twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Friday, December 11, 2015

KEBUDAYAAN TIONGHOA

KEBUDAYAAN TIONGHOA

A. Letak Geografis dan Sejarah Tionghoa

Sebagian besar Orang Tionghoa menetap di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Batam, Lampung, Kalimatan Barat, Banjarmasin, Lombok , Menado, Ambon, Jayapura.

Mereka berasal dari bagian tenggara Tiongkok, yang termasuk suku-suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, dan Tiochiu. Salah satu catatan tertua ditulis yang oleh agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin ke India untuk mempelajari agama Budha, dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta. Di Jawa ia berguru kepada Mpu Jnanabhadra di Kerajaan Kalingga.

Pada abad ke-8 para imigran Tionghoa pun mulai berdatangan dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di Tanah Jawa. Pada abad ke-11 Kubhilai Khan mengirimkan pasukan yang diangkut dalam 20 jung (perahu), dan tiap jung berisi 20 tentara, untuk menghukum Kartanegara yang telah melukai utusannya ketika ia minta kepada Kartanegara untuk mengirim upeti ke Kubhilai Khan.

Pada jaman kolonial Belanda, VOC yang merupakan kongsi dagang, memakai orang-orang Tionghoa untuk dijadikan pedagang perantara yang ditugaskan membeli komoditas perdagangan ke desa-desa. Sejak itu kekuasaan perdagangan banyak dipegang oleh orang-orang Tionghoa.

1. Pra Kemerdekaan
Kebangkita nasonalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 di Batavia

Tujuan Instruksional Khusus:

Mahasiswa dapat menunjukkan ciri-ciri Orang Tionghoa di Indonesia, mengenal sistem budayanya, sistem sosialnya, sarta unsur-unsur kebudayaan universalnya terbentuk Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah. Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda, sehingga dibentuklah Budi Utomo.

Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Serekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisurya mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Serikat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi kemudian juga membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.

Lebih lanjut dikatakan bahwa golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Sumpah Pemuda, dengan dihibahkannya sebuah gedung (SumpahPemuda) oleh Sie Kong Liong, dan beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiannya, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda lainnya.

Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po Sebelumnya, pada tahun 1920-an Harian Sin Po memelopori penggunaan kata bumiputera sebagai pengganti kata inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal mengganti kata ‘Tjina ‘ dengan kata Tionghoa. Pada tahun 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia, bukan Partai Tjina Indonesia.

2. Masa Kemerdekaan
Pada tahun 1945-an Mayor Jhon Lie menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan republik. Ada pula tokoh lain seperti Djiaw Kie Siong yang menyediakan rumahnya dipakai untuk rapat persiapan kemerdekan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945.

Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD ’45 terdapat 5 orang Tionghia, yaitu: Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs. Yap Tjwan Bing.

Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.

3. Pasca Kemerdekaan
Pada jaman ORLA keluar Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten.

Pada jaman ORBA terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonsia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang ditujukan kpada waga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunannya. Secara remi penerapan SBKRI sama artinya dengan menempatkam WNI Tionghoa pada posisi status hukum yang ‘masih dipertanyakan’.

Pada jaman pemerintahan Presiden Abdurakhman Wahid, orang Tionghoa secara resmi dijadikan suku bangsa Indonesia. Dan pada pemerintahan Presiden Megawati, Imlek menjadi hari besar nasional.

B. Sistem Budaya

Sistem budayanya berdasarkan pada kepercayaan tradisionalnya yang meliputi :

  1. Penghormatan kepada leluhur
  2. Penghormatan kepada dewa-dewi
  3. Tridharma, yang terdiri atas Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme
  4. Konsep tiga alam, yaitu Alam Langit, Alam Bumi, dan Alam Baka
Ajaran Agama Tao yang didalamnya terdapat konsep Yin dan Yang menjadi acuan dalam berpikir. Agama Tao memuat konsep-konsep yang telah lama ada, karena ia merupakan agama yang tertua di dunia, sudah ada sejak 7000 tahun yang silam. Ia merupakan agama yang berketuhanan, yaitu mengakui dan menyembah adanya Yang Maha Kuasa. Agama ini merupakan akar utama dari kebudayaaan Tionghoa. Di samping itu Orang Tionghoa juga mendasarkan hidupnya pada Budhisme, yang di Tiongkok telah mengalami perubahan; yang terkenal dan amat dipuja ialah Amitabha Budha. Mereka juga percaya adanya konsep inkarnasi dan karma.

