Pemandangan tata kota Majapahit dengan jaringan kanalnya. Jika ruas-ruas jalur kanal itu dirangkaikan, panjangnya bisa mencapai 26 kilometer. Sementara, luas inti kota kuno ini mencapai 4km x 5 km sumber: Sandy Solihin/NGI Tribunjogja.com |
Namun jelas bahwa Majapahit, kerajaan besar yang menguasai Nusantara, memiliki pengaruh paling besar dalam gaya arsitektur Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur tradisional maupun modern.
Tak hanya ilmu arsitektur, zaman Majapahit juga menampilkan teknologi penggunaan bahan bangunan seperti bata merah telah disempurnakan sebagai teknik pembuatan struktur bangunan. Selain itu, tata kota Trowulan, yang diyakini sebagai ibukota Majapahit disebut-sebut sangat maju untuk peradaban di zamannya.
Secara geografis letak kerajaan Majapahit sangat strategis karena berada di daerah lembah sungai yang luas, yaitu Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang anak sungainya yang dapat dilayari sampai ke hulu. Berbeda dengan kerajaan – kerajaan lain yang menempatkan kerajaan mereka di pesisir dengan tujuan dekat dengan kegiatan perdagangan.
Catatan pelaut Cina yang ditulis oleh Ma Huan, sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) mencatat jika ingin mencapai Trowulan, mereka harus melewati Surabaya, akrena ibukota Majapahit berada dipedalaman.
Majapahit memilih Trowulan yang berada di pelosok Jawa Timur kemungkinan karena alasan keamanan. Mungkin ini berawal dari pengalaman Raden Wijaya, pendiri Majapahit, yang mengalami kekalahan saat menjadi panglima Kerajaan Singhasari saat diserbu oleh Kekaisaran Tiongkok-Mongol di bawah Dinasti Yuan.
Karena itu dirinya memilih mendirikan kerajaan di pedalaman. Selain itu, alasan pemilihan delta sungai Brantas yaitu wilayahnya yang subur dan menghubungkan dua dermaga besar yang ada di Ujung Galuh, Surabaya dan dermaga Pamotan di Sidoarjo.
Banyak pakar arkeologi percaya bahwa Trowulan adalah ibukota Majapahit, ini didasarkan dari dari penelitian yang dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-39, pada tahun 1815.
“Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng Keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut “Purawuktra” menghadap ke lapangan luas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng “Brahmastana”, berderet-deret memanjang dan berbagai-bagai bentuknya. Di situlah tempat tunggu para perwira yang sedang meronda menjaga Paseban”. -Nagarakretagama
Dalam bukunya History of Java Raffles menyebutkan “remains of gateway at Majapahit called Gapura Jati Pasar” ketika menyebut Candi Waringin Lawang, dan menyebut “one of the gateway of Majapahit” ketika menyebut Candi Brahu.
Pigeaud, ahli sejarah kebangsaan Belanda, dalam kajiannya terhadap Nagarakretagama menyimpulkan bahwa Trowulan, ibukota Majapahit, bukanlah sebuah kota yang dikelilingi tembok-tembok benteng.
Menurut Pigeaud, komplek permukiman besar yang meliputi sejumlah komplek yang lebih kecil, di mana satu sama lain dipisahkan oleh lapangan terbuka. Tanah-tanah lapang digunakan untuk kepentingan publik, seperti pasar dan tempat-tempat pertemuan.
Maclains Pont, seorang arsitek Belanda, yang menggali hampir seluruh penjuru Trowulan dari tahun 1924-1926. Hasilnya berupa sejumlah besar pondasi bangunan, saluran air yang tertutup dan terbuka, serta waduk-waduk. Dari uraian Nagarakretagama tentang Kota Majapahit, dia berhasil membuat sketsa “kota” Majapahit di Situs Trowulan.
Tata letak kota Trowulan, ibukota Majapahit, dibuat dengan kanal-kanal berpola Grid. Dengan lebar 20-30 meter, dengan kedalaman 4 meter. Kanal terpanjang yang ditemukan adalah sepanjang 18 kilometer.
Foto udara yang dibuat pada tahun 1970-an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur.
Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 meter atau hanya 12 meter, dan bahkan 94 meter yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini. (Muljana, Slamet. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya).
Kekuasaan Majapahit perlahan mulai melemah, setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389. Majapahit semakin merosot akibat terjadinya konflik perebutan takhta. Antara tahun 1466-1474, Dyah Suraprabhawa Raja Majapahit yang memerintah kala itu memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha, bekas ibu kota Kerajaan Kediri, hingga keruntuhan kerajaan itu berkisar pada kurun waktu tahun 1478 hingga 1527.
