakan area sakral dan terletak di atas Bale/Pedeman Gede
Pada rumah adat desa Pedawa (Gambar 1) terdapat ruang sakral yang merupakan tempat pemujaan yaitu area Bale/Pedeman Gede. Pedeman Gede (A) yang berfungsi sebagai tepat tidur untuk orang tua merupakan tempat untuk meletakkan sesajen apabila ada upacara adat. Dan tepat diatas Pedeman Gede terdapat Pelangkiran yang terbuat dari kayu yang diletakkan pada struktur balok dari Pedeman Gede sebagai tempat sesajen untuk para leluhur. Pedeman gede juga memiliki fungsi sakral lainnya yaitu sebagai tempat memandikan dan mempersiapkan mayat sebelum dikremasi; menjadi tempat meletakkan sesajen pada saat upacara keagamaan dan upacara adat bagi pemilik rumah (upacara manusa yadnya dan dewa yadnya).

Gambar 2. Denah tiga tipe rumah Adat Tigawasa,
diantara kedua buah Bale terdapat area suci untuk menempatkan sesajen setiap hari
Sedangkan pada rumah adat Tigawasa (Gambar 2), ruang sakral adalah sebuah meja (d) yang terletak diantara dua buah Bale/ tempat tidur (a) yang terbuat dari batu. Meja ini merupakan tempat meletakkan sesajen setiap hari. Dan diatas Bale yang berada pada posisi di sebelah kanan (tepat tidur orang tua) terdapat pula Pelangkiran yang berbahan kayu sebagai tempat pemujaan dewa dan dewi, sama seperti yang terdapat pada rumah adat Pedawa. Tidak jauh berbeda dengan rumah adat Pedawa, Bale yang berada di sisi kanan yang merupakan tempat tidur untuk orang tua, juga merupakan tempat sesajen pada saat upacara adat dan keagamaan.

Gambar 3. Ruang sakral pada rumah Adat Pinggan



Gambar 4.Ruang sakral pada rumah Adat Sukawana
Gambar 5. Posisi Sanggah Kemulan Nganten pada rumah adat Pedawa dan Tigawasa.
Posisi Sanggah Kemulan Nganten pada rumah adat Pinggan dan Sukawana
juga sama dengan kedua rumah adat diatas


Gambar 3 menunjukkan posisi ruang sakral yang terdapat pada desa Pinggan dan gambar 4 menunjukkan posisi ruang sakral pada rumah adat Sukawana. Ruang sakral pada dua rumah adat ini memiliki posisi di ujung dan memiliki pintu yang membatasi dengan ruang lainnya. Disamping sebagai tempat pemujaan, ruang sakral di desa Pinggan juga memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan benda berharga dan peralatan suci keagamaan. Berbeda dengan desa Pedawa dan Tigawasa, ruang sakral pada desa Pinggan dan Sukawana bersifat lebih tertutup dan tidak terlihat pada tata ruang dalam rumah ini karena memiliki pintu dan lebih sering dalam keadaan tertutup. Sedangkan ruang sakral di desa Pedawa dan Tigawasa bersifat terbuka dan terlihat jelas pada ruang dalam rumah ini.

Pada keempat rumah adat desa ini juga memiliki tempat suci di luar rumah yang memiliki posisi tepat di hulu rumah adat. Tempat suci ini sebagai tempat pemujaan dewa-dewi hanya pada saat hari raya besar keagamaan, tempat suci ini disebut dengan sanggah kemulan nganten yang terbuat dari bambu (Gambar 5) dengan konstruksi yang sangat sederhana. Bentuk tempat suci ini hanya terlihat seperti tugu bambu persegi panjang yang sederhana dan tidak terlihat dari halaman rumah dari keempat rumah adat dan berada tersembunyi di belakang rumah (hulu rumah).