C. Sistem Sosial

Sistem sosialnya mendasarkan pada Ajaran atau Filsafat Kong Hu Cu. Filsafat Kong Hu Cu mengajarkan bagaimana hubungan antar sesama manusia, berkisar sekitar soal kekeluargaan dan ketatanegaraan. Filsafatnya bagaimana hubungan antara anak dan orangtuanya. Dalam pemujaan leluhur dengan memelihara abu dalam rumah, ayah menjadi pemuka upacara. Kewajiban ini kemudian diturunkan kepada anak laki-lakinya yang sulung, begitu seterusnya. Anak perempuan tidak disebutkan dalam pemujaan leluhur. Karena itu orang Cina menganggap anak laki-laki sebagai hal yang sangat perlu. Anak laki- laki dibutuhkan bukan saja untuk mempertahankan she-nya (nama keluarga), melainkan terutama menggantikan ayahnya kelak untuk merawat abu lehuhur.

D. Kebudayaan Fisik

1. Bahasa
Bahasa Tionghoa (Hua Yu) yang kita kenal sebenarnya adalah bahasa Han (Han Yu). Bahasa Han yang kita kenal sebagai bahasa Mandarin, juga dikenal sebagai bahasa nasional (Guo Yu) atau bahasa China (Chung Wen). Penggunaan bahasa ini sangat luas, \ sehingga mempengaruhi bahasa sekitarnya, seperti bahasa Jepang, Vietnam, dan Korea yang masih mempergunakan banyak frase dan tulisan Han dalam bahasa mereka.

Bahasa Han adalah salah satu dari bahasa piktograf dunia yang berkembang sempurna. Walaupun pelafalan tiap dialek sangat berbeda, tetapi dalam penulisannya bahasa Han mempunyai tata dan struktur yang sama.

2. Sistem Organisasi Sosial

Sistem Kekerabatan
Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonesia, ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah mencolok karena golongan buruh ini tidak menyadari kan kedudaukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.

Tionghoa peranakan, yaitu keturunan dari orang Tionghoa Totok yang menikah dengan orang pribumi, yang kebanyakan orang-orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari orang Tionghoa Totok, karena mereka menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa Peranakan karena dianggap mempunyai darah campuran.

Dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa sekarang ini, yaitu sebagian mengikuti pendidikan Cina yang berorientasi ke negara Cina dan sebagian lagi mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat, maka telah timbul pemisahan antara golongan yang pendidikan yang berlainan itu. Masing-masing menganggap lawannya sebagai golongan yang lebih rendah.

Orang-orang kaya dalam masyarakat Tionghoa umumnya tidak akan bekerjasama dengan orang yang miskin . Demikianlah stratifikasi sosial orang Tonghoa di Indonesia berdasarkan orientasi pendidikan dan tingkat kekayaan.

Kelompok kekerabatan
Orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga batih, tetapi keluarga luas yang virilokal. Karena itu hubungan dengan kerabat pihak ayah lebih erat, tetapi sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu sama eratnya dengan pihak ayah.

Nama Orang Tionghoa
Kebanyakan orang Tionghoa memiliki nama yang terdiri dari tiga suku kata, yang terdiri dari sne (seh, marga) dan mia (nama). Sebagian sne terdiri dari satu huruf, namun ada juga yang dua huruf. Mia bisa terdiri dari satu atau dua huruf. Di Indonesia umumnya menggunakan dua huruf untuk mia. Karena itu kita sering melihat nama orang Tionghoa yang terdiri dari tiga huruf (satu sne dan dua mia), misalnya: Kwik Kian Gie, Siauw Giok Tjhan. Untuk sne dengan dua huruf, jika menggunaka nama dengan dua huruf maka jumlah hurufnya menjadi empat, misalnya Auwjong Peng Koen.

Kedudukan wanita
Dahulu kedudukan wanita sangatlah rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di dalam rumah. Sesudah kawin mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh mertuanya. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di luar rumah. Keadaan demikian sekarang sudah ditinggalkan. Wanita dapat memasuki perkumpulan-perkumpulan, memasuki sekolah, dan di dalam kehidupan ekonomi peranan wanita sebagai pembantu suaminya memegang peranan dalam perdagangan.

Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sama dengan anak laki-laki dalam hal warisan, bahkan kadang-kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya, sehingga suami harus ikut tinggal di rumah orang tuanya secara uxorilokal.

Perkawinan
Dewasa
Orang Cina baru dianggap dewasa atau menjadi orang bila ia telah menikah. Karena itulah upacara perkawinan harus mahal, rumit, dan agung untuk membuat perwakinan itu menjadi suatu kejadian yang penting dalam kehidupan seseorang. Upacara perkawinan Tionghoa Totok berbeda dengan upacara perkawinan Tionghoa Peranakan. Sampai awal abad ini perkawinan diatur oleh orangtua kedua belah pihak. Calon suami istri tak mengetahui calon kawan hidupnya, mereka baru melihat pada hari perkawinannya. Sekarang keadaan demikian sudah jarang terjadi.

Pemilihan jodoh; 
Di dalam memilih jodoh, orang Tionghoa Peranakan mempunyaI pembatasan. Perkawinan terlarang adalah antara orang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Kini perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan kekerabatan tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang, sebaliknya perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang anggota keluarga dari keluarga yang lebih tua (atas) dapat diterima. Alasan dari keadaan ini ialah bahwa seorang suami tidak bolah lebih muda atau rendah tingkatnya dari istrinya. Peraturan lain adalah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya. Peraturan ini berlaku juga untuk saudara sekandung lakli-laki, tetapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya. Bila aturan ini dilanggar, adik harus memberi hadiah tertentu kepada yang didahului kawin.

Mas Kawin; 
Setelah seorang laki-laki memilih jodohnya, maka ada perundingan mengenai hari perkawinannya. Oleh orangtua pihak laki-laki lalu diantarkan angpao (bungkusan merah), yakni uang yang dibungkus dengan kertas merah. Uang ini dinamakan uang tetek, maksudnya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan oleh orangtua si gadis yang telah mengasuh dan membesarkannya. Uang tetek ini biasanya ditolak, kecuali jika keluarga pihak perempuan berada dalam keadaan keuangan yang sangat buruk, karena dengan menerimanya orangtua si gadis seolah-olah menjual anaknya. Menjelang hari perkawinan, keluarga pihak laki-laki biasanya mengirimkan utusan ke rumah keluarga si gadis untuk menyampaikan angpao, berupa beberapa potong pakaian dan perhiasan selengkapnya. Keluarga yang kaya biasanya akan menolak pemberian ini secara halus, tetapi keluarga yang tidak mampu biasanya akan menerima sebagian saja.

Adat menetap sesudah nikah; 
Tempat tinggal setelah menikah adalah di rumah orangtua suami. Hal ini erat hubungannya dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki-laki tertua yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Anak-anak lainnya tidak terikat dengan ketentuan tempat tinggal patrilokal ini. Mereka bebas memilih sendiri apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uxorilokal) atau pada keluarga suami (virilokal), atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal).

Perceraian; 
Dalam tradisi Tionghoa perceraian diizinkan berdasar beberapa alasan. Meskipun demikian perceraian jarang terjadi karena dianggap sebagai perbuatan tercela, perceraian akan mencemarkan nama keluarga. Bagi keluarga yang masih memegang erat adat dan memilihkan calon suami bagi anak perempunnya, biasanya memberi nasehat kepada anaknya untuk berusaha menghindarkan perceraian.

Perceraian dapat terjadi juga bila si isteri tidak dapat memberikan anak laki-laki pada keluarga suami. Ada juga yang karena si isteri tidak mau tinggal bersama-sama isteri kedua dari suaminya dalam satu rumah.

Poligami; 
Dalam adat Tionghoa, seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri, tetapi ia dapat mengambil sejumlah wanita sebagai isteri mudanya. Pada abad ke-19 dan sebelumnya perkawinan demikian banyak terjadi. Bahkan isteri-isteri itu tinggal bersama-sama, namun isteri pertama tetap menjadi isteri yang utama; yang mengatur rumah-tangga dan mendampingi suami dalam pertemuan-pertemuan, serta menjadi ibu dari semua anak-anaknya, baik anaknya sendiri maupun anak dari isteri yang lain. Isteri muda hanya berkedudukan sebagi pembantunya saja. Biasanya mereka berasal dari keluarga yang miskin dan perkawinan mereka tidak dirayakan. Kadang-kadang mengambil isteri muda itu atas anjuran isteri pertama, karena ia tidak mempunyai anak laki-laki. Kebiasaan demikian sekarang sudah jarang terjadi, dan orang Tionghoa umumnya kawin monogami.

Kematian
Adat upacara kematian mereka dilatarbelakangi oleh kepercayaan mereka. Sejak terjadinya kematian, anak-cucunya harus membakar kertas perak (uang di akhirat) yang merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat. Sesudah dimandikan, diberi baju, lapis pertama pakaian putih pakaian sewaktu almarhum atau almarhumah menikah. Selanjutnya pakaian lain sebanyak enam lapis. Kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.

Mayat harus diangkat oleh anak laki-laki almarhum. Anak-anak perempuan dan cucu-cucu harus terus menangis dan membakar kertas perak. Bagi yang kaya menyiapkan rumah-rumahan dari kertas yang diisi dengan segala perabot rumah tangga yang dipakai semasa hidup almarhum, dapat disertai dengan para pembantu rumah tangga yang juga dibuat dari kertas, Bekal kubur ini nanti dibakar.

Setiap tamu yang datang harus disungkem (soja) khususnya oleh anak laki-laki. Di depan rumah dipasang lampion putih. Di atas meja disediakan makanan yang menjadi kesukaan almarhum/almarhumah. Begitu peti diangkat untuk upacara pemakaman, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum/almarhumah di dunia sudah selesai.

3. Sistem Pengetahuan

Feng Shui
Feng Shui adalah salah satu ilmu dari agama Tao, yang merupakan metodologi peramalan serta analisis tata letak. Feng Shui sendiri berasal dari gabungan kata Feng yang berarti angin (arah) dan Shui yang berarti air (tempat). Kemungkinan ilmu ini telah ada dan berkembang bahkan sebelum bangsa Tiongkok kuno mengenal kompas, di mana penentuan kondisi suatu tempat pada mulanya hanya melihat perpaduan unsur angin dan air saja.

Tiga konsep utama Feng Shui, adalah:
1) Aliran energi (Chi)
2) Keseimbangan Yin dan Yang
3) Interaksi kelima unsur alam semesta, yaitu kayu, api, logam, tanah, dan air

Kitab Yi Jing (baca: I Ching)
Secara harfiah berarti Kitab (tentang ) Perubahan. Falsafah Perubahan I Ching merupakan cikal bakal dari berbagai ilmu metafisika China, seperti akupunktur, akupreser, Feng Shui, Ilmu Bentuk Wajah, Ilmu Telapak Tangan, dan lain sebagainya. I Ching inilah yang pertama kali memperkenalkan konsep tentang Pengkondisian Minus (-) dan Plus (+), atau Yin dan Yang dalam sejarah peradaban manusia. Falsafah mengenai Minus dan Plus merupakan komponen paling baku bagi ilmu apa pun, baik ilmu yang bersifat fisik / ilmiah maupun yang berbau supernatural.

Pengobatan tradisional
Pengobatan ini termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na, yang digolongkan ke dalam pengobatan Timur.

Kung Fu / Wu Su
Kung Fu adalah ilmu bela diri dari Tiongkok. Di masa lalu disebut kun dao atau Kuntao. Namun istilah Kuntao sekarang sudah sangat jarang digunakan. Seiring dengan makin terbukanya negara Tiongkok, berbagai ilmu bela diri kung fu digabung dan distandarkan menjadi suatu bentuk olahraga yang dapat dipertandingkan, yakni Wu Shu. Wu Shu sendiri secara harfiah berarti seni menghentkan kekerasan

Astrologi
Kalender Tionghoa adalah kalender lunisolar yang dibentuk dengan menggabungkan kalender matahari dan kalender bulan.

Shio
Shio adalah Zodiak Tionghoa yang memakai nama hewan untuk melambangkan tahun, bulan dan waktu. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai dengan tanggal kelahirannya.

Menurut legenda, ketika Sang Budha hendak meninggalkan bumi, beliau memerintahkan semua binatang untuk hadir di hadapannya. Hanya dua belas binatang yang muncul. Pertama datanglah tikus, kemudian kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjng, dan yang terakhir babi. Sebagai penghargaan, Sang Budha menamai satu tahun sesuai dengan nama dan urutan kedatangan binatang-binatang itu. Kemudian beliau menyatakan bahwa setiap hewan yang menguasai tahun yang dihadiahkan, diijinkan untuk memberikan sifat-sifatnya kepada setiap anak manusia yang lahir dalam tahun itu. Menurut kepercayaan Tionghoa, binatang yang menguasai tahun kelahiran seseorang mempunyai pengaruh yang amat dalam terhadap kehidupan orang tersebut.

Klenteng dan Vihara

Klenteng 
pada dasarnya berarsitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain fungsi spiritual. Istilah klenteng hanya terdapat di Indonesia. Dipercaya asal kata klenteng dari bunyi teng – teng dari lonceng di dalam klenteng sebagai bagian ritual ibadah. Di Tiongkok disebut bio atau miao. Pada mulanya merupakan tempat penghormatan pada leluhur (rumah abu), para suci (dewa/dewi), serta tempat mempelajari berbagai ajaran agama etnis Tionghoa (Budha, Konghucu, dan Tao).

Vihara 
berarsitektur lokal dan biasanya berfungsi spiritual saja. Namun ada juga yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti Vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok. Vihara adalah tempat melaksanakan upacara keagamaan Budha.

Dengan adanya peristiwa G30S yang menyebabkan pelarangan kebudayaan Tionghoa, maka klenteng terancam ditutup, sehingga banyak klenteng yang mengubah nama menjadi vihara.

4. Sistem Ekonomi

Orang Tionghoa kebanyakan bekerja di bidang perekonomian, terutama sebagai pedagang dan pengusaha. Kebanyakan orang Tionghoa sukses dalam pekerjaannya. Banyak pula yang bekerja sebagai karyawan, petani, penambang dan profesi lainnya.

Cina Benteng
dikenal sebagai petani, nelayan atau peternak babi, tetapi seiring dengan perkembangan zaman serta pergesaeran lapangan pekerjan dari sector tradisional ke sektor modern, tidak sediki Orang-orang Cina Benteng mencapai sukses di bidang usaha atau profesi lainnya.

Suku Hokkiean 
umumnya pedagang, namun di Jawa dan Pantai Barat Sumatra mereka bekerja sebagai petani dan penanam sayuran, sedangkan di Riau bekerja sebagai penangkap ikan.

Suku Hakka: 
di Jawa dan Madura mereka bekerja sebagai pedagang, atau pengusaaha industri kecil. Di Sumatra mereka bekerja di sektor pertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat banyak sebagai petani.

Suku Kanton 
di Jawa memiliki perusahaan dagang hasil bumi, DI Sumatra mereka berprofesi sebagai petani dan buruh tambang. Di Bangka merupakan kelompok penting pekerja tambang, sedangkan di Palembang sebagai buruh dalam industry minyak.

5. Sistem Religi

Sebagian besar orang Tionghoa beragama Budha dan Kristen, serta menganut kepercayaan Kong Hu Cu, Ada juga yang beragama Tao, dan sebagian beragama Islam.

Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakan sikretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat, antara lain Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Kepercayaan tradisional ini juga mengutamakan lokalisme seperti penghormatan pada datuk di kalangan Tionghao di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu.

6. Kesenian

Hari Raya Imlek, 
dinamakan perayaan tahun baru, yang sebenarya adalah merayakan datangnya musim semi. Makanan yang khas pada Tahun Baru Imlek adalah kue keranjang atau disebut Kue Cina, dan bandeng. Kue keranjang dikirimkan kepada kerabat, sahabat dan relasi, sedangkan bandeng digunakan untuk persembahan sembahyang. Idealnya setiap acara sembahyang Imlek disajikan 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang shio yang berjumlah 12.

Festival Ceng Beng, 
yaitu ritual tahunan untuk bersembahnyang dan ziarah kubur.

Perayaan Capgomeh, 
ungkapan pujian syukur atas limpahan rejeki pada malam purnama pertama di tahun yang baru.

Perayaan Perahu Naga
Tarian Singa
Tarian Naga
Barongsai

Wayang Potehi
Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung) dan hie (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangannya ke dalam kain tersebut dan memainkan wayang tersebut. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun, berasal dari daratan Tiongkok. Wayang Potehi masuk ke Indonesia sekitar abad 16-19. Beberapa lakon yang dibawakan adalah: Sie Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, dan Poe Sie Giok.

Dahulu hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik dari Tiongkok dan dimainkan di klenteng-klenteng dalam bahasa Hokian. Sekarang sudah memakai bahasa Indonesia, dan juga sudah mengambil cerita Kera Sakti yang populer itu. Tokoh lakon-lakon yang kerap dimainkan sudah diadaptasi menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak, seperti tokoh Sie Ji Kwie, diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro, tokoh Prabu Lisan Puro diambil dari tokoh lie Sie Bien.