Satu-satunya kota klasik yang tersisa di Indonesia dengan tinggalan kearifan tata kelola kota metropolitan.
majapahit,trowulan,kanal,candi
Pemandangan tata kota Majapahit
Dwi Oblo/National Geographic
|
majapahit,trowulan,kanal,candiPemandangan tata kota Majapahit dengan jaringan kanalnya. Jika ruas-ruas jalur kanal itu dirangkaikan, panjangnya bisa mencapai 26 kilometer. Sementara, luas inti kota kuno ini mencapai 4km x 5 km (Sandy Solihin/NGI).
Museum Nasional dan National Geographic Indonesia menyelenggarakan pertemuan para ahli arkeologi yang pernah menyelisik Trowulan pada awal 2012 silam. Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Mundardjito berkisah pengalamannya selama tigapuluh tahun lebih meneliti Metropolitan Majapahit itu.
Ketika ditugaskan ke kawasan Trowulan pertama kali, dia tidak yakin kawasan ini sebuah ibu kota. Namun, seiring melimpahnya temuan, kini dirinya mulai yakin bahwa kawasan itu adalah sebuah ibu kota karena tidak ada lagi kawasan kuno yang menyamai ragam temuan dan teknologi masyarakatnya. “Berarti inilah ibunya, yang lain anaknya,” ujar Mundardjito terkekeh.
majapahit,segaran,trowulan,candi tikus,sejarah majapahit,gajah mada,situs kedaton,cheng ho,candi brahu,candi gentong,singhasariPermukaan air Candi Tikus, Trowulan, menyurut kala pertengahan musim kemarau. Sejatinya bangunan terakota ini adalah petirtaan Majapahit yang melambangkan Gunung Mahameru di India. Kisah lengkap Candi Tikus masuk bagian dari Metropolitan yang Hilang di NGI September 2012. (Dwi Oblo)
Menurut Mundardjito kanal-kanal itu merupakan teknologi adaptasi masyarakat terhadap musim dan bersifat ekologi. Warga ibu kota itu berhasil mengalirkan air limpahan dari kota ke dalam kanal-kanal. Sebaliknya pada musim kemarau, deposit air dalam tanah selalu tersedia sehingga sumur-sumur warga tak pernah kehabisan air.
“Tidak seperti Jakarta, kanal barat dan kanal timur tidak dipertemukan sehingga limpahannya sampai ke tempat Presiden,” ujar Mundardjito. “Tetapi, masalah limpahan air di Majapahit tidak sampai ke tempat Raja karena kanal-kanal tersebar merata di daerah permukiman.”
Sejumlah enam danau alam telah direvitalisasi oleh pemerintah Majapahit sebagai waduk untuk pengairan sawah. Jaringan kanal di Majapahit saling berkait dengan waduk, sungai, curah hujan, kolam, dan drainase. Melalui sistem drainase yang baik, mereka juga banyak membangun saluran-saluran air di bawah permukaan tanah. “Itu suatu sistem yang sangat luar biasa,” ungkap Mundardjito. “Jangan dilihat kanal sebagi satu hal saja!”
Kepadatan temuan tembikar dan keramik asing pun berada di kawasan dalam jaringan kanal-kanal, bukan daerah pinggiran. Ragam jenis temuan arkeologi itu sangat banyak dan karya ukirannya pun sangat indah yang menunjukkan kehidupan perkotaan. Mundardjito menduga tampaknya para artisan itu dilindungi dan dipelihara raja. “Tidak pernah kita menemukan dalam situs lain dengan kualitas dan jumlah yang luar biasa” ungkap Mundardjito dengan bergelora. “Nah, itu menandakan Ibu kota!”
“Penanda sebuah kota yang besar itu harus ada monumental works,” ungkap Mundardjito. Dia menunjukkan Trowulan masih memiliki sisa-sisa bangunan bekas permukiman dan bukti bangunan monumental lainnya seperti kompleks candi Hindu dan Buddha di sisi utara, sistem jaringan kanal dan waduk, gapura-gapura, dan sebuah kolam buatan berukuran raksasa. “Tetapi, jika ini hancur semua, kita hanya punya cerita tidak punya bukti,” dia berhenti sesaat lalu berkata, “itu namanya negara dongeng.”
Indonesia memiliki banyak kerajaan tua sebelum Majapahit berdiri, Kutai, Tarumanagara, Mataram Kuno, Sriwijaya, Kadiri, Singhasari, tetapi kerajaan-kerajaan itu tak satu pun yang menyisakan tinggalan kota kunonya. “Yang ada, ya hanya di Trowulan”, ungkap Mundardjito, “inilah kota kuno satu-satunya!”
Referensi:
(Mahandis Y. Thamrin/NGI. Cuplikan dari "Metropolitan yang Hilang" dalam National Geographic Indonesia edisi September 2012.)
http://jogja.tribunnews.com/2013/10/12/trowulan-metropolitan-majapahit-dengan-tata-kelola-kota-mengagumkan
No comments:
Post a Comment