Pelajaran
Ruang sakral merupakan sebuah ruang yang memiliki fungsi suci yang terkait dengan kegiatan yang bersifat keagamaan, sebagai tempat melakukan kegiatan pemujaan/ ritual. Kegiatan yang dilakukan ini secara langsung menjadi sebuah ciri yang membedakannya dengan ruang-ruang lainnya. Ruang ini pada umumnya memiliki bentuk, batasan serta kegiatan yang spesifik. Dalam suatu tatanan masyarakat tertentu, fungsi ritual merupakan sebuah atribut budaya, merupakan faktor yang sangat penting di dalam menghasilkan suatu setting baik yang bersifat publik maupun privat dan menghasilkan sebuah struktur ruang tertentu (Knowles, 1996). Sebuah pusat orientasi dan identifikasi bagi manusia yang merupakan sebuah struktur ruang dapat berupa sebuah ruangan yang bersifat suci yang biasanya dipergunakan untuk kegiatan ritual (Schulz, 1979). Rumah tinggal selayaknya mampu mewadahi segala tingkat kebutuhan manusia dari yang paling rendah hingga paling tinggi Maslow (1943), termasuk kegiatan ritual adalah merupakan sebuah aktualisasi diri (merupakan salah satu kebutuhan tertinggi) dari sebuah golongan masyarakat tertentu. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ruang sakral yang terdapat pada keempat desa Bali Aga ini memiliki posisi yang sangat penting dan merupakan pusat orientasi. Kegunaan sebuah ruang sakral pada desa Bali Aga memiliki fungsi yang lebih beragam dibandingkan dengan ruang sakral pada pakem arsitektur Bali era Majapahit (yang lebih ditempatkan pada sebuah ruang dan bangunan khusus dan berbeda fungsi).

Gambar 6. Layout dan Denah rumah Adat Bali Majapahit/Dataran
(sumber: Adhika, 1994)
Gambar 6 menunjukkan posisi area sakral pada layout rumah adat Bali Majapahit yang lebih dikenal dengan nama Arsitektur Tradisional Bali. Area paling sakral yaitu pada arah kaja-kangin atau Timur Laut yang merupakan area pamerajan yaitu tempat suci (1). Pamerajan merupakan area untuk memuja leluhur dan dewa-dewi, dan melakukan kegiatan ritual sehari-hari serta pada tiap upacara keagamaan. Area sakral ini lebih bersifat terbuka dan terpisah dari ruang/ bangunan lainnya dan memiliki pembatas yang jelas.

Tempat suci rumah adat desa Bali Aga yang sangat sederhana dan terkesan tersembunyi dari penglihatan masyarakat umum sangat berbeda dengan tampilan tempat suci/pamerajan pada rumah adat Bali Majapahit. Pamerajan yang merupakan area/ruang paling sakral pada rumah adat Bali Majapahit pada umumnya dibuat dengan kualitas dan tampilan yang terbaik dan sangat mencolok serta ornamental dibandingkan dengan bangunan lain yang ada dan mampu memberikan ciri khas dari setiap rumah adat. Hal ini sesuai dengan konsep arsitektur tradisional Bali yaitu semakin penting sebuah bangunan maka bangunan tersebut semakin indah dan ornamental.

Bangunan yang terletak pada sisi paling utara adalah merupakan Bale Daja atau Bale Meten merupakan tempat tinggal untuk orang tua dan berada pada area utama/sakral. Sedangkan ruang sakral lainnya pada rumah adat Bali Majapahit adalah merupakan bangunan khusus yang berbeda untuk fungsi upacara agama diantaranya: penyimpanan peralatan keagamaan (pada bangunan gedong yang letaknya di merajan); barang berharga (pada bale daja/bale meten); tempat tidur orang tua (pada bale daja/meten); dan meletakkan mayat (bale dangin/bale gede), memandikan mayat (dilakukan di halaman tidak pada bangunan) dan upacara keagamaan dan adat manusa yadnya dan dewa yadnya (pada bale dangin/bale gede).

Ruang sakral pada rumah Bali Aga sangat sederhana dan menyatu dengan segala kegiatan lainnya dan berada di/ dekat/ atas tempat tidur. Hal ini sebagai sebuah perwujudan kedekatan antara penghuni dengan leluhur dan dewa-dewi serta adanya keseimbangan antara ruang sakral dan profan di dalam pola ruang dalam rumah adat Bali Aga. Ruang sakral pada rumah adat di keempat desa Bali Aga ini merupakan ruang utama yang masih dipertahankan walaupun terjadi transformasi ruang dan bentuk rumah adat saat ini yang tidak bisa dihindari.