Masakan, 
antara lain:
Bakmi, Ifu mie
Cap Cai
Nasi Tim Ayam
Ayam Kuluyuk

Tradisi

  • membunyikan petasan: untuk menakuti makhluk halus
  • menggantung lentera merah untuk memperingati kebaikan hati Li, seorang pemimpin dalam menyelamatkan rakyat jelata
  • Angpau: Uang dalam sampul berwarna merah, melambangkan tuah. Jumlah uang yang ada di dalamnya dalam hitungan genap bila diberikan pada hari-hari bahagia, dan gasal yang diberikan pada saat kematian. Diberikan oleh yng sudah menikah kepada yang belum menikah.
Legenda
Ada legenda yang berkaitan dengan budaya menyuap, ceritanya adalah sebagai berikut:
Pada suatu saat ada sepasang pengantin baru, yang karena kembiraannya sepanjang waktu hanya dihabiskan untuk bercanda. Ada dewa yang melihatnya, dan perbuatan mereka ini bertentangan dengan falsafah dalam kebudayaan Tionghoa, yaitu kerja keras. Sepasang pengantin baru itu lalu dihukum, masing-masing ditempatkan terpisah di planet yang berjauhan

Tiba waktunya dewa itu mengadakan inspeksi ke planet-planet itu. Si suami berupaya untuk menyenangkan hati dewa itu, maka ia mempersiapkan kuaci untuk pisungsun kepada sang dewa. Demi dewa itu mendapat pisungsun berupa kwaci, ia gembira sekali, maka ketika si suami minta ijin untuk menengok isterinya maka dikabulkannya permintaan itu.

Intinya, dalam kebudayaan Tionghoa demi untuk mendapatkan suatu tujuan, cara apa pun diperbolehkan, termasuk menyuap.

Catatan
Suku bangsa Tionghoa telah masuk ke Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-7 mereka sudah masuk ke Indonesia, antara lain ke kerajaan Kalingga dan juga ke Sriwijaya ketika mereka mempelajari Bahasa Sansekerta yang diperlukan untuk menyadap Ilmu Kebudhaan di Universitas Nalanda di India.
Pada abad ke-11 mereka menyerbu ke Singhasari untuk menghukum Kartanegara yang menolak mengirim upeti ke Kubhilai Khan dengan melukai utusannya. Beberapa penyerang tidak dapat kembali ke negaranya, dan tetap tinggal di Jawa.
Pada jaman kolonial mereka dijadikan pedagang perantara untuk kepentingan VOC, mereka membeli komoditas perdagangan berupa hasil pertanian ke penduduk pribaumi, dan menjualnya ke VOC.
Sejak saat itu sebagian besar dari mereka menjadi pedagang, meskipun di beberapa tempat ada yang menjadi buruh kasar pada usaha petambangan dan perkebunan.
Falsafah mereka yang mengharuskan kerja keras membuahkan hasil. Umumnya perekonomian mereka cukup kuat. Usaha mereka ditunjang dengan falsafah bahwa untuk mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan, jalan apa pun boleh dikerjakan, termasuk menyuap.
Konfusianisme menjadi landasan dalam kehidupan sosial, sedangkan dalam religi mereka menganut Taoisme, Budhisme, ditambah dengan Konfusianisme.
Karena bidang perdagangan yang mereka kuasai cukup merata, maka bahasa mereka juga terlihat dalam komunikasi perdagangan.
Dengan dasar perdagangan pula, yaitu memberi konsultasi dengan imbalan, maka banyak ilmu yang mereka sebarkan, antara lain tentang Fengsui dan pengobatan.

Sumber: 
Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA, Oktober 2011, Dr. Woro Aryandini, SS, MSi dan tim

1 comment:

Unknown said...

Saya tertarik dengan informasi tentang keberadaan orang Tionghoa atau China dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak jaman Belanda. Banyak bukti-bukti sejarah tentang keberadaan orang Tionghoa di Indonesia, seperti banyaknya vihara-vihara Budha yang didirikan oleh Komunitas Tionghoa. Adanya museum rokok Sampurna di Surabaya,dan museum kretek di Kudus. Saya ada menyimpat koleksi berupa Surat Izin Mebawa candu atas nama pedagang Tionghoa. Mungkin ada yang tertarik untuk melihat koleksi tersebut yang saya simpan di rumah saya. Terima kasih atas informasi tentang sejarah Kebudayaan Tionghoa.