Kesimpulan
Ruang sakral pada konsep rumah adat Bali Aga memiliki persamaan dan juga perbedaan dengan konsep ruang dengan konsep ruang arsitektur Bali Majapahit. Salah satu persamaan yang dapat dilihat yaitu kegiatan sakral yang diwadahi pada Bale /Pedeman Gede memiliki kesamaan dengan kegiatan yang diwadahi pada Bale Daja/Bale Meten serta Bale Dangin/Bale Gede pada rumah adat Bali Majapahit. Sedangkan perbedaannya yaitu ruang yang mewadahi kegaiatan sakral pada rumah adat desa Bali Aga lebih sederhana dan menyatu dengan fungsi ruang lain. Keseimbangan antara sakral dan profan pada konsep rumah adat desa Bali Aga memberikan sebuah keunikan pada pola ruang rumah ini. Broadbent, (1980) menyatakan bahwa ruang pada rumah tradisional/adat adalah bentuk ekspresi identitas budaya lokal, dalam hal ini ruang sakral ini merupakan sebuah faktor yang kuat yang menjadikan identitas dari rumah adat Bali Aga, sehingga ruang sakral tetap dipertahankan walau segala perubahan terhadap pola ruang maupun bangunan terjadi. Secara tidak langsung, ruang sakral menjadi penentu keberlangsungan rumah adat desa Bali Aga.

Sumber:
Tri Anggraini Prajnawrdhi ,anggieprajnawrdhi@unud.ac.id


Lab Perancangan Kota, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

Daftar Pustaka
Adhika, I Made. 1994. Peran Banjar dalam Penataan Komunitas, Studi KasusKota Denpasar. Bandung: Tesis Program S2 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB.
Aspinal, P (1993). ‘Aspect off Spatial Experience and Structure’, in Farmer, B & Louw, H, Companion to Contemporary Architectural Thought. London: Routlege.
Broadbent G, Bunt R & C. Jencks (1980) ‘Signs, Symbols and Architecture’. John Wiley & Sons. Chichester.
Carole Muller, 2011, Bali Aga Villages; field work in the 1980s, Walsh Bay Press.
Eliade, M. 1986. The Sacred and The Profane, New York: The Crossroad, Publishing Company.
Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc.
Knowles, R (1996), ‘Rhythm and Ritual, Maintaining the Identity of a Place,’ Journal Traditional Dwelling and Settlements, Vol. 94, p: 94-96, Berkeley, IASTE (1996), University of California.
M.McCutcheon, D & Meredith, JR 1993, 'Conducting case study research in operation management', Journal of Operations Management, vol. 11, pp. 239-256.
Mukarovsky, J (1981) ‘Structure, Sign and Function’, Yale University Press, New Haven.
Norberg-Schulz, C (1977), ‘Intentions in Architecture’, The M.LT Press, Cambridge Massachusetts.
Parimin, A, P (1986), ‘Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village: Environmental Hierarchy of Sacred Profane Concept in Bali’, Disertasi, Universitas Osaka, Japan.
Prajnawrdhi, T.A (2016), ‘Sanggah Kemulan Nganten Dan Pelangkiran: obyek penentu keberlangsungan rumah tradisional Bali Aga di Desa Pedawa- Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng, Bali’, Jurnal RUAS, Vol.14, No.2, hal 58-68, Universitas Brawijaya
Prijotomo, J (1988), ‘Pasang Surut Arsitektur di Indonesia’, CV. Ardjun. Jakarta,
Rapoport, A (1969), ‘House Form and Culture’, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.
Reuter, Thomas A., 2002, Custodians of The Sacred Mountains; Culture and Society in the Highlands of Bali, University of Hawaii Press, Honolulu.
Runa, I Wayan, 2004, Sistem Spasial Desa Pegunungan Di Bali Dalam Perspektif Sosial Budaya (PhD disertasi), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sulistyawati (1985),’ Preservasi Lingkungan Perumahan Pedesaan dan Rumah Tradisional Bali di Desa Bantas, Kabupaten Tabanan’, P3M, Universitas Udayana, Denpasar.

No comments: